Tentunya,
tulisan ini tak akan jadi sebuah tulisan yang menurut penulis-penulis itu
sebagai tulisan yang bagus, dan atau jelek. Aku ingin menulis saja, tanpa aku
harus berpikir apa-apa. Tapi, pertama-tama aku mencoba menulis soal Ramadan, ah
aku tepi keninginan itu, aku terlalu buruk untuk menjadi mendadak alim. Tetapi
aku juga bahagia, melihat Imanoel Adeodatus Fin tak menyerah di hari kedua ini,
meski dia sempat aku lihat pucat, saat aku tanya dia apa akan berhenti, dia
dengan kuat bilang, tidak akan pa!, Kami pun melewati sore dengan pergi ke
rumah Mamak, perempuan yang melahirkan saya, dan otomatis beliau jadi neneknya
Iman dan Surga. Kami membelikan Susu agar darahnya tetap stabil. Cukup segitu
saja yang saya ingin catat. Tapi aku selalu melihat mata mamakku, melihat
wajahnya, dan membatinkan kata-kata ini, doakan aku mampu menjalani ini ma’
segera akan aku urus “surat dari timur” itu dan aku sudah sangat letih. Duniaku
kecil di sini, di kampung ini dan segala dinamikanya. Biar lah aku tenggelam
sebagai matahari di ufuk barat dan orang-orang tetap berharap selalu pagi,
meski yang terbenam tak akan pernah ada di dalam ingatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar