Rabu, 20 Mei 2015

ROMANSA


Bila nanti pagi datang
dan tak lagi ada aku
di dekat bantal guling
Selembar surat melati
kuletakkan sebagai ganti
Aku tiada lagi
di sini aku pulang
dengan pesan
Merpati pasti terbang
matahari pagi lagi
daun akan hijau
daun akan gugur
Aku tak kembali
jangan pernah lagi
kau cari.
Moncek, 140515

Selasa, 19 Mei 2015

SONGENNEP

Di PDS HB JASSIN : Dewi Nova Wahyuni
(Penulis Tangsel) ARIANI ISNAMURTI,
Yuli Nugrahani (Penulis Asal Lampung) 

Sekali waktu kau bisa menjengukku
mengambil jeda dari hari yang sangat sibuk
memalingkan jarum jam dan menoleh ke belakang
di taman itu, hujan yang sama masih menanti
begitupun bulan yang pernah muncul dari rambutmu
umpama kolam kau ciptakan dari bening matamu
purnama hampir keriput di mata pencari malam
di kotamu, seronen dan tembang kumandang
di parapatan, tempat kita menukar kecemasan
Sekali waktu saja, kau bisa mengulangnya
birunya pantai yang kau sebut dunia yang tak tidur
dari senyap dan sepi yang menarikan ombaknya
nelayan membidik bintang untuk dibawa pulang
sekeranjang kenangan berisi ikan jadi makan malam
kau pasti akan kembali, dari masa muda setelah tua
seperti senja yang kau sebut selalu ada di mataku
Apa kita benar akan mengulangnya kembali?
cericit burung, petani yang lelah dan kulit keamasan
sebab api matahari yang mencium punggungnya
kau sempat akan menina bobokan kupu-kupu itu
sementara aku mulai mencari gambar tua di keraton
ribuan panji lama dikuburkan di museum dan kita datang
seperti pelancong yang asing pada kota tanpa silsilah.
Moncek, 170515

Rabu, 13 Mei 2015

TITIK TEMU DI PERNIKAHAN UMIRAH RAMATA.

Pembacaan Puisi Ayah Karya Umirah Ramata
dari buku Titik Temu Komunitas Kampoeng Jerami
di acara pernikahannya oleh Fendi Kachonk
dan Jay Wijayanti

(BERTEMU DI 10 MEI 2015)

Dimulai dari titik jam 9.30 WIB. Saya sedikit terburu-buru berangkat ke tempat biasa saya menunggu Bis untuk ke Surabaya. Dengan telat sekitar setengah jam dan tepat pada Jam 10.00 WIB. Bis bergerak membawa saya menyusuri desa, kota dan Kabupaten lainnya di Madura ini. Dalam perjalanan itu apalagi yang bisa diulang dari segenap tujuan kecuali kenangan kebersamaan kami yaitu dulu Nova Linda, Lia Amalia Sulaksmi dan Umirah dan menyusul selanjutnya Cici Mulya Sari dan Yuli Nugrahani dalam berbagai kejadian mengurus dan mengasuh sebuah kampung yang kecil yang dari dulu hanya menjadi bahan ejekan.

Umirah Ramata saya kenal sekitar 3 Tahun yang lalu. Pernah kami satu buku bersama 10 penulis lainnya kami menulis dan mengawali buku pertama kami dengan judul “Sandal Kumal.” Di Buku Sandal Kumal itulah. Saya dan Umirah Ramata mulai dekat sebagai saudara. Lalu, perjalanan kami menjadi sebuah ikatan yang kuat baik secara emosi dan segenap jiwa sehingga ada berapa kali tuduhan miring kalau kami tak hanya diikat oleh sekadar kata “saudara” dan memang saya akan tegaskan bukan karena hanya hubungan darah bisa jadi kami lebih kuat dari hanya kata itu.

Lamunanku tetap berkembang kemana-mana dan kembali saya ingat isi BBM yang Umirah Ramata saat dia membalas perminta maafanku karena tak bisa datang ke acara pernikahannya. “ Umi, maaf aku tak bisa datang ke acaramu ya?” Dan Umirah meresponnya dengan mengejutkanku. Maklum kepadaku dia selalu menjadi orang yang sangat merdeka melempar marah, senyum dan cerita sedihnya. “Ah, Mas gitu ya? Untuk acara sastra kemana-mana selalu dibela-belain datang, sedang untuk acara adiknya sendiri tak datang padahal inikan sekali dalam seumur hidupnya Umi.”

Setelah menerima balasan dari Umi. Saya lantas meminta ijin kepada istri saya. Karena memang pada saat itu Iman dan Surga belum begitu baik untuk saya tinggalkan. Akhirnya saya dan istriku memutuskan segera memeriksa Surga dan Iman memastikan mereka berdua siap ditinggalkan saya dalam berapa hari. Dan, saya pun mengontak Yuli Nugrahani yang pada awalnya dia akan mewakili Komunitas Kampoeng Jerami ke acara pernikahan Umirah Ramata tetapi karena pada tanggal 10 Mei Yuli Nugrahani masih di Batam maka dia pun tak bisa datang. “Fen, kau satu-satunya yang harus datang ke acara Umirah Ramata untuk mewakili kita semua.” Kata Yuli Nugrahani padaku. Dan, aku memang tak bercerita apapun kalau aku juga sebenarnya sangat sibuk dengan mengurus anak-anakku yang sedang sakit. Bertekad dan yakin kalau semuanya akan baik-baik saja. Maka saya pun berangkat ke Cirebon.

Terlalu banyak kenangan di antara kami semua. Merasakan Umirah Ramata yang selama ini hanya bertemu di Dunia maya dan pertemuan pertama kami waktu kepulangannya ke Indonesia dan selebihnya tak bertemu kembali. Dia berkabar akan segera menikah. Jujur saya sempat kaget tapi lebih banyak bahagianya. Karena dari awal saya memang sangat percaya dan selalu mengamini atas semua yang Umirah Ramata inginkan. 

Kurang lebih jam 3 siang saya sampai di Pasar Turi. Masih tersisa se jam lagi untuk menuju cirebon lewat waktu dalam tiket kereta Harina yang telah berapa hari sebelumnya telah saya pesan. Di sela-sela menunggu saya kembali mengulang semuanya. Misal yang paling terdekat adalah ketika kami sibuk dengan Titik Temu. Dan, peran Umirah sama-sama vitalnya dengan tugas Yuli Nugrahani, Cici Mulya sari dan saya sendiri. Dia sebagai penghimpun naskah dan data base yang handal selama ini. Yang biasa membantu mengurus ISBN dan segala yang sebagai tugasnya.

“Umirah, nanti saya akan sampai jam 00.00 WIB di Stasiun Kejaksan.” Kataku pada Umirah waktu saya telpon dia memberitahukan soal kedatanganku. Awalnya saya tak ingin memberi tahukan soal kedatanganku. Namun, demi pertimbangan yang lebih masuk akal karena saya tak paham alamat rumahnya Umirah Ramata daripada nyasar maka aku beri tahukan dia. “Siap, mas! Nanti sms ya?" Sahut Umirah.

Akhirnya, setelah turun dari kereta, dan melanjutkan perjalanan dari alamat yang diberikan Umirah. Saya memilih naik becak dengan perhitungan lebih hemat dan menghirup udara Cirebon dini hari. Melihat bangunan-bangunan hotel yang sangat banyak. Dan berbincang sana-sini dengan abang becak adalah bagian yang romantis serasa dekat dan serasa tak ada bedanya dengan madura suhu dan udaranya baik malam dan siang hari. Saya pun sampai di lampu merah Arjawinangun dan menelpon Umirah yang ternyata telah menunggu dengan mas Didik suaminya. Kami sejenak berbincang dan sejenak menikmati nasi goreng di pojong jalan di pertigaan tersebut. Tawa kami kadang pecah sampai si tukang nasgor tersebut mau usai setelah hampir pagi menjemputnya kembali.

Pada tanggal 9 Mei 2015. Sore itu, setelah seharian saya ada di tengah keluarga di Cirebon berbincang dengan ibunya Umirah dan mengenal lebih dekat Umirah kecil dan saya akhirnya sedikit terharu ketika ibu (ibunya umirah yang otomatis ibuku juga) bercerita ketika Umirah yang pada waktu itu baru ada di Taiwan menelponnya. “Ibu, itu kenapa ada orang yang tahlilan, ada apa?” Sedang pada saat itu acara tahlilan itu adalah waktu bapaknya Umirah Ramata Meninggal dan ibu memang menyimpan kabar tersebut kepada Umirah. “Ini ada acara di tetangga.” Hanya itu yang bisa disampaikan oleh ibunya Umirah agar Umirah yang baru ada di Taiwan tidak terguncang.

Dan, hal yang paling membahagiakan adalah ketika hari itu. Tepatnya sore itu, kami semua menunggu kedatangan Kuan Ami yang juga manta Ketua Pengurus FLP Taiwan asal Wono Sobo juga bersedia datang bersama penulis perempuan yang juga Mantan Wakil Pengurus FLP Taiwan ketika berada di Taiwan Jay Wijayanti penulis asal Magetan bergerak menuju rumah Umirah. Kami tak pernah bertemu, dan pertemuan ini memang jadi titik dari sekian titik waktu perkenalan kami. Misalnya dengan Jay Wijayanti yang dulu pernah menjadi Relawan Komunitas Kampoeng Jerami serta Kuan Ami yang juga satu buku di buku sandal kumal. Jadilah malam itu kami melepas tawa dan berbagi cerita.

Sampai saat pagi, waktu pesta tanggal 10 Mei 2015 mereka berdua menjadi pagar ayu yang juga merangkap jadi fotografer juga begitu denganku. Maka pesta Umirah dipotret langsung dari 3 titik. Wonosobo, Magetan dan Madura. Sampai sore, sampai malam datang, bergantian kami berbagi tugas membantu pestanya Umirah sampai pada titik akhirnya.

Akhirnya, malam larut dan undangan mulai susut dan tinggal satu dua orang saja. Saya membuat acara dadakan dan memandu teman-teman yang lain untuk memberikan kesan dan pesan kepada kedua mempelai. Di dalam beberapa kesempatan itu. Umirah dan mas Didik begitu larut dengan acara sederhana kami tersebut. Pesan dan kesan lepas begitu saja. Dan saya seolah melihat Umirah dan Mas Didik akan beranjak menjadi Umirah dan Didik yang dewasa. Ibu Umirah sempat meneteskan air mata ketika saya dengan berani mengatakan bahwa Umirah adalah penulis dan jangan pernah dipatahkan. Tapi, tetap sebagai Umirah yang baik dan terus menulis dan pada kesempatan itu saya membacakan puisi Umirah di Buku Titik Temu Komunitas Kampoeng Jerami yang berjudul AYAH dan Elang. Saat itulah puncak keharuan seorang ibu ketika sadar anaknya kemarin masih manja kini telah dewasa. Pembacaan puisi juga dilanjutkan oleh Wijayanti dengan membaca karya dari buku titik temu Komunitas Kampoeng Jerami karya Bunda Umy teman kami semuanya.

Akhirnya, acara singkat dan sederhana ala kami berlalu dengan ketika satu persatu di antara kami menyalami Umirah Ramata dan Mas Didik serta mendoakan agar mereka selalu bersama dalam kebahagiaan selamanya. Amiin. 

Semoga sakinah mawaddah warahmah. 

Moncek, 13 Mei 2015

Kamis, 07 Mei 2015

LASKAR MADURA

Kerapan Sapi.

Aku tanam, jagung, bakung
Aku tanam matahari, di dadamu
Di lautmu, kutanam biji mataku
Kelak tumbuh, jadi puisi.

Aku tanam matahari, di hatimu
Selat melahirkan garam di mataku
Asin mengelilingi rahim bumimu
Maduraku, kutanam kepalaku.

Di tanahmu, kisah perjuangan itu
buah pahit, sering ditelan, di perutmu
Anak-anak melanglang buana
tak pulang sampai putih tulang.

Sehingga kelak, bayi-bayi jadi puisi
Merangkai indahnya jagung, di ladang
Gembala telah pulang di magrib
Langit rukuk menunduk, sujud.

Moncek, 070515


Rabu, 06 Mei 2015

YANG TAK AKAN KEMBALI

Bersama, Soni Farid Maulana, Acep Zamzam Noor
dan Hudan Hidayat, Kuala Lumpur 2014

: Mei

Bukan pada hujan dan tangis kedinginan ini
aku hanya mampu menggumuli sepi
di kamar yang pengap, setelah siang tak datang
hari-hari larut dalam botol minuman, obatku
aku tak lupa, meski dipaksa ingatan untuk lelah
sirene pabrik, ribuan kelelawar menyambar-nyambar
bukan petir, katamu, setelah kita bangun pagi
kau akan ceritakan kembali mimpi semalam.

Itu saat aku seolah peti mati, ketakutan
bersandar di lenganmu yang kosong dari hitam
kau menyambarku, dan meletakkan bunga
di meja depan, surat kabar itu kau baca, teliti
orang berlarian, lalu lintas diam, dan kota-kota
telah menautkan bau anyir kematian.

" Bila kuntum bunga itu jatuh akibat udara
janjiku tak pernah padam, hanya lentera tertiup angin
ambil api, lalu suluhkan kembali, di dadaku
ada meriam-meriam yang merobek gendang telinga"

Jangan pernah menjadi elang yang akan terbang
aku berusaha menarik pundakmu, kepalaku masih pening
aku ingin kita minum lagi, sehingga kita pulas tertidur
tapi, matamu menyala matahari, kau menitipkan pesan
di keningku, bulan yang kau tuju masih hijau diingatan.

Moncek, 060515

Selasa, 05 Mei 2015

MUSIM TANPA KELAMIN

Bersama Matdon dan Yuli Nugrahani
di Majelis Sastra Bandung 2015


Ladang jagung, kidung burung, dan lengking seruling
di suatu senja, kita berpesta dengan saling bicara
jalan-jalan yang ditumbuhi kuning saga, rambut jagung
selepas musim menanam kuntum tembakau.

Ada yang ditinggalkan dari sebelum hari terbenam
tikar pandan, sisa minuman yang belum entas
dan buku yang belum dikembalikan ke dalam tas
sebagai peziarah aku mengantar punggungmu
melewati separuh malam, dalam genggeman.

"Ada saatnya nanti, pelangi mengajari matahari
seperti aku akan kembali, ke tanahmu, ke liangmu
pada cumbuan musim dan kepada puisi yang kita rampungkan
pastikan, bulu jagung, cerita perempuan peladang
dan gumpalan kesedihan yang dikuburkan di halaman belakang"

Semestinya, kita kan berdua, berbahagia, menarikan senja
lebih dekat sebelum matahari terbenam, suwung
kembali, aku menyebutmu, keesejatian tanpa kelamin
di ruang, di waktu, di manapun, kau bersamaku.

Moncek, 050515

Senin, 04 Mei 2015

BUNGA 1

Malaka Kuala Lumpur, bersama Acep Zamzam Noor
 (baca Puisi dunia NUMERA 2014)

Rumahmu sepi
tak kutemukan kamu
aku ke kamarmu
hanya ada bekas ciuman kupu-kupu
di dekat lemari panjang
fotomu tersenyum
menertawaiku
aku pergi, tak menoleh lagi

Moncek Tengah, 2 Sept 2013

Kelahiran Bayi Tong Sampah

Baca Puisi di Taman Budaya KALBAR 2012


Kubekam suara-suara itu
Gelombang rasa yang tak ku beri nama
Dari selat racau hening mengidik roma
Gemerincing genteng di timpa rintik

Suara-suara yang masih mengalun sepi
Menuju hati yang kelam dalam diam
Hening sunyi hinggap ke tepi
Barisan-barisan aksara rupa
Terbang bak wajah tumpah dan menoktah

Ku telah kecup kening malam
Di rimbun hening lalu menepi ke jantung waktu
Sesuatu itu lebih tau melihat aku
Yang tegun menuju titik warna molek

Dia datang lalu menyerupa sebuah wajah
Bayi yang haus akan tetek suci air bunda
Lalu bangkit memapah kalimat
Menuju langit dan menggambar pelangi

Semua gelap, hitam lalu hilang
Tubuh bayi itu luruh menjadi asap kemenyan
Bayi yang salin di tong sampah
Terbang membawa sebait puisi


Unair Surabaya, 5 Nov 2012
(dimuat di antologi LENTERA Group PBKS)

Sabtu, 02 Mei 2015

Matahari Fendi Kachonk


FENDI BERSAMA HUDAN HIDAYAT, Esais dan Sastrawan Nasional
Rumahmu sepi
tak kutemukan kamu
aku ke kamarmu
hanya ada bekas ciuman kupu-kupu
di dekat lemari panjang
fotomu tersenyum
menertawaiku
aku pergi, tak menoleh lagiRumahmu sepi tak kutemukan kamu aku ke kamarmu hanya ada bekas ciuman kupu-kupu di dekat lemari panjang fotomu tersenyum menertawaiku aku pergi, tak menoleh lagiTaman yang Membesar

4 Desember 2013 pukul 10:36

OLEH :HUDAN HIDAYAT, PEMIMPIN REDAKSI JSTH

chairil anwar
taman

taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya
bagi kau dan aku cukuplah
taman kembangnya tak berpuluh warna
padang rumputnya tak berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki
bagi kita bukan halangan
karena
dalam taman punya berdua
kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang
kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan 'nusia

1943

fendi kachonk
bunga

Rumahmu sepi
tak kutemukan kamu
aku ke kamarmu
hanya ada bekas ciuman kupu-kupu
di dekat lemari panjang
fotomu tersenyum
menertawaiku
aku pergi, tak menoleh lagi

Moncek Tengah, 2 Sept 2013

bunga, garis edar, taman yang membesar
2 Desember 2013 pukul 20:55
saat langit turun ke bumi
- bumi bahasa chairil anwar
langit bahasa fendi kachonk

GARIS EDAR

Aku matahari tak pernah tidur
mendatangimu setiap saat
tidak karena malam
atau siang hari
poros ingatanku belum mati
Kau bulan tak pernah lelap
mimpi sesaat tak parnah ada
ruas jalan kita tak pernah benturan
Hanya sesekali gerhana
hanya sesekali
ya, sekali ini saja
Tak ada hari, tak ada malam
kau dan aku tak letih pada garis edarnya
Hanya sesekali gerhana
hanya sesekali
ya, sesekali
masing-masing

Moncek Tengah, 21 Sept 2013


Pengertian yang bergerak mengatasi makna keluar dari balik kata paling tersembunyi, jauh melampaui penyairnya. itulah rasanya saat penyair fendi kachonk, membuat sebuah baris dalam puisinya "garis edar", baris atau puisi yang menerobos baris dan puisi chairil anwar dalam puisinya "taman".

"aku matahari tak pernah tidur", katanya.

sebuah turunan dari subjek yang memecah dirinya. di satu arti itu adalah kata-kata sang Pencipta (aku tidak mengantuk dan tidak tidur, ciri yang dikatakannya sendiri.) sebaliknya pada saat yang sama, ciri yang melekat itu pindah dengan jalan munculnya subjek yang lain adalah matahari, yang juga, secara terbatas, oleh matahari fana bukan baqa, "tidak mengantuk dan tidak tidur."

dengan demikian bahasa masa kini, diam diam tengah mengambil bahasa masa lalu dan mulai menggerakkannya dengan cara mendorongnya, sedemikian jauh, begitu dasariah menyulapnya, mengembalikan lagi apa yang ada di bumi ini ke langit. Suara chairil anwar dalam taman, suara bumi, kini dibawa naik ke atas, ke langit.

Chairil anwar memang, di sajak taman, memperdengarkan suara orang bumi bukan suara orang langit. dengan kata lebar dan kata luas, yang ia pakai dalam sajaknya taman.

sebab kata "lebar" dan kata "luas", familiar manakala kita diingatkan kepada dunia, univers yang kita diami ini.

"Alangkah lebar dan alangkah luas dunia ini."

begitulah dua kata itu kuasa, oleh seringnya ia kita temukan saat memperkatakan tentang betapa dunia itu tak terkira-kira, bukan kecil.
kita mengakrabi kata, oleh kata itu, dengan dialah kita mempercakapkan dunia ini. Tapi seorang penyair membalikkannya, sehingga apa yang kita kenali sebagai dunia yang tiada terkira-kira luas dan lebarnya ini, mendadak menjadi mengecil. Memang mengecil di dalam puisi, tempat di mana kata "luas" dan kata "lebar" itu kini, seolah memperpendek dirinya. oleh dipakai untuk bumi bukan untuk langit.

    Subagio itu benar, akan betapa seseorang di saat-saat akhir hidupnya yang tinggal hanyalah denyut intuisi. Orang lalu bersajak mengikuti dorongan hati, oleh keadaan yang telah ia ketahui bahwa hidupnya sebentar lagi akan berakhir.

Subagio (mungkin sudah dua kali saya mengutipnya, tapi tak mengapa, oleh dunia itu, akan selalu terulang kembali, lagi pula memang ada konteksnya),

"Di dalam keadaan demikian bersajak tinggal mencatat denyutan intuisi. Intuisi pula yang mengalamatkan kepada chairil kapan ia bangkit sebagai penyair, dan juga kapan ia berakhir."

Tapi kebenaran itu tidak harus dibaca lewat penyair yang akan hendak berpulang, oleh itu jiwanya mengisap segenap semesta dan mulai mengeluarkannya, keadaan energi yang hanyalah kuasa keluar apa bila kita ada dalam keadaan terjepit, keadaan darurat seperti misalnya fenomena orang bisa melompati pagar kawat berduri, karena dirinya sedang dikejar anjing gila, misalnya. fenomena yang mewartakan bahwa betapa di dalam diri kita manusia itu ada kekuatan maha besar yang tengah bersembunyi dengan jalan, (ter)tidur di dalam badan.

    darurat, saat di mana insting-insting hidup itu akan ditukar dengan insting-insting mati - manusia telah hendak pergi, meninggal - bahkan ia bisa muncul kapan saja, tanpa diri akan berakhir.

Kalau demikian, darurat bahasa itu bisa terjadi dalam keadaan normal (orang belum dihinggapi rasa akan mati). maka satu-satu penjelasannya adalah, intuisi, atau insting itu, rupanya memang milik dan darurat itu adalah keadaan antara: ia kuasa hadir, sebab ia dalam diri, muncul saat diri terbius, mati dalam hidup. ia adalah bagian yang tersembunyi, adalah kekuatan yang mengeram di dalam badan itu.

     inilah dunia "dalam" yang buta, bukan dorongan dunia otak sadar yang kuasa menyadari. bahasa lahir di sini, bahasa yang tak disadari secara wacana oleh penyairnya. dunia letusan dan apa yang meletus bukan saja tak disadari, tapi tak "diarahkan". ia mengambil ruang ruang bahasa, puisi, lewat letusan yang tak disadari. kata tiba tiba saja lahir, saling mengorganisasikan diri mereka, saling memperkuat letusan. setidaknya beberapa kata kunci, tempat di mana kita melihat bahasa, begitu rupa menyandang dirinya lewat pembelahan pembelahan yang tak disengaja, tak terencana oleh penyairnya.

misalnya dipakainya kata "luas", "lebar", pada taman chairil. atau, penggabungan "aku matahari" pada garis edar, puisi fendi kachonk.
Puisi adalah tanda dan tanda adalah puisi - alam ini kerap nian disebutkan: lihatlah tanda-tandaKu di alam ini - dan itulah antara lainnya "bulan" dan "matahari", sebuah tanda, jejak akan kehadiranNya.

apa yang menarik tiap (pem)besar(an) atau sebaliknya, (peng)kecil(an) itu sebelum terjadi pada bahasa telah dimulai pada bahasa lain adalah dunia indera yang melekat di tubuh: mata telanjang kita, oleh jarak, tahu bahwa matahari atau bulan demikian kecil sebelum kita 

   tahu, lewat mata "buatan" betapa bulan dan terutama matahari, itu tiada terkira-kira besarnya.

ke sini saya hendak menghela puisi taman chairil anwar dan puisi garis edar fendi kachonk, ke tanda sebagai sebuah hipogram alam bukan, seperti kata penulis buku semiotik puisi itu, hipogram dari tiap penyair sebelum, saat penyair chairil menghipogramkan berdiri aku amir hamzah ke senja di pelabuhan kecil-nya itu.

maka dalam kemungkinan melihat hipogram itu memiliki kualitas mimesis plato dan oleh itu, benarlah kata bahasa di sana bahwa, sesudah plato itu tiap penulis hanyalah catatan kaki pemikiran plato belaka - demikian orang melakukan permainan "pembesaran" serta "pengecilan", dalam pengertian matahari dan bulan dalam atau sebagai pikiran.

ada yang dikecilkan dalam puisi itu, seperti ada yang dibesarkan sehingga tanda dalam puisi bergerak seolah tanda di alam raya ini.

"Aku matahari tak pernah tidur
mendatangimu setiap saat
tidak karena malam
atau siang hari"

bait pertama dari puisi fendi kachonk garis edar, yang saya lepaskan baris keempatnya oleh itulah yang khusuk kini hendak kita lihat, adalah sebuah baris di mana sintaktis sebagai sebuah proses berbahasa yang memainkan kaidah telah dilampaui oleh gerak sastra yang cenderung mengabaikan kegiatan sintaktik. artinya makna tak tertahan dan makna itu bukanlah kaidah bahasa, walau asal usulnya memang tak mungkin tanpa panduan akal sehat atau kaidah bahasa.

apa yang menarik kita melihat, dari teori subjek bahwa di baris pertama itu ada penumpukan subjek sehingga ganda makna kini menjadi ganda subjek dan itulah tanda, sebuah arah di mana kata pecah ke banyak arti seperti kelak, taman chairil itu menjadi pecahan di mana bulatan dada manusia memiliki taman hatinya.

atau seperti kini, bulan dan matahari jadi satu tumpukan lewat aku subjek yang memang disediakan oleh teori kesubjekan: aku matahari adalah aku penyair aku lirik yang adalah matahari.

pada saat inilah matahari yang besar itu, memangkas dirinya jadi aku yang pendek, oleh kini aku matahari telah menjadi aku fendi.
atau taman di luar dan taman ini, memiliki kualitas seolah dunia sehingga taman dunia (rincian dari luas lebar pada struktur baris taman 

chairil anwar):

taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja

maka kita dengan sangat jelas melihat, denyut intuisi mati dan intuisi hidup itu bekerja pada saat yang sama, bukan oleh terutama darurat mati tapi darurat bahasa: sejenak chairil anwar itu trance dan ingin dalam keadaan mabuknya, atau di batas mabuk/kasmarannya itu, ia sejenak lupa diri dan mulai memainkan perbandingan yang tiada terkira lagi: dunia lebar luas jadi dirinya adalah taman milik mereka berdua.

tapi sekaligus paradoks: sesaat ia membuka keluar lewat, sugesti atau diisapnya acuan ke dalam tapi serentak acuan di dalam itu dikecilkan oleh, perasaan hati chairil yang membayangkan dirinya kini bermain subjek belahan: ruang separuh taman milik aku sedang separuhnya lagi milik kau - tapi kedua taman ini milik kita. dunia luar lebar luas, kini kecil saja adalah dirimu dan diriku, yang tengah kasmaran ini.
seperti fendi kachon itu, yang mengisap dunia luar lebar luas adalah matahari, ke ruang waktunya sendiri. ruang itu adalah ruang yang berbagi antara subjek aku dalam bahasa, dengan kemungkinan subjek yang matahari itu sendiri sebagai subjek.

begitulah mula mula linguistik memberi tahu kepada kita, bahwa matahari sebagai subjek tapi aku juga sebagai subjek, jadi kita kedatangan dua subjek yang saling menumpuk tapi ia adalah dua subjek yang bisa dipecah, lewat kegiatan tanda dalam puisi. matahari sebagai ruang dan garis edarnya, adalah sebagai waktu.

sekali lagi betapa puisi ini telah mengisap serentak fenomena alam ini: matahari sebagai ruang dan matahari sebagai waktu - garis edarnya.
(tidur) kalau tidur sebagai sebuah kata kita perbandingkan dengan acuannya adalah manusia, yang (ter)tidur oleh, pastilah tubuh fisik luar yang ingin istirahat itu, maka dipakainya kata "tidur" ke "matahari" dengan seketika menjadikan matahari itu ada dalam kawasan personifikasi: ia lalu serupa kita manusia, matahari itu. sedang ia benda mati bukan benda hidup, matahari itu. tapi kalau kata tidur itu kita artikan dengan jalan mengkontraskannya, maka kata tidur lalu jadi tidak bermakna. sebab tak suatu ada pun yang tanpa geraknya.
alias ada ada dalam suatu gerak yang bukan tidur tapi (ter)jaga. untuk sementara waktu kita akan berkata inilah kekuatan bahasa (kata) sekaligus kelemahannya. bahwa tak suatu kata pun yang kuasa mengurung, dengan jalan mengisolasikan kenyataan ke dalam dirinya - ke dalam pengertian adalah kata itu. tidur lalu demikian ringkih: ia meleset memaknai dunia tapi sekaligus, dari kata tidur itu dunia membukakan dirinya, bahwa ada adalah ada dalam suatu gerak, tak pernah tidur. (aku matahari tak pernah tidur) itu lalu menjelma bukan semata "matahari" lawannya "bulan" dalam sajak fendi kachonk, yang ia kontraskan:

"Kau bulan tak pernah lelap
mimpi sesaat tak parnah ada
ruas jalan kita tak pernah benturan"

lihatlah ada yang halus - kekuatannya, pada bahasa/kata itu, adalah saat sebuah kata adalah kata "tidur" kini mengubah dirinya - ia jadi kata "lelap", tidur itu tadi. keadaan yang kiranya agak cocok dengan sifat "matahari' yang maskulin dan "bulan" yang feminin. matahari itu menjadi, atau terdengar, maskulin, kelelakian ketimbang bulan, yang jelas keperempuanan dan karena itu ia lebih "halus" - terasa oleh kita "lelap", terlelap, itu memang lebih halus ketimbang "tidur", tertidur. bulan menjadi daerah impian oleh lelaki terus membayangkan wajah perempuan seolah "bulan", seperti kebalikannya, kaum perempuan terus juga bermain angan-angan seperti agnes monica itu (hehe, fendi kan jatuh cinta sama agnes monica, olehnya matahariku, katanya).

"Taman, Garis Edar, Aku Begitu Terpekik Pada Tuhan
3 Desember 2013 pukul 16:08

saya teringat titik euklides yang diberontaki oleh einstein, saat mengecap "garis edar" fendi kachonk dalam hubungan dengan, rauangwaktu yang tak terkira, telah berbelok, dengan cara luar biasa oleh chairil walau ia berucap bumi: tak lebar luas, kecil saja, katanya, akan taman yang mengingatkan kita kepada dunia ini seolah taman atau di dunia lain, syurga itu yang dengan jelas dikatakan juga sebagai taman - taman syurga atau firdaus, tempat adam dan hawa menyuruk-nyuruk oleh takut (serta malu) kepada tuhannya seperti yang bisa kita baca di alkitab, sebuah penjelasan yang begitu hidup akan laku adam dan hawa di syurga setelah memakan buah kuldi itu.

bahwa garis itu seakan lurus, sebuah titik ke titik yang lain seolah kita tengah berjalan, tapi edar membuat ia menjadi cair - bukan titik dari garis lurus yang diikat oleh titiknya, tapi kuasa dibalikkan oleh beredarnya, mungkin dengan jalan melengkung sampai begitu lengkungnya sehingga ia membelok - yang depan mendadak saja kuasa melenting ke belakang dan itulah rahasia sebuah kata, kata edar yang telah melunakkan besi "garis lurus" fendi kachonk. atau dalam taman chairil, dunia maha lebar luas itu ia remes jadi taman, taman punya kita berdua dan terasa sontekan sontekan chairil anwar - ingat ia menulis di tahun 43, tahun di mana rasa bahasa masih juga dikuasai oleh rasa bahasa kaum pujangga baru yang "melayu", tapi oleh chairil telah diubah dengan rasa bahasa yang "baru", oleh mungkin, kemampuannya mengubah letak kaidah bahasa?

tetapi ingatan yang kita letakkan saja ke semata "garis edar" tanpa baris baris yang mendukungnya lewat "matahari" dan "bulan", maka ingatan itu adalah ingatan yang dipaksakan alias puisi tak cukup memberikan umpan kepada pambacanya. seperti umpan yang dipetik dari langit dan memang selalu begitu, orang di mana saja akan selalu juga, bukan terutama atau pertama tama, memetik setiap peristiwa dalam bahasa itu lewat bahasa lain tapi lewat alam ini secara langsung, alam ingatan dari suatu masa lalu kita yang panjang. seperti lebar luas yang seketika mewartakan akan luas dan tak terkira kiranya alam semesta ini - itulah atau inilah "garis edar" yang dipetik oleh fendi kachonk dan disematkan lewat cara mengambil "bulan" dan "matahari" seperti chairil yang di akhir baris taman-nya memetik juga "surya" - matahari juga, yang kini telah bergerak ke kata dan kata surya ini dipakai sebagai payung untuk menudung taman chairil dan aku yang misterius di sana.

seperti misteriusnya kau dalam garis edar itu. atau kita katakan: terus menerus aku kedua dalam puisi itu, yang disapa oleh aku pertama, itu adalah aku yang makin membuat aku dalam bahasa -aku lirik itu makin menyuruk, makin tergelincir tak terpegang lagi. siapakah aku ini? aku yang dipasifkan dalam atau oleh, aku lirik dalam puisi. bisa engkau-kau, bisa juga: aku lirik itu sendiri yang tengah bermain solitaire diri, dengan menyapa, lewat sekali lagi membelah dirinya - jadi kau yang disematkan memakai patahan langit - matahari dan bulan, lebar luas tertanam di tempat kecil adalah taman chairil, garis edar fendi kachonk itu.

daerah halus dari dua orang penyair indonesia yang bermain halus dengan bahasanya - sebenarnya dengan hati jiwanya, oleh-oleh dari langit syurga yang telah, membuat kita manusia ini, boleh memakai bahasa dari larik puisi lia amalia sulaksmi: aku begitu terpekik pada kematian yang kita hidupkan lewat arah terbalik: aku begitu terpekik pada kehidupan dan sekali lagi kita ubah wajah dari kata kata instingtif ini, lewat persamaan dan pembalikan dari logika tulisan yang adalah langit-bumi-langit ini. baris penyair perempuan ini kini sejahtera di tempatnya: aku begitu terpekik pada Tuhan. sebuah sembunyian dari segenap peristiwa senang sedih dalam hidup ini, yang dibuat olehNya lewat kita sebagai, anak anak kata dalam struktur bahasanya yang maha luas dan maha lebar itu.

lewat kata "gerhana", atau lewat kata merenggut,

"tempat merenggut dari dunia",

kata chairil anwar akan taman-nya itu atau kata fendi:

"Hanya sesekali gerhana
hanya sesekali
ya, sekali ini saja"

kita lalu tahu bahwa lagi-lagi kata itu melakukan permutasi arti dirinya, yang membawa kabar akan, gerhana itu memiliki sifat seperti merenggut, dan dua sifat itu adalah sebuah warta bagi kondisi manusia.

orang melarikan diri dari "dunia" untuk membangun "taman"nya sendiri, membangun "garis edar" tempat di mana hidup yang ideal itu dikatakan dengan "matahari", atau "bulan", dan mataharibulan ini samalah dengan taman itu. terus menerus langit itu memainkan dirinya dengan bumi: benda benda lalu menjadi kepanjangan tangan manusia, untuk mengabarkan keadaan dirinya/diri manusia, yang tak henti hentinya beredar, berputar dari suatu harapan ke harapan yang lain walau, kenyataan juga yang akan menunggu kita di sana.

apakah kita punya cukup alasan untuk memainkan puisi taman ini seolah orang memainkan puisi aku/semangat, suatu gerak yang diproyeksikan ke hidup bersama - hidup negeri di zaman diri belum merdeka. merenggut lalu menjadi, melepaskan diri dari garis edar kekuasaan kolonialisme. atau kita biarkan saja bahwa itu adalah taman, taman hati chairil yang unik dalam tata, ia itu anjing yang diburu, ia itu binatang jalang - ia itu tungau yang tak kelihatan dalam garis edar kaum penghasil bahasa bahasa massa melawan, dalam puisi ketika itu. saya kira kita biarkan saja keadaan kata di dalam bahasa, yang berjalan di dalam bahasa lewat riwayatnya sendiri sebagai sebuah tanda.
artinya kau engkau itu mungkin sang kekasih hati - kekasih dalam hati bahasa chairil taman, bukan indonesia yang mengimpikan kemerdekaan lewat kata merenggut yang kuasa mungkin kita rekatkan ke tali tali di kaki kita itu sebagai rantai.

biarkan puisi bermain di garis edar-nya sendiri. seperti biarkan pula matahari dan bulan fendi kachonk ini memelihara misteri aku-engkau-nya sendiri juga.

biarkan saja
sekali saja

dengan begitulah kita menikmati bahasa, dari "dalam" bukan dari "luar" - atau bahasa itu kita tarik keluar dengan jalan ilmu yang metodik, tapi lalu kehilangan kesempatan untuk menikmati keindahan dari misteri kata yang, biasanya, di tangan ilmu menjadi teori dan teori ini mengisap seluruh kemungkinan setiap misteri bermainnya tata dari suatu kata yang berpadu, seraya berpisah oleh garis edar dalam hal fendi, bait matahari yang sedikit melakukan distingsi, dengan bait bulan. atau dalam taman chairil,

"kau kembang, aku kumbang"

atau kembali ke fendi lagi:

aku matahari
kau bulan

sungguhkah ini? bukankah matahari serta bulan itu adalah kepanjangan belaka dari aku lirik yang mengucapkannya?
saya diam dalam gaya, gaya chairil anwar dan gaya fendi kachonk dan kita menikmati cara mereka berbahasa, yang mesti diam di "dalam" bukan buru buru, serta merta menarik mereka, kedua orang penyair ini, ke luar - ke mana saja sepanjang itu bukan terutama "puisi-isi"nya.
terasa senyap membaca chairil itu, seolah kalau kita kelak membaca "bunga" fendi kachonk yang sama kosong dan senyapnya dengan taman chairil ini - atau dengan puisinya yang lain adalah: sia-sia.

"penghabisan kali itu kau datang
membawa kembang berkarang
mawar merah dan melati putih
darah dan suci
kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: untukmu."

atau suara fendi. bunga, katanya, lalu mulailah ia bermain senyap dan kosong seperti dalam sia sia chairil anwar itu. fendi kachonk, bunga, katanya,

BUNGA

Rumahmu sepi
tak kutemukan kamu
aku ke kamarmu
hanya ada bekas ciuman kupu-kupu
di dekat lemari panjang
fotomu tersenyum
menertawaiku
aku pergi, tak menoleh lagi

tampaknya "matahari" bukanlah "kumbang" seperti "bulan" bukanlah "kembang" - mereka entitas yang terpisah. kedua penyair indonesia ini membuatnya dengan arah yang lain. begitukah? teksnya memang mengatakan itu: kumbang toh diharapkan menyunting kembang dalam taman chairil, walau relasi begitu kelak diberantakkannya lagi dalam sia sia: sebuah puisi, yang kurasakan chairil telah memberantakkan 

suasana yang telah ia bangun dengan merdu:

ah hatiku yang tak mau memberi
mampus kau dikoyak koyak sepi

dua baris yang bagi saya, telah merusak, tapi dirusak oleh perkembangan kejiwaan dari peristiwa dalam bahasa chairil, tapi tidak bisa begitu, sebab daeah daerah sublim yang dibangun dengan begitu anggun di atas itu, kini seolah kaca yang telah dilempari batu dan batu itu adalah baris akhir, suatu tata, yang merusak: mampus kau dikoyak koyak sepi.

tak ada daya rusak itu di bunga fendi kachonk. baris baris bunga menemui bangunan yang telah dirancang penyairnya. kekosongan disublimasikan lewat gambar wajah, kamar, dan seseorang memasuki kamar dan ia mencari, ia tahu orangnya tak ada tapi nama diri tengah mencari, tampaknya jadilah 'simulakra"-nya adalah foto itu, suatu ilusi, atau ia memang memasuki kamar itu dengan harapan bertemu dengan aku-nya?

ah mampus kau hatiku yang dikoyak koyak sepi, itu sebuah keadaan terkuncinya bahasa di dalam puisi, suatu simpulan yang rasanya tak perlu diucapkan oleh keadaan, yang dibangun oleh chairil itu sudah sempurna membawa kabar akan hati yang dikoyak koyak sepi itu, telah meresap ke suasana itu sendiri. kalau demikian ada kemenangan dalam cara membiarkan baris puisi terbuka, mengambang lewat kosong dan senyap yang terus dipelihara oleh fendi kachonk lewat bunga itu. ia pergi seolah chairil yang pergi, tapi dengan sebuah kesimpulan: hati yang dikoyak koyak sepi dan dengan sebuah kata yang banal, kata yang ditolak oleh guru guru bahasa kita itu, tapi kita tak menolaknya kecuali sebagai sebuah ide ia telah menguncikan puisi: mampus. mampus ini yang diberi sentuhan luar biasa senyap oleh putus asa itu tak dikatakan, tapi dilukiskan dan itulah saat aku dalam bunga berkata dan pergi: ia tinggalkan rumah seseorang yang ia datangi, sebuah rumah di mana kelembutan telah dimanipulasi lewat kupu kupu - kecupan penuh kasih telah muncul di sini. dan akhirnya, daerah kosong itu tetap menjadi kesenyapan saat sang aku beranjak - bukan lewat kata mampus tapi, hanya meninggalkan gerhana dalam bentuknya yang lain.

"aku pergi, tak menoleh lagi"

inilah saya kira baris yang lebih memberikan kepuasan bahasa ketimbang kata yang dikuncikan oleh chairil anwar: mampus kau dikoyak koyak sepi. sebab aku pergi, tak menoleh lagi, telah meninggalkan segala kekosongan dan kesenyapan di belakangnya - di kamar, rumah kenangan dengan kelembutan yang menakjubkan itu: kecupan kupu kupu. terasa begitu feminin ketimbang maskulinitas yang ditunjukkan oleh chairil lewat kata mampus, serta dikoyak, sepi itu.

bagian terakhir tulisan saya tentang fendi kachonk ini, perlu diberi sedikit pengantar bahwa tulisan ini untuk menggenapkan varian-varian penting, esai-esai jsth yang sedang dicobakan untuk dijadikan cetakan oleh teman teman di kampoeng jerami. saya lebih suka menyebut penerbitan itu kelak sebagai nomor contoh, oleh kita tahu bahwa, beberapa bahan di sana memerlukan penambahan, tapi oleh niatan khusus teman teman kampoeng jerami, maka penambahan itu biarlah jadi pekerjaan saat varian varian khusus itu kita terbitkan lewat revisi.

sekali lagi saya ingin melihat chairil anwar lewat membaca fendi kachonk, atau melihat fendi kachonk saat saya membaca chairil anwar. kita boleh mulai lewat subagio yang menulis dalam sosok pribadi dalam sajak, sebuah buku yang dikatakan, oleh misalnya manneke budiman, buku kritik sastra yang cemerlang saat ia membandingkan kecemerlangan buku "kritik sastra" ignas kleden: enam pertanyaan dalam sastra indonesia".

Subagio saya turunkan lewat beberapa penggalan untuk memperlihatkan apa yang ingin kita katakan tentang chairil, khususnya dalam pengelihatan lain terhadap sastra indonesia modern. subagio memulai bukunya lewat kata kata ini:

"ini bukan kecaman terhadap chairil anwar. kurang ada keberanian pada saya untuk mengutak-utik kedudukan tokoh sastra yang kenamaan itu.

Di dalam bidang sastra terdapat kecenderungan yang sama seperti di dalam lapangan politik. sekali seeorang telah mencapai karisma, semacam kekeramatan kedudukan di tengah masyarakat, sulit opini publik dibelokkan atau ditumbangkan. kecenderungan itu lebih kuat lagi alam lingkungan hidup seni karena di sini kebesaran seseorang kurang tergantung dari kerjasama organisasi seperti layaknya berlaku di dalam kegiatan politik. kekuatan kedudukannya lebih banyak dan lebih khusus bersandar pada pertumbuhan pribadi sendiri. dengan demikian, 'kultus individu' di dunia seni merupakan gejala yang jamak. apa pun yang dikerjakan oleh seniman yang kenamaan cenderung dipandang masyarakat sebagai kebajikan estetik."

...

"kedudukan chairil yang kukuh di dalam dunia budaya kita telah ditopang oleh ahli ahli sastra dan sastrawan sastrawan yang telah memberi bahasan kepada sajak sajaknya seperti h.b. jassin, sitor situmorang, asrul sani, rivai apin, aoh kartahadimadja, dan penulis penulis luar negeri yang sejak semua telah tertarik kepada chairil, mengulas dan menerjemahkan karya karyanya...."

"dukungan yang begitu luas kepada chairil sebagai penyair yang terkemuka di dalam sastra indonesia bisa mengecutkan hati yang hendak menelaah penyair dengan karya karyanya dari asas pengelihatan dan dasar pertimbangan yang lain. kecemasan itu pun bertambah oleh keinsafan bahwa masyarakat budaya kita telah meyakini nilai dan martabat chairil yang seakan akan di luar jangkauan kritik itu."

titik yang saling bertemu
titik chairil anwar, titik fendi kachonk

kita tadi malam menulis tapi entahlah apa yang kita tekan di fb ini sehingga ia hanya kuasa menyajikan empat tulisan di papan muka, sehingga oleh tulisan lain apa yang kini hendak kita lanjutkan, tenggelam, seperti tenggelamnya tubuh manusia jauh ke dalam tanah - bahkan apa yang unik, tadi malam saya membaca subagio dan tubuh subagio seperti tubuh objeknya juga adalah chairil, tenggelam bersama tubuh subagio seperti tubuh saya dengan objek saya juga saat ini, tubuh kami ke/di depan kelak, juga tenggelam dan orang di masa depan yang akan membaca tubuh fendi kachonk dan tubuh saya yang tengah menyusur di "garis edar" penyair ini. begitulah rupa dari kehakekatan tubuh: ia pandai menghilang tapi tidak jiwanya. jiwa dari tubuh itu seolah manusia yang muncul setelah menyelam ke dalam air: ia menyembul lagi entah di ruangwaktu mana.

saya masih ingat tadi malam, bahwa kekeramatan chairil anwar yang diilustrasikan oleh subagio bahwa ia telah mencapai taraf mitos dan karena itu sukar dikritik. tapi sebuah perlakukan santai, wajar dari kata kritik yang kini hendak kita mainkan. bahwa bergerak keluar masuk dari pengertian pengertian lama maupun pengertian yang kita yakni sendiri. pengarang telah mati, itulah sebuah anggapan tentang, betapa tak lagi terkait bahasa itu dengan penciptanya, atas dasar ini saja kata kata subagio sudah kehilangan maknanya: keengganan orang untuk melihat chairil anwar dari jurusan lain.

atau kita cobakan ke penghayatan kita sendiri, adalah, bahwa kata kritik itu kita mainkan lewat cara, melepaskannya dari kata "kritik" dan kini mulai menghadapi saja bahasa tanpa nama, hal yang tak mungkin, tapi menjadi suatu kenyataan manakala kita ingin meletakkan diri ke dalam suatu sambungan dari setiap jejak yang ada dalam bahasa. tak pernah terjadi jejak bahasa itu, kini kita namakan ia sebagai sebuah titik di alam ini, sanggup memencilkan dirinya sendiri dan oleh itu, tak pernah bisa kita akses untuk melihatnya ada/berada di dalam titik yang lain. andai titik ini kini kita hidupkan, maka bertemulah dua titik itu, titik masa lalu dan titik masa kini.

titik, yang telah kita kerahkan untuk mengatasi kata kritik yang rupanya masih juga menyisakan keretakan dunia jiwa manusia, yang paradoks: di satu arti kita mengimani pengarang telah meninggal sesaat karyanya lahir, di lain arti kita masih juga ada dalam bayang bayang enggan seperti yang dilukiskan oleh subagio atas tokoh sastra kita di masa lalu, chairil anwar, yang pagi ini kita tangani secara lain saat membacanya bersama orang masa kini adalah penyair fendi kachonk.

pertemuan yang kita maksudkan juga bukan seperti pertemuan yang dianggapkan orang mungkin paling ideal itu. hanya pertemuan biasa saja oleh adanya titik tema yang bertemu - tapi mungkin tidak pada titik gayanya. syle orang masing-masing walau kemasingan ini juga ada batasnya, batas yang justru ditimbulkan oleh titik yang bertemu itu. kalau chairil anwar kuasa menghidupkan rasa senyap dan kosong pada taman-nya, masa begitu juga pada bunga fendi kachonk itu, rasa kosong dan hampa juga lahir dari permainan di mana titik yang saling bertemu itu kini mengambil dari praksis dalam bahasa: kata yang saling bertemu, kata masa lalu menjadi titik dan pertemuan yang terjadi di antara kata dalam bahasa ini menimbulkan jejaknya.

jejak inilah yang kita pandangi, sebab jejak itu, adalah suatu titik yang lain dan titik lain ini yang kuasa menghubungkan pembaca dan bahasanya, oleh pembaca juga adalah titik yang di mana, titik yang dihidupi, oleh rasa kosong dan senyap sepi yang menjadi ciri dari puisi. terus menerus titik yang saling bertemu ini menghidupkan dirinya, mengabaikan semua kemungkinan norma dari suatu anggapan tentang, ketidakmungkinan membawa setiap titik masuk dan mulai melihatnya secara lintas titik. kita memang tak seambisius pekerjaan yang digadangkan secara ideal lewat metode ketat ilmu pengetahuan sastra, menjelaskan segala ihwal, lukisan bab tentang latar fisik dari kedua penyair misalnya.

sebuah orientasi kepemikiran yang benar tapi boleh juga kita mengapungkan saja semua itu lewat cara, mengambil titik titik penting dan mempertemukan mereka satu sama lain. telah kita cobakan titik yang bertemu itu, dan kini kita hendak melihatnya ari arah lain lagi. sebab titik itu bisa membesar seperti rumah yang memiliki banyak (titik) pintunya - orang pun kuasa memasuki rumah yang banyak pintu lewat pintu yang mereka inginkan.

(yang tenggelam tadi malam muncul lagi, hehe, terima kasih fendi yang baik. kita lanjutkan lagi pertemuan kedua titik ini, hehe).

YANG TAK PERNAH SAMPAI PADAMU

Baca Puisi di Dewan Kesenian Malang 2014

Aku ingin datang. Tapi, tiap kali inginku datang
kakiku tak punya kekuatan, tubuh serasa berat
berton-ton yang kupanggul memintaku diam
lalu aku hanya tersengal dan dicekik keadaan
tak bisa berbuat apa-apa, hanya begitu saja.

Aku ingin datang. Tapi, tiap kali inginku datang
aku berasa tak mampu mengukur bayang-bayang
masa silam bagai pisau bermata dua, lalu
kedua mataku meleleh darah, aku hanya diam
ketika inginku datang, aku tak mampu melawan.

Aku ingin datang. Tapi, tiap kali inginku datang
aku tak paham pintu mana yang akan terbuka
selembar kenanganmu, foto usang di bilik ingatan
kampung halaman, banjir kota-kota serta taman bunga
telah membuatku gagal memilih jadwal keberangkatan.

(Aku ingin datang. Tapi, Tiap kali inginku datang
aku hanya mampu melukiskan jumlah kehilangan.)

Moncek, 020515

Jumat, 01 Mei 2015

AKU INGIN PULANG

1 
: Ibu

Dulu kau gendong aku tanpa sembunyi
dari binar matahari juga rembulan malam
pun kau nyanyikan kidung-kidung sunyi
selimuti aku di kandung tak malu-malu

Ibu, dalam dahaga yang kemarau lepas
aku tegak lurus di arus sungai kasihmu
meskipun aku beraroma keringat waktu
tak letih-letih memandu ronta nakalku
dalam kain “pencung” yang lusuh-layu

Ibu, doamu begitu lekat mengikat jiwa
dan elus belaimu seperti sentuhan sutera
membalut semua tempat di jantung-hati
suaramu pun muara telaga yang tenang
mengantarkan tidurku ke tepian mimpi

(Aku berenang dalam lautan kisah rindu
itari pulau kehidupan dan kenangan
yang mulai beranjak sepi tak bertepi)

Kini, aku ingin pulang ke pangkuanmu
belajar kembali aksara-aksara kepedulian
atau menghafal lagi tembang kemanusiaan
yang tiap baitnya isyaratkan perdamaian

Ibu, sungguh aku ingin pulang!

Ket : Pencung : Bahasa Madura artinya kain gendong.


Moncek, 181212