Untuk Yuli Nugrahani
Bulan September seperti buah semangka yang kita
lepaskan dari tubuh matahari dan bintang. Berlalu lalang kejadian-kejadian,
antara Tanjungkarang dan jembatan Suramadu. Dua selat yang berbeda jauh. Kau
yang meneriakkan, ayo rengkuh matahari itu! Tak bisa kita diam dalam
malam-malam sunyi sendiri. Mesti ada yang memulai, seperti alam dan semesta
ini. Kun, ada yang bergerak lalu mencipta benda-benda dan berpasangan. Mata-mata
kecil kehidupan kita bagi jadi kekuatan, seperti mata api yang dibiarkan
menyala, di matamu, di mataku.
Sekali waktu, kita akan bahasakan daun siwalan jadi
cerita pendek yang penuh misteri, ke tepi ladang tembakau, kau bertanya, Jadi
apa mereka setelah tua? Tapi kenyataan selalu menjawabnya telat, sepertinya
memang pertanyaan itu hanya simbol kecil ketika matahari merias rambutmu. Lalu
apa yang bisa diterjemahkan sunyi pada hening di dada kita berdua? Secarik senyum
aku lempar, dan kau tak begitu pedulikan itu. Aku masih amat muda untuk
menjawab sesuatu. Kataku:
Angka-angka jam begitu lesat, seperti mimpi bayi
yang belum diingat ketika pagi tiba-tiba saja digaduhkan dengan langkah
perempuan yang meladang, lelaki ke ladang, rumah-rumah sepi dan pohon siwalan
seperti lambang misterinya. Fayakun, kejadian lebih bisa menerjemahkan detak
jantung, denyut nadi dan selembar pertanyaan yang belum atau sudah pernah ada
jawabannya.
Matamu, mataku, melihat kuntum tembakau yang serasa
senyap dan memilih bisu sebagai bahasa. Kita
bergegas menuju Asta Tinggi, meneriakkan merpati di Taman Bunga, dan kembali
menuangkan teh dalam segelas canda tawa lalu hening kembali menempati dada
kita. Entah, matahari yang seperti apa yang dapat kita gambarkan, bila esok
tiba-tiba ada yang berhenti dan tak bisa ditarik kembali.
Seperti mata petani, letih di antara tangisan hujan
dan keringat matahari yang menetes di sekujur tubuh harga, di atas tanah yang
tak kenal bibit aslinya atau pada tanaman yang diputar oleh musim begitu
lamban, sekali itu juga, hening memilih tempat di dada kita, lalu kuletakan
kerudungmu, di sela-sela kau mencari jawaban yang kasihan pada kuntum tembakau
yang akan terbiar di kampung jerami, lalu puisi dan hening kembali memilih dada
kita, kun, fayakun.
Moncek, 100915
Tidak ada komentar:
Posting Komentar