Senin, 22 Februari 2016

“Ketika Sekumpulan Puisi Bercerita"


(essay terhadap antologi "Tanah Silam" karya Fendi Kachonk)
Oleh : Nugraha, AT Malaysia



Beragam cara pandang, penilaian dan pengungkapan terhadap bangunan puisi telah banyak kita temukan saat ini. Secara umum, bangunan puisi dinilai secara hermeneutik atau dari sudut pandang pembaca dalam menangkap makna dan imajinasi yang mereka tangkap dari baris, bait dan seluruh tubuh bangunan puisi yang ditulis penyair. Secara khusus, bangunan puisi lebih jauh dikaji dan telaah dengan stilistika oleh sebagian kalangan akademisi dan penggiat sastra. Pandangan penilaian stilistika jauh mempertimbangkan struktur puisi yang meliputi diksi, majas, pemilihan kata, citraan, pola rima, tema, tipografi, dan bahkan ada istilah “mantra” dalam bangunan puisi. Namun dalam kajian ini saya lebih umum mengungkap dari sudut pandang penafsiran teks yang saya tangkap dan cerna dari penghayatan terhadap satu-persatu bangunan puisi dalam antologi “Tanah Silam” karya Fendi Kachonk. Saya mencoba menafsirkan dan menguraikan pandangan saya terhadap sekumpulan bangunan puisi yang cukup menyita waktu saya untuk menimbang dari sudut dan subjek mana saya harus berikan pendapat dan penilaian saya.
Puisi adalah jembatan penyampaian komunikasi pikiran dan perasaan dari penyair kepada pembaca. Bagi saya, puisi bukan saja bermain dalam kata-kata, namun juga harus mampu masuk dalam pikiran dan perasaan pembaca. Puisi ibarat wadah kegelisahan dan imajinasi penyair yang disampaikannya dengan susunan kata-kata yang tepat, sehingga bukan saja menampilkan keindahan rima, nada dan padanan frasa yang kuat. Namun juga mampu menghipnotis pembaca dalam dimensi yang berbeda dan tidak biasa. Beberapa karya puisi Fendi Kachonk seperti “Perempuan Kecil”, “Disebutlah Kenangan Itu”, “Sabda Musim” dan “”Nong Pegga” merupakan sebagian dari bangunan puisi yang saya nilai mampu menyita imajinasi saya. Susunan bait-bait bangunan puisi tersebut seolah memberi ruang untuk saya masuki dan ikuti arah perginya. Menurut saya, Fendi Kachonk telah berhasil meramu bangunan puisi yang terbebas dari stigma bahwa puisi adalah permainan kata-kata yang indah saja. Fendi telah jauh melampui batasan itu, bahkan telah mampu membawa pembaca awam sekalipun untuk masuk dalam ruang imajinasinya.
Bangunan fisik puisi tak lepas dari penggunaan diksi sebagai alat atau ornamen yang memperkuat gaya bahasa dan pengimajinasian puisi. Pada beberapa bagian bangunan puisi dalam antalogi “Tanah Silam” saya banyak temukan beragam bentuk diksi, baik diksi konotatif, diksi imajinatif dan diksi konkret. Saya tidak dapat menyebutkan contohnya satu-persatu, namun secara keseluruhan kumpulan puisi milik Fendi Kachonk telah memenuhi syarat dari sudut penggunaan dan penempatan diksi-diksi yang tepat pada baris, bait maupun frasa dalam bangunan puisi. Hal ini tidak sederhana, karena tidak semua penyair mampu menyusun dan menempatkan diksi-diksi yang khas serta sesuai kebutuhan dari tubuh bangunan puisi, bahkan seorang penyair matang pun sangat butuh kepekaan dan kejelian untuk mampu menempatkan diksi-diksi pilihan dalam bangunan-bangunan puisi yang tentunya dibanguan dengan beragam tema dan tujuan. Fendi Kachonk secara sistematik berhasil menghubungkan kata-kata yang tepat untuk digunakan sebagi media penyampaian makna serta gambaran imajinasi yang ingin ia sampaikan pada awam (pembaca).
Puisi sebagai dongeng penyair tentang dunianya, bahkan puisi dianggap simbol pandangan penyair terhadap dirinya sendiri dan lingkungan tempat ia berada. Puisi dapat bicara tentang keadaan dan waktu, bahkan bercerita banyak tentang realita kehidupan nyata. Beberapa puisi karya Fendi seperti “Sepasang Dadali”, “Kosong”, “Suatu Siang”, “Layang-Layang Kertas” dan “Senja” adalah sebagian dari beberapa bangunan puisi yang bicara secara kontekstual menggambarkan suasana dan sesuatu yang direnungi oleh Fendi Kachonk. Puisi-puisi tersebut ibarat rekaman jejak tentang apa yang ditangkap dan dibaca oleh Fendi Kachonk dalam realita yang ia simpan dalam ingatan lalu kemudian ia tumpahkan dalam bentuk sebuah karya, yang bukan hanya bercerita namun juga mampu ikut mengajak pembaca ikut merasakan suasana yang ia tangkap dari kenangan itu. Ada komunikasi yang segar dan efektif serta estetis (bertujuan) yang disampaikan oleh Fendi Kachonk dalam hampir seluruh bangunan puisi karyanya. Sebagian diantaranya bahkan dapat dimainkan dengan fungsi bunyi, grafologi dan visual apabila dibaca dengan penghayatan yang tepat.
Pada sudut pandang lebih dalam saya mengaitkan puisi-puisi karya Fendi Kachonk dalam wilayah sosiolingustik, pragmatik, budaya, hingga batin puisi. Dalam keberagaman bangunan puisi yang saya baca, ada sebagian bangunan puisi karya Fendi Kachonk yang lebih luas bertujuan menyampaikan pesan sosial secara figuratif yang ikut menyertakan keindahan ritme atau rima, pada bagian lain ada juga bangunan puisi yang mengungkapkan pengalaman indrawi dari penyair (penglihatan, pendengaran, dll), serta ada juga bangunan puisi yang disampaikan dengan cara khas memadukan keindahan kata-kata dan gambaran imajinatif. Beragam pandangan dengan berbagai sudut padang dapat saya ungkap dari setiap bangunan puisi karya Fendi Kachonk, namun hal yang paling kuat saya tangkap dari antologi kumpulan puisi milik Fendi Kachonk adalah gaya bahasa khas yang ia sampaikan lewat karya-karya puisinya, karena setiap penyair sudah seharusnya memiliki ciri khas yang sedikit berbeda dengan penyair lainnya. Seperti gaya bahasa cara memadukan kata-kata secara imajinatif, dan bagaimana ia memainkan unsur pembangunan puisi (diksi, majas, rima, dll) sebagai alat bantu dalam penyampain pikiran dan rasa pada awam (pembaca).
Sebagai penutup, saya simpulkan bahwa antologi kumpulan puisi “Tanah Silam” karya Fendi Kachonk memiliki ciri khas tersendiri dari beragam antalogi puisi yang saya baca sebelumnya. Ada pembeda yang Fendi Kachonk bangun untuk membedakan karyanya dengan penyair lainnya. Ia dengan perenungan panjang telah membangun puisi-puisi yang tidak berjarak dengan pembaca, sehingga puisi-puisi karyanya lebih luas dapat dicerna oleh pembaca awam. Hal ini penting karena sebuah puisi adalah media komunikasi penyampaian pikiran dan rasa lewat bahasa yang bukan saja indah, namun khas, imajinatif dan mudah dipahami pembaca. Ciri khas penggunaan diksi-diksi sederhana namun mampu diramu dalam susunan tepat adalah bagian yang sangat lekat dalam puisi-puisi karya Fendi Kachonk.

SENJA

             Senja selalu menghadang langkahnya. Bau tanah,
hujan yang singgah, aroma masakan dari dapur. Ibunya
memasak air mata pada kuali dan tumpah keringat
di ujung-ujung ruang meresap sampai ke semua sisi jiwanya.

            Senja masih menghadang bayangannya saat malam 
kembali datang dengan jubah hitam putih membawa kain
kafan kenangan. Tentang berapa janji, tentang berapa coretan
yang ditulis di dinding kamar, di bawah foto perempuan
yang digantung di paku karatan.

            Senja belum juga berdamai memberi kebahagiaan
pada tiap pijak kakinya. Ada nanah dari ujung jari-jari menyusuri
sungai-sungai sampai mata ikan menangkap bau masakan
dan ia tak sadar. Kalau ia telah jauh merenungi waktu.

            Tentang hari dan masa depan yang ia akan tuliskan nanti,
menjadi puisi paling sunyi.

            Moncek, 271114



SEPASANG DADALI

            Kita menjelma sepasang itu
menunggu kabar tentang kita
berdua dililit ketakutan
entah kapan ada jumpa?
sekali waktu aku berkunjung
pada pantai dan pada cemara udang

            Hanya musim bercanda denganku
dirimu, berkata lain soal berita
soal hari yang leleh di lutut
seperti lilin kau diam
membiarkan dirimu mengecil
jadi tiga potong haiku di pasir.

            Padahal aku masih menyimpan
ritualmu yang menghadap timur
menunggu bintang kartika muncul
mengecup daun flamboyan
lalu menuliskan prosa hujan.

            Kau menolak gelombang
tapi kau hianati semi tadi pagi
di sini, aku bertanya pada buih
melempar pandangan pada laut
dan menceburkan luka pada garam.

            Moncek, 190615

: essay ulasan ini juga telah dipublikasikan di beberapa group puisi dan blog penulis.

Minggu, 21 Februari 2016

TERSUDUT KE SUDUT YANG PALING SUDUT


Tak seperti malam ini. Dulu, pernah dan kerap bahkan nyaris datangnya begitu cepat dan amat sering saya rasakan. Tiba-tiba kosong seolah ada di ruang dan tempat yang sangat beda. Meski saya selalu sigap melihat dan memerhatikan sekeliling saya. Berusaha sedemikian cepat untuk tak ada di tempat yang seperti ini. Sungguh mejemukan, seperti ingin pergi ke tempat yang lain, tempat yang begitu indah. Di sana aku harapkan tak ada kekacauan, tak kegelisahan, tak ada keinginan, tak ada harapan juga tak ada perasaan yang tak jelas seperti ini.

Mungkin, ini yang namanya ruang kosong atau hampa, entah karena apa, atau bisa jadi karena tubuh sedang lelah, sedang pikiran terus dirajam berbagai hal. Sempat ingin mengatakan “brengsek” pada siapa? Pada apa? Pada berapa hal yang silih berganti dicuri kenangan dan dikembalikan kembali setelah saya dan organ yang lainnya tak memiliki kesiapan. Sepertinya saya harus mengentaskan semua ini, memangkas jalan pikiran, atau benar-benar pergi ketempat yang baru, ke hal-hal yang baru, membuat kenakalan-kenakalan imajinatif, membuat diskusi yang lebih segar dan tak lagi melulu bertumpu pada selembar surat kehidupan yang tak tuntas aku terjemahkan.

“Hai, Bung! Sedang apa kau sekarang? Sedang tak ada yang kau pikirkan lalu kau tersudut sendiri, memikirkan hal-hal yang tak terjangkau dan hanya pada satu ruangmu inilah kau berpikir sendiri. Sedang, sedangkan di luar sana, orang-orang menemui mimpinya, tak peduli kau tak bisa tidur, kau tak membuat matamu lena. Lihat, renungkan, semuanya memilih jalan sendiri, semuanya tak lagi peduli dengan hal-hal kecil. Sepertinya aku yang setia padamu,” kata malam yang keluar lepas dari sisi pikiranku.

“Jangan terlalu menghamba pada kata-kata, pada bujukan, dan seolah-olah keindahan, seolah-olah jamu, seolah-olah kesejukan. Tidak bung, Tidak! Tidak sama sekali, berapa kali kau terkecoh dengan semata wadah, berapa kali kau terluka hanya pada kata-kata, gerak-gerik, nama-nama, tanda-tanda dan alamat-alamat. Di sini, sudah hampir dini, tak ada suara selain aku, meski aku juga akan mengecoh segala kegembiraanmu jadi kesenyapan dan kuberikan kau hidangan yang bernama rindu pada bentuk, pada simbol-simbol, pada kenangan, sedang kau tak sadar, hanya kau yang tersiksa, dan hanya kau yang membutuhkannya semata.”

Malam terus mengoceh dan benar sekali ia semakin mengecohku, ia mematahkan kebodohan-kebodohan, ia mengingatkan daun-daun, mengingatkan lembar-lembar buku dan jemariku semakin lelah. Saya sudah benar-benar lelah, dan lelah ini akan membuat saya jadi orang asing kepada diri sendiri, lalu rupanya ia butuh melupakan sesuatu, sesuatu itu mungkin dalam bentuk simbol-simbol, bentuk-bentuk, kalimat-kalimat, perkata-kataan, Lalu: Diam
 Moncek, 220216

x

SKETSA YANG GAGAL



                                Daun-daun di halaman rumah, tak lagi bergerak
                      Derik rimbun pohon berburu telinga ruang-ruang
            Seperti kenangan yang memanggang kecemasan
     Dalam risau angin, pelan mendekap kesunyian.

    Pintu kamar, lubang jendela dan sketsa wajah
    Di kertas, pulpen tergeletak,  garis-garis kecil
    Di balutan kafan, lekuk wajah dan kenangan.

    Tempat muara hening meminjam irama dawai
    Menerjemahkan nada-nada dalam gelas suara
    Rindu mengajak kembali menoleh ke belakang
    Merasakan ayunan air mengalir dari jiwanya.

   Di wajah yang tak rampung di ujung kuasnya
         Berebut tempat untuk lebih dahulu dinisankan
                  Tangannya kaku melihat selembar daun  jatuh
                                  Menuju senyapnya akar-akar mengerat air mata



Moncek, 220216

Selasa, 16 Februari 2016

RINDU YANG TAK TUNAI

Maukah kau kembali padaku? Bertanya sekuntum senyum yang layu pada suatu pagi, aku menunggu kabar darimu, kau masih bisu dan tak mau menyapaku? sedang aku ngilu itu adalah kata lain dari rindu.

Mungkin, kau tak pernah tersiksa atau barangkali kau berpura-pura bila jiwaku dan jiwamu saling meraung, memanggil namaku, namamu. Sedang kau masih tak peduli. Apa kau pernah mengenaliku lagi? seperti saat hujan menetes, kau menungguku di teras rumah gelisah dengan payung hitam.,takut aku kehujanan, berlari menyambutku, seperti itulah kira-kira rindumu, dulu?

Kemarilah, lihatlah kembali pada suatu catatan kita, berdua melalui hari-hari dalam puisi, menuliskan rindu, membentangkan doa, lalu memuja bintang dan rembulan saat malam memisahkan dua tubuh kita. Tapi tak ada kesepian waktu itu, kau tak pernah kehilangan apa-apa, tak pernah jauh dari setiap yang aku punya.

Benarkah, aku telah berubah, atau rindu ini telah mengelabuiku? Jadi sesosok yang tak lagi indah di matamu, jadi seseorang yang asing, tapi ingatkah kau? Bunga-bunga yang mekar juga pernah terjebak di tengah musim kemarau, layu dan gugur. Mungkin aku juga begitu, sebab rindu dan kebencian tak mampu menjangkau lengangmu, tak mampu, mampu.

Hari-hari berlalu dengan sepi, tak seperti biasanya. Senyum tak lagi ramah, senyum tak lagi manis, dan kerap siang menarik percakapan kita menjadi bara dalam sekam. Lalu api itu muncul membakar taman yang sejuk sedang taman itu tempat kita berjanji menghabiskan pagi yang selalu indah.

Baiklah, aku sekarang telah renta. Kumohon sekali saja atau mariklah kau ambil bahuku, gerakkan jemariku, buatkan aku metafora lain dari rindu. Sebab aku masih ingin mengayuh sampan, berenang denganmu, menikmati sarapan pagi, lalu menyatu dengan detak nadimu. 

Lenganku tak mampu menjangkaumu, doaku hanya sekerlip cahaya lilin, aku ingin kau membukakan pintu bagi tamu yang tak tahu membawa segenap kecemasan rindu ini.

Moncek, 160216

MENEROBOS JEJAK SAJAK-SAJAK “TANAH SILAM” FENDI KACHONK



Membaca puisi membaca jejak imaji dalam lorong labirin - ‘sebuah sistem jalur yang rumit, berliku-liku, serta memiliki banyak jalan buntu. Labirin bisa menjadi permainan di atas kertas, namun dapat juga dibuat dengan sekala besar dengan menggunakan tanaman yang cukup besar untuk dilewati dapat juga dengan tembok atau pun pintu-pintu’ (https://id.wikipedia.org/wiki/Labirin). Sedang Fendi Kachonk dalam hantaran antologi puisinya menengarai dengan ‘jalan panjang dari sebuah proses pencarian dan pintu masuk untuk belajar mengenali semua yang ada dalam diri. Lebih-lebih mengenali alam sekitar yang semuanya dibungkus oleh kesatuan harmonika dan dinamika semesta yang tak mungkin dipisah satu sama lainnya.
Sepanjang perjalanan itu, puisi seolah mengecil terkadang meluas, atau sempit bahkan menjadi tak beraturan jauh panggang dari teori-teori yang dibaca di kelas dan bangku sekolah’(halaman v). Maka tak heran tamasya kali ini menelusuri jejak sajak dapat menemu hambatan yang cukup merepotkan.

SELAMAT PAGI FENDI
Ada bahasa daun cemara 
di tepian pantai 
saat hujan singgah 
kering sudah berlalu.
Ada yang terekam di sini 
dalam pikiran 
yang tak lekang 
oleh sapa angin ribut.
Aku menyapa padi-padi 
tempat aku lahir jadi benih 
dipatuk gagak hitam.
Kemarin aku bertahan 
kini kuucapkan kembali. 
Selamat pagi, Fendi.
Moncek, 2014

Pembukaan antologi dengan salam yang cukup sederhana untuk dicerna walau alur logikanya agak mengkhawatirkan menjebak dalam labirin makna menyempit terjepit teori linguistik pragmatik - pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni cara satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi. Morris (Rustono 1999:1) sebagai pencetus pertama bidang kajian ini mengungkapkan bahwa pragmatik adalah cabang semiotik yang mempelajari relasi tanda dan penafsirannya. (http://belajarindonesia24.blogspot.co.id/…/pragmatik-dalam-…).
Lihat bagaimana Fendi Kachonk membuka imaji bahasa daun cemara dan menutup dengan bahasa lain ’Kemarin aku bertahan/kini kuucapkan kembali’. Loncat kijang katak unggas di pagi waktu dalam empat bait empat baris per bait mengingatkan bentuk pantun atau syair lama ternyata telah berinkarnasi menjadi modern dengan loncatan bahasa semesta secara pragmatis sehingga burung gagak sudah tidak lagi melahap bangkai tetapi bulir padi yang bernas petani yang tak terjaga. Sajak ini seakan terbagi dalam tiga bait sampiran dan satu bait penutup sebagai isi seperti sudah ditengarai Nirwan Dewanto pada sajak Chairil Anwar - Kesetiaan Chairil Anwar terhadap bentuk-bentuk puisi lama sesungguhnya lebih besar daripada yang kita duga.
“Senja di Pelabuhan Kecil” juga memperluas konsep sampiran dan isi dalam pantun: bait pertama dan kedua adalah sampiran, dan bait ketiga adalah isi. Kedua bait sampiran tersebut adalah lanskap murni, yang seakan-akan dikatakan oleh orang ketiga. Tetapi sekonyong-konyong orang pertama, si aku, muncul pada bait ketiga, bukan untuk berseru, tapi bergumam lembut, menggarisbawahi apa yang dinyatakan kalimat pertama dalam sajak itu. Pola sampiran-isi ini muncul kembali dalam kuatrinnya yang lain “Derai-derai Cemara”: bait pertama merupakan sampiran murni, bait ketiga isi, dan bait kedua setengah-sampiran, atau kait yang memperantarai kedua bait. Sementara itu, sajak ini juga tampak lebih setia kepada bentuk syair: setiap baris adalah kalimat lengkap, dan setiap kalimat berusaha bertahan dengan jumlah maksimum enam kata. Variasi lain dari perluasan kuatrin-syair adalah sajak “Yang Terampas dan Yang Putus”:  Tetapi di situ Chairil memisahkan baris keempat dari setiap bait menjadi bait-sebaris tersendiri. (http://jalantelawi.com/2012/04/situasi-chairil-anwar/).
Kalau langsung meloncat pada sajak penutup antologi dapat terlihat bagaimana labirin yang membingungkan telah sirnah dan cukup jelas penyair mengolah kearifan budaya lokal lewat saja yang bercerita atau balada yang juga dilewati Rendra dalam menulis jejak sajaknya sebelum nantnya Rendra menjadi penulis pamphlet dalam bentuk puisi membicarakan pembanguan yang diunggah pada zaman era yang monopoitik. Rendra mengaku membrontak karena kecewa pada dirinya yang lemah seperti Catatan Editor ‘Puisi-puisi Cinta” (2015), Edi Haryono - ‘Penyakit saya sebenarnya ialah kesal dan marah. Objeknya ialah: keadaan. Saya tahu bahwa orang yang suka memberengsek terhadap keadaan ialah orang yang lemah semangat. Ia tidak bisa menguasai diri dan keadaan kelilingnya. Nyatanya memang demikianlah keadaanku waktu itu. kekesalan saya itu terutama karena saya kecewa terhadap diri saya sendiri. (halaman xiii: W. S. Rendra. 2015. Puisi-puisi Cinta. Yogyakarta: Penerbit Betang)
Simak puisi Fendi Kachonk berikut.

KEPADA ANAKKU
: Iman Dan Surga

Sini sayang mendekatlah 
kuingin ceritakan inti hati 
hatiku yang kuambil dari abah 
embahmu dulu suka mengajakku 
bercerita banyak hal.
Katanya, aku masih ingat selalu 
cintai orang yang dekat denganmu 
dekat dalam kebaikan 
dekat seperti aku dan kalian 
anak-anakku, bahasa ibumu 
bumi dan langit.
Meski kelak kalian terlunta 
tetaplah dalam gubuk sendiri 
gubuk yang sederhana 
gubuk yang mencatat tangis dan air mata 
seperti aku, emakmu, embahmu 
mengajarkannya pada kita. 

Bila ada yang datang dengan ikhlas 
buka pintumu seluas mungkin 
teduhkan mereka dari panas dan hujan 
suguhkan tikar pandan biar bisa rebah 
jagalah mimpinya sampai bangun.

Bahkan sayang, kalau mereka dahaga 
ambillah ke sumur belakang rumah 
tapi bila kering berlarilah ke tebing 
atau ke ngarai, atau ke lembah 
bila juga tak kau dapatkan.

Menangislah seperti Ismail 
hadiahkan air matamu untuknya 
di situ aku akan bangga 
bukan karena kalian dapat sembilan 
di raport sekolahmu 
tapi hatimu telah penuh nilai-nilai.

Rumah Surga, 19 01 14

Kuncian sajak ini menunjukkan begitu tawaduknya penyair sehigga menyitir ayat yang didapatkan dalam kitab suci tentang nabi Ismail. Kekuyuban yang santun akan pencari asal muasal sejarah agama manusia yang diyakini kelurusannya.

Menangislah seperti Ismail 
hadiahkan air matamu untuknya

Muhammad Lefand yang juga berdarah Madura lanskap sajaknya selalu mencoba menolak jadi pemuisi atau penyajak. Ini tertuang dalam pembukaan kumpulan sajak “Jangan Panggil aku Penyair”:
Keteguhan penyair pada pemahaman akan alam yang keras di bumi Madura sangat membekas sebagai warna kearifan budaya yang akan melengkapi pelangi corak puisi Indonesia atau Nusantara. Dari bilangan timur Jawa memang tidak sendirian dia, masih ada pendahulunya yang di antaranya memegang kendali Majalah Sastra Horison: Jamal D. Rahman, termasuk Abul Hadi WM, maupun D. Zawawi Imron. Tak pelak puisi Lefand menjanjikan tongkat estafet kepenyairan berdarah Madura.
Simak sajak Fendi Kachonk berikut:

BUKAN LAGI PENYAIR

Telah aku putuskan malam ini
jadi penyair apa peramal?
berulangkali sajakku gagal
melukis senyumu yang biru
seperti pedagang yang lupa
daftar belanjaan.

Aku dihadang bayangannmu
tak mampu kurayu dengan prosa
bahkan ketika melati kubawa
kau membiarkan dingin di sini
hati penyair lebih lengkap katamu
tanpa keriuhan tapi penuh kecemasan.

Kuputuskan tak jadi penyair malam ini
kuambil tongkat bukan pensil
berjalan menyusuri jalan malam
menatap bintang serupa ahli nujum
kuramalkan diri sendiri di sini
aku tercekik oleh kata-kata sepi

Moncek, 2015

Bait terakhir memang sebagai petisi untuk menjerumuskan onggokkan kata-kata itu hanya ramalan dan di masa depan akan hadir yang bukan penyair tetapi penyair dengan P (huruf besar!). Hampir rata penjelajahan Fendi Kachonk purna dengan kuncian sajak: aku tercekik oleh kata-kata sepi. Tak pelak daftar panjang penyair Nusantara akan makin menggelora seganas gulungan ombak samudera Indonesia.

Bogor, Pebruari 2016
Cunong N. Suraja (penyuka literasi khususnya puisi, Dosen di Ibnu Chuldun, Bogor)

(Catatan: Tulisan ini saya ambil dari postingan Abah Cunonk di sebuah group. )

Minggu, 14 Februari 2016

BAKAHEUNI



                                                            "Baiklah, aku akan mengulang kisahnya
                                                                     Pada ribuan meter, jarak tempuh
                                                              Mengembang dua selat, dua gelombang"

Kapal-kapal selalu membawa rindu
Pada bibir pantai, di suatu senja
Daun cemara menuliskan risalahnya

Wajah asing, disingsing keemasan
Di  rumah kerang ada istana air mata
Tempat sunyi diam dan ditinggal

Ada yang sengaja singggah di sini
Ikan-ikan di Bakaheuni menepi
Burung memilih sarang di cemara

Karang tak lagi meninggalkan kesan
Matanya mengantuk di kabin, dibawa ilusi
Seseduh sepi penyambut matahari pagi.


                                                                     "Baiklah, ini perkara gampang
                                                                   Gerimis hujan menyertai puisi-puisi
                                                            Pulang ke tubuh Haiku yang dituliskan senja"

Sabtu, 13 Februari 2016

HITAM-PUTIH TUBUH CINTA


: Fendi Kachonk

Begini, saatnya aku melihat ini sebagai bentuk renungan dari perjalanan yang amat singkat tapi meninggalkan jejak perjalanan yang begitu dalam pada hidupku dan mungkin pada bagian yang lain aku juga semakin dapat pelajaran tentang cinta. Kenapa cinta? Karena ini momentum yang tepat bagi sebuah kata “cinta” untuk direnungin. Bagi penyair ini seperti candu, atau bius yang bisa membuat lena bermimpi, atau bagi semua pemusik, cinta akan seperti lagu, serenada, seriosa, atau tembang dll.
Valentine Day, sebuah waktu yang bagi sepasang kasih adalah gerimis yang akan membuat mereka berteduh lalu moment romantik itu akan jadi kisah indah, meski suatu saat akan jadi moment dan mimpi yang lebih kejam dari apapun, dan kenangan akan jadi bulan-bulanan penyesalan, sebab apakah? Nah, pada konteks itulah, saya ingin ngelantur kesana dan kemari, menjadi suatu organ dalam bentuk rasa yang abstrak, dan mempertanyakannya dalam bentuk kata. Komitmen? Nah, ini juga yang menyebabkan kelahiran dari sebuah rasa bernama cinta butuh tempat yang teduh, agar semua lebih ngendap lalu sublim jadi sesuatu yang dicari yaitu “keindahan dan kebahagiaan.”
Barangkali, moment hari kasih sayang ini jadi tempat saya untuk kembali “me-napak tilas-i” semua demi sesuatu yang lebih besar dan mencoba menyimpulkan dari laku dan kata, dari keadaan dan kenyataan, dari kelukaan dan keceriaan. Pandangan saya, masih sama, meski sama juga mungkin bagi setiap pengalaman semua orang kalau sebenarnya cinta itu menghidupkan dan mematikan, dan kalau diliat dari sini, apakah saya akan sepakat, kalau kekuatan terdahsyat itu adalah cinta? Karena setelah menghidupkan, cinta juga mematikan. Saya ingin menyeret satu misal, seseorang yang anggun akan  jadi sungguh menyeramkan hanya karena cinta, atau sebaliknya, seseorang menyeramkan akan jadi sangat indah di pandang cinta. Dan, itu semua hasil dari rekayasa cinta atau rekayasa pikiran yang tak sanggup melihat perubahan.
Dan, ini lagi, apa yang dulu baik akan jadi jahat, jadi cuek, jadi songong, dan apakah itu cinta, dan apakah itu bentuk dari sesungguhnya roh bagi cinta. Misal, suatu hari ada yang datang lalu berkata. “Andai kau pohon yang ranggas, atau pinus yang gersang, bahkan bila kau adalah hewan yang tak berkelamin, sayang dan cinta ini tak peduli, dan semuanya masih tetap dalam payung cinta yang menghindarkan dari terik matahari dan dinginnya hujan”
Pada saat itu, segenap kepercayaanmu, karena ucapan itu diperkuat dengan semisal. “ Cinta itu adalah kata kerja, dan lalu menjadi satu tubuh dalam penyatuan, bukan pada sekadar dhahirnya saja, tapi semua visi dan logika” pasti, semua berdampak, dan bisa jadi itulah cara cinta dalam ucapan bergerak menambang lapisan kekuatan dalam tubuh manusia, dampaknya, semua hari jadi indah, kemana-mana kita akan bernyanyi riang, dan semua cerita akan lancar, komunikasi hanya membedakan dua warna suara, dalam bentuk yang berbeda, antara kasih dan sayang.
Seperti bunga yang rindu sentuhan kumbang, atau seperti kuncup yang ketika pagi selalu ingin menyambut sinar matahari untuk berubah bentuk menjadi mekar, itulah kekuatan cinta. Namun, tak sejati di jalan yang masih dihuni oleh kekuatan akal dan kepentingan, kebutuhan dan keegoisan, dan yang kanak-kanak akan menjadi sosok yang dewasa, tapi anehnya kerap yang dewasa lebih dari kanak-kanak biasa dalam melihat dan memandang segenap dinamikanya.
Saya sendiri, adalah orang yang selalu gagal memberi label apa, dan seperti apa bentuknya cinta, bahkan untuk mendefinisikan cinta saya tak pandai, maklumlah, mungkin ini didorongnya oleh pengetahuan dan pengalaman, atau apa ini semua akibat kemunduran dari cara berpikir yang kolot dan ndeso. Saya, menegaskan tak ada perayaan hanya untuk sehari dan tak ada tenggang waktu bagi saya dalam mengenali cinta. Lebih luas lagi, cinta adalah kehidupan, cinta pada siapapun dalam bentuk yang sama atau berbeda, dan apa juga seperti itu cinta mepekerjakan kekuatan nurani kita selama ini. Benarkah cinta itu bukan hanya kata-kata? Apakah kalau bukan hanya kata-kata, diam juga adalah cinta, dan menjadi orang yang sangat dingin juga cinta?
Saya ingin melek cinta, melek dari hanya kata itu, mungkin bagi orang ini jalan yang menelikung jalan yang ramai, lalu berhenti di depan gang buntu, hitam dan menyeramkan, sunyi dan sendiri, dan hanya ada bayangan kita, dalam gelap, dalam kelukaan yang purna, sebab cinta itu dalam sejatinya ruang hanya ada satu ruang yang diisi penuh lalu ditumpahkan dalam bentuk perpisahan, atau sama-sama menyadarinya, yang kemarin bukan cinta, dan yang kita katakan soal cinta dan keindahan waktu bersama hanya kata siluman dan syetan?
Benarkah dalam cinta tak ada tuntutan? Atau komitmen itu dapat kita bahasakan dalam bentuk pengorbanan yang senyap, pengorbanan yang luntang lantung dan berakhir luka sepanjang sejarah kehidupan kita? Saya ingin melihatnya lebih dekat, kalau cinta adalah komitmen, kebersamaan, dan kebersamaan itu sendiri tak saya bahasakan dalam setiap pertemuan ujud, tapi ruang-ruang yang dilipat atas kesamaan, atas berapa penyatuan, Berarti cinta juga punya cara menuntut ditunaikan sebagai bayi-bayi yang suka permainan, barang mainan, atau tempat untuk main-main.
Rupanya saya tak cukup kuat menelaah cinta dalam hidupku sendiri.  Saya akhirnya melihat sebagai bentuk universal. Misalnya cinta, adalah bentuk perhatian dan kepeduliaan pada semua yang ada di sekeliling kita. Kita bisa mencintai kucing kita. Kita bisa mencintai wajah kita, kita bisa mencintai keegoisan kita, atau kita bisa mencintai berapa umur dan berapa pengalaman kita dalam hidup. Tapi, apa dengan cara seperti itu, kita sudah benar-benar sepakat kalau bilang cinta itu membosankan, munafik dan sangat egois?
Sementara di sisi yang lain, cinta tak mau tumbuh sendiri, dia adalah bagian yang tak terpisahkan dari komunitasnya, pohon, air, gunung, batu dan hewan, tanah, dan semesta alam yang menjadi saksi atas kelahirannya. Haduh, bagaimana mungkin, bagaimana mungkin? Kita bisa berbincang dengan nyaman dengan seseorang yang ingin menembak kepala kita, dan membiarkan semuanya dirampas lalu sampahnya dibiarkan di jalanan, sedang sampahnya adalah kenangan yang dilahirkan dari kata cinta yang indah, cinta penyatuan, komitmen dan logika-logika yang melahirkannya dalam bentuk kata-kata.

Seperti air yang mengalir di ceruk-ceruk tebing. Saya juga pernah ada dalam situasi tersebut, dari muara yang bening, lalu dilempar pada tebing-tebing curam, ini akibat cinta, dan cinta ini mungkin juga bukan cinta, tapi ini pernah dikatakan sebagai cinta, sebagai keindahan yang hidup dan kini makin hidup dalam bentuk dendam yang diam.


PERGANTIAN TAHUN



Ada yang datang membawa dirinya
Mengendarai kabut dan awan
Lalu diam di antara jantung

Sepanjang jalan, ada yang tinggal
Dalam bentuk yang lain
Ia menyebutnya, bunga dari kenangan

Bentang jarak, tempuhan sajakku
Akhirnya diam, di sini, antara cerita
Seseorang menyerahkan dirinya

Pada perjamuan makan tahun ini
Tak ada pesta, bagi seluruh kehidupan
Hanya kembang yang menyisakan api
Di kabut tipis, tubuhnya jadi bayangan

Ada yang datang menyerahkan lagi
Sebentuk catatan kekasih, bagi selat panjang
Dibuai lirih angin, ditidurkan deru buih

Dan sajak ini, hanya menuliskan dirinya
Bagi yang ia sebut sebagai, bunga dan kenangan.


Moncek,  13 Feb 2016

Jumat, 05 Februari 2016

FORUM BELAJAR SASTRA PERKAWINAN SALING SILANG ANTAR ETNIS



: FENDI KACHONK
Forum Belajar Sastra Pertemuan ke III di Pujuk Pongkeng


Bahwa suatu ini hanya menjadi kenangan itulah keniscayaan. Tapi, tetap saja saya ingin menghormati sebagai sebuah kekayaan dari proses saya secara pribadi mungkin juga kekayaan dari semua proses kami semua yang terlibat dan memilih untuk bersama. 

Kemarin, saya sempat kaget, hampir meloncat dari ranjangku. Jam menunjukkan angka 7.48 WIB. saya segera buru-buru mencuci muka lalu sarapan walau saya rasakan ada malas yang luar biasa karena di luar sana saya sempat melihat gerimis, Bagaimana saya akan berangkat ke pertemuan Forum Belajar Bersama (Forum ini adalah hasil pernikahan berbagai etnis komunitas atau semacam kawin saling silang tapi ide dan gagasannya dibuat dari Komunitas Kampoeng Jerami). Meski dengan kecemasan oleh berapa kali saya memahami tubuh yang rentan dan mending hujan sekalian.


Selesai sarapan, saya menekatkan diri, setelah berapa kali mengangkat telpon yang isinya keragu-raguan dari berapa kawan. Maklum kemarin itu, kami semua bersepakat membangun fondasi dari rumah kami bersama, meski sebenarnya proses ini sudah berjalan ke-tiga kalinya yang diawali dari pertemuan sekitar 5 orang di Taman Baca yang kelola, lalu pertemuan kedua di kediaman Suaidi dan di tempat inilah saya juga mengalami semacam kegembiraan yang tak terduga. Karena yang datang banyak dalam artian saya tak mengira akan seperti itu. 


Sekitar 30 orang lebih berkumpul dan bersepakat ingin belajar menulis sastra, entah itu dalam bentuk prosa, cerpen atau puisi dll. 

Pertemuan Kedua FBS 


"Kami ini belum bisa menulis kak! Kami ini masih ingin memulainya kak! Sambutan semangat mereka membuat saya juga memilik semangat, atau saya akan merasa tertodong dengan pertanyaan begini. Bagaimana cara menulis puisi kak? atau seperti ini, menulis cerpen itu bagaimana kak? Saya dengan tegas bilang begini. 

Saya juga tak tahu menulis cerpen, menulis puisi dan yang saya bisa sekarang adalah menawarkan konsep belajar bersama dengan model per satu semester dengan membuat workshop yang mandiri dan berguna untuk kita semua, dan dalam satu semester kita akan mengevaluasi se berapa jauh out put dari input selama kita belajar. Tentu, cara menilai dan mengevaluasinya yaitu ketika kawan-kawan semua sudah mengaplikasikannya dalam bentuk tulisan. Itu sanggahanku. Karena jujur, saya masih dalam proses yang sama. Sama dengan kalian, sama ingin belajar sastra bersama-sama. Maka inilah guna Forum Belajar Sastra."

Kemarin, sekitar jam 8 an, agak molor dari agenda yang ditentukan, dengan berdendang kecil, saya mengendarai motor, dan berapa meter dari rumah ada barisan pejalan kaki. Saya melihat 4 orang remaja perempuan sedang menunggu angkutan umum. Saya mendengar sedikit suara mereka. Itu Kak Fendi udah berangkat! Sempat saya berhenti dan melihat mereka. Lalu, saya ingin membonceng sebagian dari mereka cuma tak mungkin bila motorku dinaiki 5 orang tak bakal muat. Ah, dalam hati saya berkata, maafkan saya, nanti saat saya punya truck saya ajak kalian semua.

Sampailah saya di puncak Pujuk Pongkeng, keindahan alam, dingin dan sambutan ruang yang aneh, sambutan yang saya rasakan dari alam yang pernah hanya dua kali saya kunjungi, berada di Kecamatan Bluto dan dari ketinggian semua alam yang begitu indah bisa dipandang. Ini sangat menyehatkan mata, kata saya pada dua orang yang sudah menunggu kami untuk belajar. 

5 orang berkumpul. Saya membantu proses belajar dan berdiskusi dan merumuskan beberapa hal, struktur, menejemen, kas dan alur komunikasi serta keterlibatan aktif dalam forum ini, intinya kami sepakat, bahwa ada yang bertanggung untuk mengerjakan berapa hal dan bertanggung jawab pada kenyamanan forum, hp silent, kas yang berdasarkan kesadaran dll.

Hampir Sholat Jumat, di sela keterbatasan waktu itu, kami sempat tertawa bersama, menjaga kebersihan Pujuk dan memaripurnai kegiatan dengan foto-foto bersama. Semua orang adalah guru, dan semua orang yang hadir turut berdoa. Semoga ini mengembirakan dalam semua dinamikanya.

" Mengendarai gerimis dan doa, melihat keindahan alam lalu belajar bersama, semoga semua bahagia memilih jalan bersama dan sastra"