Rabu, 23 September 2015

Celestin Dan Yuli Nugrhani



Kau masih ingat, saat kita membaca buku manuskrip lama? Tentang kota-kota tua yang pernah kita susuri dari kata ke kata menemukan kita sedang meringkuk dalam sunyi, lalu kau bertanya, untuk apa semuanya ini? Kota-kota yang kita singgahi dari halaman buku dan kita bicarakan soal mata kata, cerita puisi, sejarah dan prosa hujan. Sedang lanskap pelangi tak datang dari sudut pandangku, pandangmu jauh.

Aku tertelan di tengah senja yang mempertemukan aku dengan benda-benda yang bercerita soal kedalaman jiwa, soal hati dan soal sunyi yang dipenjara dalam diri.

Apa ada hujan pada selat di matamu, Yul? Sehingga kemarau ini tak dapat aku ceritakan pada surat-surat cemara yang belum tuntas aku tuliskan di deburan ombak, di dekat pantai, atau di dekat pohon siwalan yang pernah kita sebutkan sebagai tempat menyatu dengan alam, tempat kita melatih diri melawan sepi.

Kau tak akan mengingat itu, bukan? Aku beranjak pergi dari halaman buku yang sebelumnya kau kirimkan bersama bintang fajar. Kita telah letih untuk memiliki teori-teori penyatuan sedang tubuh hanya kerangka kosong untuk menabur benih dari tangan petani yang kerontang oleh hilang kasih sayang.

Bagiku, tidak begitu kan, Fen? Hari-hari akan menyimpan denyutnya sampai pada titik temu dan titik akhir menjadi manusia. Segenap kata untukmu kawanku, yang kusimpan lebih rapi di beranda depan, tanpa seorang paham, kalau kau dan hujan adalah pelangi bagi anak-anak yang kedinginan menahan gigil di kerumunan hujan.

Moncek, 230915

Tidak ada komentar: