Jumat, 13 Mei 2016

TASYAKURAN SEMESTERAN FORUM BELAJAR SASTRA (FBS) SAMPAI PADA PENTAS TEATRERIKAL


(Catatan Fendi Kachonk)
Proses evaluasi FBS

Terima kasih untuk seluruh kawan yang terlibat. Sekitaran 60an orang datang membawa bekal masing-masing, alat sholat dan terutama untuk persiapan pesta kenaikan kelas di kelas kami. Forum Belajar Sastra (FBS) telah melalui dinamikanya di perjalanan semester pertama. Demi mengucap sukur, berdoa dan menyatukan semangat kembali, mengelompokan ide yang juga menggerakan kami semua untuk belajar bersama maka kemarin, dimulai dari jam 12. 30 WIB proses evaluasi berjalan dengan hangat, aku melihat semangat mereka masih menyala dari tiap pasang mata, ada tawa dan senyum yang juga seperti isyarat dari rasa memiliki ke ruang yang kami cipta sendiri, dan kami perkuat sendiri.
Dari proses evaluasi lahir beberapa ide di semester kedua, serupa ulas sajak dari puisi-puisi kawan-kawan sendiri, dan pengulasnya juga dari dalam sendiri alias dari kawan-kawan Forum Belajar Sastra (FBS) sebagai satu acuan menguatkan proses belajar yang saling memberi dan menerima, melempar dan mengumpan, tentu bukan bola, tapi gagasan, ide dan pikiran. Selang berapa puluh ke menit, tepuk dan lagu dari lagu belajar bersama dinyanyikan dengan riang di pinggir pantai kandangan dan setelah itu dimulailah kegiatan berdoa bersama, bersama saling mendoakan agar kami semua tetap saling semangat, tak jenuh, tetap bertahan meski kami tahu jalanan selalu ada tikungan, tanjakan juga begitu dengan hidup selalu naik turunnya. Tapi, proses adalah proses dan kami memulyakan itu.
Saya jadi teringat, awal mula, dari titik diskusi pertama yang digagas Kampoeng Jerami mengenai konsep yang lahir, dan berkembang dari internal lembaga dan untuk kami sebagai bentuk dari harapan dan tujuan kami. Maka proses yang paling nyaman adalah “belajar bersama” dan kami melihat itu mulai nyala dari mata-mata kawan-kawan semuanya. Terbukti setelah acara bakar ikan dan makan-makan, kami ke pinggir pantai bersama, di sana ada puluhan gorong-gorong berbanjar membuat sesak tubuh pantai, di sana, kami mengisi gorong-gorong itu lalu tiba-tiba tempat itu jadi pentas langsung pembacaan puisi, teatrerikal lepas, dan lagu Indonesia Raya mengaum di sana. Di sana, kami bersama menyanyikan luka, menggambar penderitaan di pasir-pasir, menginginkan merdeka, dari tambak yang akan merebut pantai, dari reklamasi, dari penambangan pasirnya. Entahlah, sekelompok kawan-kawan saling jerit dibalas jeritan, sekelompok yang lain meracau, mengecam, sekelompok yang tertawa mungkin dari gambaran bahwa sudah banyak yang tak waras mengelola aset alam.
Di Panggung Dunia

Awalnya, ya awalnya, memang dari ide kecil, tapi tubuh-tubuh kami menjawabnya sebagai respon kepedulian, tiba-tiba dari perahu nelayan yang sedang dikayuh oleh sekelompok yang lain di tengah hantaman gelombang, badai yang seolah negeri ini sendiri, atau sebagai tubuh kami sendiri. Dari bibir pantai itu, ya dari bibir yang lain kami mendengar respon jiwa yang lain, suaranya minor, seperti suara perempuan. Awalnya kami tak percaya itu suara perempuan, tiba-tiba seluruh pandangan fokus pada suara tangisan itu, lalu ada kata-kata yang muncul lepas dari bibir yang awalnya tak kami percayai sebuah respon dari kelompok perempuan. Ketak percayaan kami musnah sudah, dan kami baru sadar, bahwa kata siapa perempuan madura takut melawan dan takut bersuara lantang, kata siapa di tubu kesenian kami tak ada suara dan tak ada perwakilan perempuan. Ya, ini satu prestasi, meskipun kami selalu gagap mengatakan sebuah prestasi bagi kami yang masih bayi dalam proses ini.
Kelompok perempuan itu terus bersuara, terus melepas dirinya, menampar ruang-ruang, membuat bibir pantai juga bergetar. Sedang posisi kelompok perempuan duduk seolah mereka memang selalu akan begitu, tapi kelompok itu mengambil pasir, meremasnya, dan tangannya mengepal nyari meninju udara di ruang hampa. Aku sendiri dalam kekacauan dibawa bimbang oleh suasana, lalu kebimbangan itu membawa ingatanku pada beberapa tahun yang lalu. Ya, aku sendiri pernah melihat perempuan-perempuan berteriak melawan, berdemo agar pengeborang Migas Tanjung digagalkan. Mereka perempuan yang selama ini dibilang tak hadir dalam konteks kebudayaan dan sekarang atau hanya mata buta yang tak melihat itu. Sekarang bathinku, mereka bermunculan sebagai srikandi kesenian yang mengakar dibumi dan tak tercerabut dari akar masalah yang sesungguhnya.
Aku sangat kaget, dari mulut perempuan itu keluar kata-kata ini “ jangan jadikan agama sebagai alat untuk memanipulasi keadaan kami, jangan gunakan agama sebagai alat merampas tanah kami, tanah kami adalah awal dan akhir bagi kami, jangan jadikan agama, jangan jadikan agama.” Suara itu keras, lalu berganti sedu sedan.
Sedang dari kelompok lain, tepatnya dari laut, sekelompok kawan yang lain pulang ke pantai, entah ini gambaran hidup, nelayan atau hidup nyata kami sendiri. Mereka membacakan puisi sambil menggerakan tubuh bersamaan dengan ombak, seperti sekelompok yang membawa letihnya dari seberang atau dari negeri entah ke negeri entah yang lain. Suara-suara yang susul menyusul, tiba-tiba terdengar bunyi seruling menyanyat telinga, tiba-tiba ada lagu yang terdengar: mereka dirampasnya haknya, tergusur dan lapar, lalu puisi-puisi muncul sebagai gelombang, dari negeri yang sama ke negeri yang beda hanya tetap saja di sini selalu saja ada luka. Di laut kami kesepian, pulang ke pantai kekasihku hilang, pantaiku tak perawan lalu negeri ke negeri kenyaatan yang mana lagi kami akan pulang? Suara itu, ah iya, suara itu lepas dari dalam jiwanya. Entah, apa masih ada yang mangatakan kalau ini racauan semata. Apa jiwa mereka tak yakin kalau jiwa tempat bermukimnya segala kepekaan di dunia.
Pentas Teaterikal



Berlalunya pementasan dengan panggung laut itupun selesai, sekarang dan ke depan, mungkin hanya itu yang akan kami kenang nanti. Saat kami siap jadi lilin dan lentera lalu menabur pijar-pijar ke tempat yang lain. Tapi proses ini memang selalu jadi bagian yang menggembirakan. Sampai malam pun datang, yang menetap dan bermalam sekitar 20 orang. Memang, acara bermalam itu bagi kawan yang punya kehendak dan bebas dari tugas lainnya. Malam pun kami isi dengan belajar menulis puisi langsung, aku pribadi sangat bahagia dari awal sampai akhirnya kami pulang pagi. Meski semalam, sekitar jam 12 Malam, hujan tiba-tiba berbondong menuliskan puisi pada tubuh kami. Tak alang kami jadi laut sendiri, dingin, gigil sampai ke tulang-tulang, tapi entah tahu-tahu kami tertawa terbahak-bahak dan masih merasa gembira. Sampai pagi, setelah matahari terbit, setelah berjalan di pinggir pantai. Kami pun ber sayonara lalu memilih pulang dan jalan ke rumah masing-masing, mungkin nanti juga akan jadi pribadi yang masing-masing.