Rabu, 29 Juli 2015

Bukan Ranting, Bukan Pinus Tanpa Kelamin


By : Fendi Kachonk
Ia bergegas menuju tempat biasanya. Tempat di mana ia bisa menerima telpon atau mau menelpon temannya. Sesampai di tengah ladang jagung, di samping kanan dan kiri pohon siwalan. Angin berkesiur begitu landai menerpa wajahnya. Wajah yang selama hampir setengah bulan kurang tidur. Makan tak teratur dan demam yang sesat menimpanya. Ia lalu bertanya, pada dirinya, pada segenap keheningan dan kenangan yang selalu nakal.
“Aku mencintaimu tanpa alasan, andaipun kau penus yang tanpa ranting dan kelamin, aku selalu akan sayang padamu karena visiku amat kuat akan hal itu.” Suara itu ia dengar kembali, kembali terngiang, kembali dapat dirasakan hadirnya. Hari ini ia menunggu telpon darinya. Seorang teman yang pernah datang membawa keyakinan dan semangat baru. Seorang yang selalu membuat dia kuat dalam menjalani hari-harinya. Di sebuah kampung, di desa kecil ia menjalani bagian takdirnya.
Dalam ia termenung, tak dirasakan olehnya Hpnya bergetar tanpa suara. Ia tersenyum, ada rasa bahagia melihat siapa yang menelpon. Lalu, ia menulis pesan. “ Maaf, tadi saya lagi melamun, telpon darimu tak keangkat.” Dan sambungan telpon genggam itu kembali bergetar. Ia telah berjanji untuk mengawali obrolan dengan santai dengan gembira agar situasi itu bisa kembali menjadi riang dan bahagia. “Hey, siapa aja yang datang ke kantormu?” tanyanya. Seperti biasa ia berusaha memberi kesan hangat dan memang ingin menyapa dengan hangat. “Oh, ndak. Cuma teman-teman kantor, kebetulan memang ada rapat internal kantor.” Suara ditekan di seberang serasa berat pelan meluncur.
“Kau kalau ingin pergi, pergi saja.” Katanya, lepas tanpa kendali meruntuhkan semua keinginannya di sisi yang lain. Ia menahan diri lalu mencoba membuka obrolan pada sisi yang lain. “Sebentar, bisa tidak kita ngomong dengan tenang, ngomong dan mampu mendudukkan masalahnya pada tempatnya.” Katanya kepada seorang perempuan di telpon genggamnya.
“Tidak bisa.” Lalu sebuah obrolan dengan desah ngos-ngosan tak dapat dibendung dan naluri membuat nalurinya kembali bangkit, Terasa sekali perubahan mimiknya. Wajahnya yang awalnya hanya tersenyum dan menunggu giliran ngomong tak ada. Maka ia lalu memotong dengan cepat. “Kenapa kalau pernyataanmu saja yang kamu anggap benar, bukankah kemarin juga kau mengatakan itu padaku. Dan, ketika aku yang mengatakan padamu. Kau menuntutnya. Padahal itu reaksi dari cara komunikasimu yang patah-patah?” sergahnya dengan cepat.
Ia menahan laju napasnya. Karena bagaimanapun ia masih menyanyanginya. Masih melihat banyak hal yang indah dan memang ia telah berjanji menerima apapun keadaaannya. Namun, sayang baginya. Dan bagi perempuannya semuanya itu dianggap pepesan kosong. Ribuan jarum jam. Hitungan hari dan bulan serta kenangan-kenangan dan pertemuan-pertemuan menjadi tak ada nilai baginya.
Hampir satu tahun, ia mengenang kembali sambil bergumam. “Dulu, ia selalu mengatakan tak penting pisik, tak penting rupa, dan tak penting kau bagaimana pun. Karena aku akan tetap sayang padamu, karena sayang ini tanpa alasan.”  
Tapi, sekarang berbalik arah, semua ada alasannya. Dan, alasannya adalah gara-gara FB, Fb yang selalu jadi momok masalah. Dan Ia pun mengingatnya. “Fb tidak penting, pernah ia berjanji juga, aku tak akan pakai fb.”
Tapi, pun begitupun, semua perkataannya, semuanya tak lebih dari igauan di siang bolong sama ketika hari itu, siang itu ketika ia memutus telpon tanpa salam, dan sama ketika ia dulu yang yakin akan perkataannya bahwa rasanya tanpa alasan, “Andai kau ranting, atau penus yang tak berkelamin kau tetap aku sayang sampai kapan pun.”

Kini ia sadar, kalau dirinya bukan ranting, bukan penus tanpa kelamin. Tapi, dirinya bukan lagi simbol-simbol yang pantas dibanggakan.