Selasa, 01 Desember 2015

CINTA TAK AKAN PERNAH PERGI

Malam ini, rupanya ada yang aku mesti tuntaskan. Hal yang mungkin belum tuntas dan tak ada kata tuntas di dalamnya, seperti semacam kesadaranku, di mana aku mesti terus bertahan dan belajar sendiri lagi. Meski aku paham aku mesti hati-hati untuk tidak masuk ke dalam arus yang sama dan gelombang yang sama. Seperti pada kenyataan selalu ada yang putar dan terulang kembali. Mungkin hal begitu juga yang dirasakan orang lain, atau orang-orang sekitarku. Hanya ingin mengatakan dan menyimpan ini sebagai satu bagian dari perjalanan satu tahun.

Di awal tahun itu aku memetik bunga begitu indah, begitu kunikmati setiap senyuman, dan keluasaan dekapannya. Meski yang terulang pada sisinya adalah kodrat dan kedalaman prinshipnya. Dan, Prinship itulah jurang pemisah bagi segenap aliran yang ada. Bagaimana tidak, ada ribuan pertanyaan di sana, misalnya benarkah kau mampu memberikan pelukan pada segenap orang? Jawabnya pasti iya.

Sedang bagi mata hinaku, memandang pernyataan itu adalah kemudahan semata, di mana semua orang adalah kumbang pagi putik sari yang selalu aku jaga, bagi bunga yang selalu kusiram, aku tak paham, di mana konteks peleburan, bila masih ada yang rahasia dan yang disembunyikan, bukan cinta itu adalah kepolosan bagi dua pasang merpati yang sama-sama menebar perdamaian. Seperti novel yang baru aku baca langsung dan aku seolah jadi aktor dalam sebuah film, di mana aku juga bukan sahrurh khan yang membuatnya terjaga sampai jam 01.00 Malam. Iya. Aku bukan aktor India itu. Aku bukan, hanya sekeping perjalanan yang sama yang terulang dan diulang dalam hidup dan mimpi.

Ngomong soal cinta, difinisi bagi sepasang kupu-kupu berbeda. Pasti!. Tapi apa dalam perbedaan itu menyarukan keyakinan debar hati dan denyut rindu yang tak tahu rimbanya.? Entahlah, hanya malam ini saja. Malam ini saja. Rindu seperti gundukan es dalam dadaku, atau mungkin dadaku telah jadi kulkas, sedingin inikah rindu? Aku mencatatnya dengan bahagia, memandanginya, mengingatnya dan tak satu detikpun untuk melupakan itu. Di mana awal segalanya terjadi, dan setiap keadaan yang merekatan, Cinta penyatuan?

Aku belajar mendengar ingin jiwaku, yang tak mau memadamkan lilin meski sekecil apapun apinya, atau sebesar apapun hembusan angin pada tubuhnya. Dengarlah, belajarlah mendengar jiwamu? Masihkah diam itu sebagai ujud dari kedewasaan. Aku mencatatnya dengan bahagia, aku mengenangnya dengan igauan Ra Madasa.

AKU BAHAGIA KARENA AKU BERSYUKUR DENGAN ADANYA CINTA.
AKU BAHAGIA KARENA AKU MENGENALNYA
AKU BAHAGIA KARENA AKU JUGA KARENA KAMU

Yo.

021215