Aku hanya menatap
punggungnya yang tak kembali menoleh padaku. Punggung yang selama ini menjadi
sandaran saat letih, saat aku ingin bermanja meski sekedar saja aku hanya ingin
merasakan lembut belaiannya, saat yang mungkin tak akan pernah ada. Aku kembali,
benar-benar tak bisa mengajaknya kembali karena ini sudah jalan takdir di
antara kita. Meskipun aku juga tak tahu mesti bagaimana ke depan, mengeringkan
luka dan menghapus ciumannya saat aku sedang bermimpi menakutkan tentang satu
malam yang menjadikan diriku luruh.
Kulihat,
di sana ia sedang diburu-buru masa lalu, diburu sekian sedih karena tak tahu,
ia selalu bilang kepadaku. “Aku ingin menemukan diriku dalam rasa galau.
Dalam segala yang sampai ini belum kutemukan jawaban apapun.” Ia pun
selalu berkata padaku. “Nda...bila satu hari kau ingin melupakan aku.
Maka saat itulah aku akan meneruskan seluruh perjalananku sendiri.” Aku
waktu tak begitu mengerti tapi aku sangat yakin. Ada rasa yang aneh yang ia
rasakan kembali. Tapi ia tak mau jujur meski ketika kulihat matanya. Kucari di
sana bentuk kegelisahannya, ia hanya memalingkan wajahnya dan pura-pura
membersihkan kakinya yang memakai sandal jepit.
Andi,
katanya saat tangannya menjabat tanganku. Aku menjawab anida. Kami lalu jadi
akrab. Dan sama-sama menyukai puisi warna senja. Tak tahu dari mana awalnya,
ternyata kelahiran kami hanya berpaut dua tahun, di bulan yang sama cuma beda
tanggal dan itu pun beda satu angka. Kami selalu merayakan ulang tahun bersama.
Dia lebih awal akan mengingatkan aku. Mengirimkan puisi lewat telpon dan
menceritakan beberapa hal tentang harapan dan doanya saat ini dan sejak dulu.
Seperti pula aku tak bisa membuatkannya puisi jangan kata-kata indah.
Aku
hanya mampu menyimpan semua kata-kataku. Untuknya jauh lebih berharga dari pada
sekedar puisi. Dia yang selalu membangunkan aku di tengah malam karena hadir
dalam mimpi-mimpi. “Selamat ulang tahun yang, And!” Biasanya
hanya kata itu. Dan ia mulai nakal. “Ah, kamu tak mencium aku ya?”
Sambil tersenyum. Senyum yang selama ini mampu menahanku untuk selalu sabar di
dekatnya. Aku menjadi tak kuasa tersenyum dan hanya berkata. “Kamu ini
kayak anak muda saja yang berumur belasan tahun.” Kataku. Padahal aku
juga tak tahu harus bagaimana. Bagiku aku ingin memeluknya. Melepas semua
inginku tapi sekali lagi. Selalu ada saja yang menahan bibirku untuk
mengucapkan, aku sayang kau And.
Andi
bagiku seorang yang selalu membuatku ceria meski kutahu di balik semua itu
banyak luka yang masih mengalirkan darah deras di sekujur tubuhnya. Tapi ia
kadang mampu melupakan rasa sakitnya dan merawatku seperti bunga yang mesti
segar setiap pagi lalu dia akan berbisik dengan pelan, kau itu bunga yang aku
rapikan di jantungku yang paling dalam. Katanya sambil kurasakan deru napasnya
yang tenang.
Tak
terasa kini hanya kenangan. Andi telah melangkah jauh dan lenyap ditelan waktu.
Aku kesepian, Tetapi aku tahu. Andi tak pernah akan sudi melihatku menangis,
tak akan mau dia melihat aku terpuruk. Lalu karena itu semua. Aku tak pernah
menyerah. Dan selalu aku simpan semua tentangnya, semua tentangnya yang tak
akan lapuk. Tak akan sirna meski hujan terus datang. Musim dan cuaca berganti.
Dan kini aku telah bekerja di sebuah sekolah sebagai guru teatre. Di sebuah
sekolah di dataran gunung di salah satu di desa Sumenep. Aku menyimpan berapa
agenda. Satu saat aku yakin dan mampu membuat Rendi hidup dan selalu memberikan
semangat padaku. Yah. Dipertunjukan itu, naskah-naskah itu. Andi tersenyum. Hei,
seolah dia memegang pundakku saat latihan pernapasan pertama kali, saat ia
ajarkan aku meringankan beban dan melepaskan sesak dadaku. “Hidup ini
indah,” katanya padaku. Saat itu aku kembali hidup. Kembali lahir dari
semangatnya. Dari tatapan matanya yang selalu berbinar.
“Andi, kau di mana sekarang, aku rindu kau.” Kataku. Dalam
dadaku memanggil Andi. Rasanya ingin sekali menarik waktu kembali. Memberikan
semua yang ia maui. Semua itu seperti perhatianku, dan seperti yang Andi
berikan kepadaku. Ia begitu hangat, begitu tak peduli meski apapun yang aku
katakan kadang terlalu pahit ia dengar.
Lama
sekali waktu ini. Aku mulai menulis cerita-cerita pendek. Puisi dan entahlah
semua ungkapan itu, semua wajah Andi menghiasi lembaran-lembaran penyesalan
yang ingin aku sampaikan. Selama itu juga aku tak mau menyerah. Mengirim ke seluruh
media. Berharap sekali Andi masih aktif membaca koran-koran, meski ia tak mampu
berlangganan koran. Tapi dulu Andi selalu memberikan koran bekas dan
menunjukkan puisi dan cerpen-cerpen yang menurutnya indah.
Dari caranya
memberiku gambaran, caranya ia menjelaskan dan caranya mendengarkanku itu telah
membuatku tenang, telah menjadikan aku hangat. “Andi! Aku rindu kau, kau
di mana sekarang?” Kembali aku menulis sebuah pengembaraan meski tak
semua yang aku tulis membicarakannya. Tapi aku selalu memberikan ungkapan dan
kata-kata yang aku juga berharap kalau Andi membaca tulisanku nanti ia akan
mengingat aku kembali.
###########
1 Tahun, 2 Tahun, 3
Tahun. Aku telah hidup sendirian dan memilih sendirian. Memang aku telah hidup
dengan jiwa yang lain, jiwa yang tak mungkin akan diisi oleh siapapun. Dan aku
juga tak berharap banyak hal kepada waktu. Kepada Andi misalkan ia telah
bahagia dengan siapapun di sana. Aku hanya bertahan dengan diriku. Dengan
rinduku. Dengan cintaku. Dengan kekesalanku sendiri karena tak mampu
mengucapkan cinta dan rindu serta rasa takut kehilangan saat Andi meninggalkan
kota ini. Dan ia telah memilih pergi karena sebagian yang telah ia berikan, ia
anggap sudah membuatku bisa bertahan dan dewasa serta kuat melewati waktu.
Satu hari aku pernah
merasakan kehadiran Andi. Ketika aku berjalan di depan toko buku. Kulihat gerak
dan kudengar renyah tawanya. “Ah Andi, kau di sini.” Kata hatiku.
Aku mendekati seseorang itu dan pura-pura melewatinya dan aku menoleh dengan
pelan-pelan. Sayang! Ternyata bukan Andi. Wajah Andi tak seputih orang itu. Tubuhnya
juga tak sebersih Andi. Lebih dari itu Andi tak memiliki kegemaran mengurus
tubuhnya. Ia dekil tapi senyumnya tetap manis. Senyum yang selalu aku lihat
sebagai sesuatu yang tulus. Sama ketika dia marah dia tak akan menyimpan
kemarahannya. Andi tak pandai berbohong.
Keesokan
harinya. Ada hasrat aku kembali ke toko itu. Meski pemuda itu bukan Andi aku
ingin melihat dan mendengarkan tawanya kembali. Tawanya persis ketika Andi
mengajakku bermain di satu lembah. Mengajakku mengejar kupu-kupu dan senyum
kepuasaannya saat ia memberikan kupu-kupu itu padaku sambil lalu mengerlingkan
matanya dan menggenggam serta berucap, “pegang ini nda!” Lalu
tangannya begitu hangat menggenggam tanganku. Aku malu memandang tatapan
sayunya. Tapi jauh di dalam hatiku. Ada debaran jantung bergerak cepat.
Katanya, “jangan takut, kupu-kupu ini tak akan pernah menggigitmu,”
katanya padaku. Dan oh kembali dia tersenyum dan menjawil hidungku. Tunggu di
situ ya nda, aku akan mencarikanmu kupu-kupu yang lain.
“Nda!...Tolong aku?” Teriak Andi dari
lembah itu. Aku berlari secepat mungkin. Dan aku mencari Andi. “Andi, Kau
di mana?” Tak ada jawaban dari Andi. Aku menyusuri semak-semak. Degup
jantungku kian cepat. “Andi!” Panggilku. Tapi tetap saja tak ada jawaban.
Ku berbalik ke arah kanan. Ku cari di sana. Oh Tuhan. Andi tergeletak di dekat
batu cadas. Aku segara menghambur tubuh Andi. “Andi, Bangun!, Bangun!”
Kataku. Air mataku tak tertahan. Andi tetap saja tak bergerak. Di sela
kebingunganku itu aku mencium wajah Andi sambil menangis sampai terakhir
kalinya aku mencium dan menggigit bibir Andi tanpa sadar hanya didasari tak
ingin ada apa-apa sama Andi.
“Wooi...sakiit...ndaaa!” Andi berteriak kesakitan dan aku tanpa
sadar telah menggigitnya agak keras. “Hei, kau kenapa menangis.”
Tanyanya padaku. “Kau itu Andi tadi kenapa bisa pingsan. Dan kau tak sadarkan
diri.” Andi kayak linglung dan baru sadar. Akhirnya ia aku papah. Dan
kenangan itu sulit aku hapus. Sulit sekali. Karena Rendi yang hangat selalu
tersenyum. “Eh, kau menggigitku ya? Nanti sikat gigi ya? Takut kena virus
dari tubuh jelekku ini.” Katanya meski sangat menyebalkan. Aku masih
mencubit perutnya.
Panjang juga lamunanku
di toko buku itu sampai tak kusangka buku yang harusnya aku baca tergeletak dan
basah oleh air mataku yang selalu merindukan sosok dekil yang menyejukkan itu.
Meski aku juga tak pernah sadar orang yang aku tunggu tak akan pernah datang
dan kembali. “Kau di mana Andi?” Tanya batinku selalu.
Tiba-tiba saat hari
minggu ada pak pos mengantarkan surat entah dari siapa. Tapi aku anggap ini hal
yang biasa dan aku meletakkan surat itu karena mesti menyelesaikan beberapa
tugas mengajarku dan menyusun kembali serta mengedit cerpen-cerpenku yang tak
selesai.
Sampai sore aku jadi
ingat pada surat itu. Aku sambar dan aku buka pelan-pelan. Aku membacanya
dengan tak ada rasa karena masih terasa penat otakku setelah mengerjakan
tugas-tugasku.
“Hei, Anida apa kabar?” Lama sekali aku tak menyapamu. Selama
itu pula aku tak paham harus mengewali suratku dari mana. Aku Rendi. Dalam
surat itu aku baca dan aku begitu semangat serta terasa sekali hangatnya dadaku
dan pancuan jantung yang cepat berkelebat.
“Aku telah banyak membaca cerpen-cerpenmu. Kadang aku tersenyum,
terkadang aku juga sedih tapi semua itu tak penting aku sampaikan di sini. Dan
asal kau tahu. Aku begitu bangga padamu. Aku begitu ingin berada di sampingmu.
Melalui hari-hari yang pernah kita sebut sebagai kesedihan. Dan pada saat
itulah aku juga paham. Aku mesti pergi karena aku tahu aku begitu peduli sama
kau. Peduliku padamu melebihi kepada aku sendiri. Dan aku mesti malu juga.
Karena aku selalu tak pernah bisa jujur. Semoga lewat mataku. Lewat semua yang
kau rasakan. Kau paham. Aku begitu sayang kau. Tetapi pada kenyataan, rinduku,
sayangku. Memang tak mesti ada di sampingmu selalu. Aku mesti pergi dan
menyimpan sejumlah misterinya hidup sendiri. Aku mesti menghilang dan
meyakinkan diriku. Bahwa tanpa aku. Kau pasti jauh lebih kuat. Aku sudah
melihat itu. Kau sekarang sudah terkenal. Dan aku masih merasakan dirimu. Degup
jantungmu. Semua rasa malu-malumu, keluguanmu, masihkah itu nda?”
Aku membaca surat
Andi tak berasa ada di dunia. Aku merasakan getir yang tak tersampaikan seperti
biasa ia selalu mampu menutupi dirinya dengan senyum. Ah, Andi!
“Nda...! Kuingin
cerita sedikit setelah aku pulang dan pergi darimu dan kotamu. Karena aku telah
tak punya pilihan apapun. Setiap aku akan berkunjung padamu. Aku merasakan
tubuhku makin kurus. Tidurku tak tenang. Dan aku telah resmi divonis oleh
dokter tinggal sekitar seminggu lagi. Tapi aku pikir kau tak usah peduli. Sebab
aku hanya tersenyum dan tertawa. Nanti kalau kausempat berkunjung ke desaku.
Kau boleh membuka kunci lemariku. Di sana ada berapa kado untukmu.”
“Nda...! Aku pamit.
Tetapi aku akan abadi di jantungmu dan aku akan lebih dekat denganmu. Sejauh
kau selalu menyebut namaku. Semua harta warisan orang tuaku telah aku alihkan
kepadamu. Jadilah penulis yang mapan dan kenalilah jiwamu yang menyimpan banyak
mutiara.”
Salam.
Ah,
aku serasa tak mampu berdiri, dan surat ini aku hempas, aku segera berangkat ke
desa Andi dengan segala harapan masih bisa menemani hari-hari terakhirnya. Aku
akan ucapkan rasa cintaku, rinduku yang selama ini aku tahan, aku pendam.
Sesampai di Desa
Andi di Madura. Aku sudah tak melihat apa-apa lagi. Rumahnya kosong dan hanya
paman dan bibinya yang menyilahkan masuk dan memberiku sebuah kunci dan
ternyata betapa sakitnya hatiku. Surat itu sengaja diantar terlambat ke kantor
pos oleh pamannya atas permintaan Andi sendiri dan ini sudah hari ketujuhnya.
Rendi telah tiada nak!. Kata bibinya dan aku memeluk perempuan itu. Lalu tanganku
dituntunnya kekamar Andi dan kamar itu penuh dengan lukisan-lukisan wajahku.
Kupu-kupu dan oh Ndi. Kau kejam sekali. Di lemari itu kau tulis surat-surat
kepadaku dan aku membaca catatan harianmu. Puisi-puisimu. Ah. Aku tak kuat. Aku
tak mampu dan semuanya kau hadapi sendirian.
(Cerpen ini belum sepenuhnya saya edit, dia akan jadi bahan novelku)