Kamis, 10 September 2015

BERKERUDUNG TEMBAKAU


Untuk Yuli Nugrahani

Bulan September seperti buah semangka yang kita lepaskan dari tubuh matahari dan bintang. Berlalu lalang kejadian-kejadian, antara Tanjungkarang dan jembatan Suramadu. Dua selat yang berbeda jauh. Kau yang meneriakkan, ayo rengkuh matahari itu! Tak bisa kita diam dalam malam-malam sunyi sendiri. Mesti ada yang memulai, seperti alam dan semesta ini. Kun, ada yang bergerak lalu mencipta benda-benda dan berpasangan. Mata-mata kecil kehidupan kita bagi jadi kekuatan, seperti mata api yang dibiarkan menyala, di matamu, di mataku.

Sekali waktu, kita akan bahasakan daun siwalan jadi cerita pendek yang penuh misteri, ke tepi ladang tembakau, kau bertanya, Jadi apa mereka setelah tua? Tapi kenyataan selalu menjawabnya telat, sepertinya memang pertanyaan itu hanya simbol kecil ketika matahari merias rambutmu. Lalu apa yang bisa diterjemahkan sunyi pada hening di dada kita berdua? Secarik senyum aku lempar, dan kau tak begitu pedulikan itu. Aku masih amat muda untuk menjawab sesuatu. Kataku:

Angka-angka jam begitu lesat, seperti mimpi bayi yang belum diingat ketika pagi tiba-tiba saja digaduhkan dengan langkah perempuan yang meladang, lelaki ke ladang, rumah-rumah sepi dan pohon siwalan seperti lambang misterinya. Fayakun, kejadian lebih bisa menerjemahkan detak jantung, denyut nadi dan selembar pertanyaan yang belum atau sudah pernah ada jawabannya.

Matamu, mataku, melihat kuntum tembakau yang serasa senyap dan memilih bisu sebagai bahasa.  Kita bergegas menuju Asta Tinggi, meneriakkan merpati di Taman Bunga, dan kembali menuangkan teh dalam segelas canda tawa lalu hening kembali menempati dada kita. Entah, matahari yang seperti apa yang dapat kita gambarkan, bila esok tiba-tiba ada yang berhenti dan tak bisa ditarik kembali.

Seperti mata petani, letih di antara tangisan hujan dan keringat matahari yang menetes di sekujur tubuh harga, di atas tanah yang tak kenal bibit aslinya atau pada tanaman yang diputar oleh musim begitu lamban, sekali itu juga, hening memilih tempat di dada kita, lalu kuletakan kerudungmu, di sela-sela kau mencari jawaban yang kasihan pada kuntum tembakau yang akan terbiar di kampung jerami, lalu puisi dan hening kembali memilih dada kita, kun, fayakun.


Moncek, 100915

Tidak ada komentar: