Sabtu, 04 Juni 2016

UNTUK SARESTIDEVI


Mungkin tak akan lagi kau dengarkan, tawa kami
seperti kicau burung setiap pagi membangun mimpi
dan wajah ibu akan meletakan minum dan sapa
seperti manisan tak pernah lepas dari bibirnya

ada angin liris menyandera kedinginanku, anakku
kau paham bahwa awalnya seperti kidung; nyanyian itu
dari kapel, dari masjid dan bihara, kau dan aku kini luka
aku tak akan lagi; dan tak pernah lagi menoleh, padamu

di sana terlalu perih setiap kisah rumputan yang terinjak
terampas dari sejuk embun, tubuh bapakmu tak sepadan
bagi setiap siang yang membengkak di tulang punggung
ada yang tak terpisah, meski mungkin pernah sembuh

tak usah lagi anakku, kau dan aku memang terbuang
jauh menuju kedinginan yang lain, tempat pertemuanku
dan kau tak akan kesepian lagi, aku datang dari celah ini
dari setiap yang menetes dari pori-poriku, bukan embun
mataku, air mata darah yang tak kering meski kemarau

Ibu telah tak ada lagi menyimpan apapun dari kita
semangkok teh juga akan tumpah ditawa yang meriah
seperti pesta lampion atau pesta natalan dan lebaran
bagi tubuh, sekujur kenangan dan doaku jadi hujan

langit itu tak hanya bintang-bintang yang ada sayang
meski kerlipannya membuatmu pernah dilahirkan
tapi langit bukan bumi, di sini tak ada campuran itu
semua akan pulang ke tempatnya sebagai titik awal
sebagaimana kekosongan dan di sini tak ada pesta.

"Bangun Zuhal, kubuka jendela, menghadap ke timur
kudoakan tiap yang menetes adalah embun di bunga itu"

Moncek, 050616


Tidak ada komentar: