By : Fendi Kachonk
Ia bergegas
menuju tempat biasanya. Tempat di mana ia bisa menerima telpon atau mau
menelpon temannya. Sesampai di tengah ladang jagung, di samping kanan dan kiri
pohon siwalan. Angin berkesiur begitu landai menerpa wajahnya. Wajah yang
selama hampir setengah bulan kurang tidur. Makan tak teratur dan demam yang
sesat menimpanya. Ia lalu bertanya, pada dirinya, pada segenap keheningan dan
kenangan yang selalu nakal.
“Aku
mencintaimu tanpa alasan, andaipun kau penus yang tanpa ranting dan kelamin,
aku selalu akan sayang padamu karena visiku amat kuat akan hal itu.” Suara itu
ia dengar kembali, kembali terngiang, kembali dapat dirasakan hadirnya. Hari
ini ia menunggu telpon darinya. Seorang teman yang pernah datang membawa
keyakinan dan semangat baru. Seorang yang selalu membuat dia kuat dalam
menjalani hari-harinya. Di sebuah kampung, di desa kecil ia menjalani bagian
takdirnya.
Dalam ia termenung,
tak dirasakan olehnya Hpnya bergetar tanpa suara. Ia tersenyum, ada rasa
bahagia melihat siapa yang menelpon. Lalu, ia menulis pesan. “ Maaf, tadi saya
lagi melamun, telpon darimu tak keangkat.” Dan sambungan telpon genggam itu
kembali bergetar. Ia telah berjanji untuk mengawali obrolan dengan santai
dengan gembira agar situasi itu bisa kembali menjadi riang dan bahagia. “Hey,
siapa aja yang datang ke kantormu?” tanyanya. Seperti biasa ia berusaha memberi
kesan hangat dan memang ingin menyapa dengan hangat. “Oh, ndak. Cuma teman-teman
kantor, kebetulan memang ada rapat internal kantor.” Suara ditekan di seberang
serasa berat pelan meluncur.
“Kau kalau
ingin pergi, pergi saja.” Katanya, lepas tanpa kendali meruntuhkan semua
keinginannya di sisi yang lain. Ia menahan diri lalu mencoba membuka obrolan
pada sisi yang lain. “Sebentar, bisa tidak kita ngomong dengan tenang, ngomong
dan mampu mendudukkan masalahnya pada tempatnya.” Katanya kepada seorang
perempuan di telpon genggamnya.
“Tidak bisa.” Lalu
sebuah obrolan dengan desah ngos-ngosan tak dapat dibendung dan naluri membuat
nalurinya kembali bangkit, Terasa sekali perubahan mimiknya. Wajahnya yang
awalnya hanya tersenyum dan menunggu giliran ngomong tak ada. Maka ia lalu
memotong dengan cepat. “Kenapa kalau pernyataanmu saja yang kamu anggap benar,
bukankah kemarin juga kau mengatakan itu padaku. Dan, ketika aku yang
mengatakan padamu. Kau menuntutnya. Padahal itu reaksi dari cara komunikasimu
yang patah-patah?” sergahnya dengan cepat.
Ia menahan
laju napasnya. Karena bagaimanapun ia masih menyanyanginya. Masih melihat
banyak hal yang indah dan memang ia telah berjanji menerima apapun keadaaannya.
Namun, sayang baginya. Dan bagi perempuannya semuanya itu dianggap pepesan
kosong. Ribuan jarum jam. Hitungan hari dan bulan serta kenangan-kenangan dan
pertemuan-pertemuan menjadi tak ada nilai baginya.
Hampir satu
tahun, ia mengenang kembali sambil bergumam. “Dulu, ia selalu mengatakan tak
penting pisik, tak penting rupa, dan tak penting kau bagaimana pun. Karena aku
akan tetap sayang padamu, karena sayang ini tanpa alasan.”
Tapi, sekarang
berbalik arah, semua ada alasannya. Dan, alasannya adalah gara-gara FB, Fb yang
selalu jadi momok masalah. Dan Ia pun mengingatnya. “Fb tidak penting, pernah
ia berjanji juga, aku tak akan pakai fb.”
Tapi, pun begitupun,
semua perkataannya, semuanya tak lebih dari igauan di siang bolong sama ketika
hari itu, siang itu ketika ia memutus telpon tanpa salam, dan sama ketika ia
dulu yang yakin akan perkataannya bahwa rasanya tanpa alasan, “Andai kau
ranting, atau penus yang tak berkelamin kau tetap aku sayang sampai kapan pun.”
Kini ia sadar,
kalau dirinya bukan ranting, bukan penus tanpa kelamin. Tapi, dirinya bukan
lagi simbol-simbol yang pantas dibanggakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar