Senin, 22 Februari 2016

“Ketika Sekumpulan Puisi Bercerita"


(essay terhadap antologi "Tanah Silam" karya Fendi Kachonk)
Oleh : Nugraha, AT Malaysia



Beragam cara pandang, penilaian dan pengungkapan terhadap bangunan puisi telah banyak kita temukan saat ini. Secara umum, bangunan puisi dinilai secara hermeneutik atau dari sudut pandang pembaca dalam menangkap makna dan imajinasi yang mereka tangkap dari baris, bait dan seluruh tubuh bangunan puisi yang ditulis penyair. Secara khusus, bangunan puisi lebih jauh dikaji dan telaah dengan stilistika oleh sebagian kalangan akademisi dan penggiat sastra. Pandangan penilaian stilistika jauh mempertimbangkan struktur puisi yang meliputi diksi, majas, pemilihan kata, citraan, pola rima, tema, tipografi, dan bahkan ada istilah “mantra” dalam bangunan puisi. Namun dalam kajian ini saya lebih umum mengungkap dari sudut pandang penafsiran teks yang saya tangkap dan cerna dari penghayatan terhadap satu-persatu bangunan puisi dalam antologi “Tanah Silam” karya Fendi Kachonk. Saya mencoba menafsirkan dan menguraikan pandangan saya terhadap sekumpulan bangunan puisi yang cukup menyita waktu saya untuk menimbang dari sudut dan subjek mana saya harus berikan pendapat dan penilaian saya.
Puisi adalah jembatan penyampaian komunikasi pikiran dan perasaan dari penyair kepada pembaca. Bagi saya, puisi bukan saja bermain dalam kata-kata, namun juga harus mampu masuk dalam pikiran dan perasaan pembaca. Puisi ibarat wadah kegelisahan dan imajinasi penyair yang disampaikannya dengan susunan kata-kata yang tepat, sehingga bukan saja menampilkan keindahan rima, nada dan padanan frasa yang kuat. Namun juga mampu menghipnotis pembaca dalam dimensi yang berbeda dan tidak biasa. Beberapa karya puisi Fendi Kachonk seperti “Perempuan Kecil”, “Disebutlah Kenangan Itu”, “Sabda Musim” dan “”Nong Pegga” merupakan sebagian dari bangunan puisi yang saya nilai mampu menyita imajinasi saya. Susunan bait-bait bangunan puisi tersebut seolah memberi ruang untuk saya masuki dan ikuti arah perginya. Menurut saya, Fendi Kachonk telah berhasil meramu bangunan puisi yang terbebas dari stigma bahwa puisi adalah permainan kata-kata yang indah saja. Fendi telah jauh melampui batasan itu, bahkan telah mampu membawa pembaca awam sekalipun untuk masuk dalam ruang imajinasinya.
Bangunan fisik puisi tak lepas dari penggunaan diksi sebagai alat atau ornamen yang memperkuat gaya bahasa dan pengimajinasian puisi. Pada beberapa bagian bangunan puisi dalam antalogi “Tanah Silam” saya banyak temukan beragam bentuk diksi, baik diksi konotatif, diksi imajinatif dan diksi konkret. Saya tidak dapat menyebutkan contohnya satu-persatu, namun secara keseluruhan kumpulan puisi milik Fendi Kachonk telah memenuhi syarat dari sudut penggunaan dan penempatan diksi-diksi yang tepat pada baris, bait maupun frasa dalam bangunan puisi. Hal ini tidak sederhana, karena tidak semua penyair mampu menyusun dan menempatkan diksi-diksi yang khas serta sesuai kebutuhan dari tubuh bangunan puisi, bahkan seorang penyair matang pun sangat butuh kepekaan dan kejelian untuk mampu menempatkan diksi-diksi pilihan dalam bangunan-bangunan puisi yang tentunya dibanguan dengan beragam tema dan tujuan. Fendi Kachonk secara sistematik berhasil menghubungkan kata-kata yang tepat untuk digunakan sebagi media penyampaian makna serta gambaran imajinasi yang ingin ia sampaikan pada awam (pembaca).
Puisi sebagai dongeng penyair tentang dunianya, bahkan puisi dianggap simbol pandangan penyair terhadap dirinya sendiri dan lingkungan tempat ia berada. Puisi dapat bicara tentang keadaan dan waktu, bahkan bercerita banyak tentang realita kehidupan nyata. Beberapa puisi karya Fendi seperti “Sepasang Dadali”, “Kosong”, “Suatu Siang”, “Layang-Layang Kertas” dan “Senja” adalah sebagian dari beberapa bangunan puisi yang bicara secara kontekstual menggambarkan suasana dan sesuatu yang direnungi oleh Fendi Kachonk. Puisi-puisi tersebut ibarat rekaman jejak tentang apa yang ditangkap dan dibaca oleh Fendi Kachonk dalam realita yang ia simpan dalam ingatan lalu kemudian ia tumpahkan dalam bentuk sebuah karya, yang bukan hanya bercerita namun juga mampu ikut mengajak pembaca ikut merasakan suasana yang ia tangkap dari kenangan itu. Ada komunikasi yang segar dan efektif serta estetis (bertujuan) yang disampaikan oleh Fendi Kachonk dalam hampir seluruh bangunan puisi karyanya. Sebagian diantaranya bahkan dapat dimainkan dengan fungsi bunyi, grafologi dan visual apabila dibaca dengan penghayatan yang tepat.
Pada sudut pandang lebih dalam saya mengaitkan puisi-puisi karya Fendi Kachonk dalam wilayah sosiolingustik, pragmatik, budaya, hingga batin puisi. Dalam keberagaman bangunan puisi yang saya baca, ada sebagian bangunan puisi karya Fendi Kachonk yang lebih luas bertujuan menyampaikan pesan sosial secara figuratif yang ikut menyertakan keindahan ritme atau rima, pada bagian lain ada juga bangunan puisi yang mengungkapkan pengalaman indrawi dari penyair (penglihatan, pendengaran, dll), serta ada juga bangunan puisi yang disampaikan dengan cara khas memadukan keindahan kata-kata dan gambaran imajinatif. Beragam pandangan dengan berbagai sudut padang dapat saya ungkap dari setiap bangunan puisi karya Fendi Kachonk, namun hal yang paling kuat saya tangkap dari antologi kumpulan puisi milik Fendi Kachonk adalah gaya bahasa khas yang ia sampaikan lewat karya-karya puisinya, karena setiap penyair sudah seharusnya memiliki ciri khas yang sedikit berbeda dengan penyair lainnya. Seperti gaya bahasa cara memadukan kata-kata secara imajinatif, dan bagaimana ia memainkan unsur pembangunan puisi (diksi, majas, rima, dll) sebagai alat bantu dalam penyampain pikiran dan rasa pada awam (pembaca).
Sebagai penutup, saya simpulkan bahwa antologi kumpulan puisi “Tanah Silam” karya Fendi Kachonk memiliki ciri khas tersendiri dari beragam antalogi puisi yang saya baca sebelumnya. Ada pembeda yang Fendi Kachonk bangun untuk membedakan karyanya dengan penyair lainnya. Ia dengan perenungan panjang telah membangun puisi-puisi yang tidak berjarak dengan pembaca, sehingga puisi-puisi karyanya lebih luas dapat dicerna oleh pembaca awam. Hal ini penting karena sebuah puisi adalah media komunikasi penyampaian pikiran dan rasa lewat bahasa yang bukan saja indah, namun khas, imajinatif dan mudah dipahami pembaca. Ciri khas penggunaan diksi-diksi sederhana namun mampu diramu dalam susunan tepat adalah bagian yang sangat lekat dalam puisi-puisi karya Fendi Kachonk.

SENJA

             Senja selalu menghadang langkahnya. Bau tanah,
hujan yang singgah, aroma masakan dari dapur. Ibunya
memasak air mata pada kuali dan tumpah keringat
di ujung-ujung ruang meresap sampai ke semua sisi jiwanya.

            Senja masih menghadang bayangannya saat malam 
kembali datang dengan jubah hitam putih membawa kain
kafan kenangan. Tentang berapa janji, tentang berapa coretan
yang ditulis di dinding kamar, di bawah foto perempuan
yang digantung di paku karatan.

            Senja belum juga berdamai memberi kebahagiaan
pada tiap pijak kakinya. Ada nanah dari ujung jari-jari menyusuri
sungai-sungai sampai mata ikan menangkap bau masakan
dan ia tak sadar. Kalau ia telah jauh merenungi waktu.

            Tentang hari dan masa depan yang ia akan tuliskan nanti,
menjadi puisi paling sunyi.

            Moncek, 271114



SEPASANG DADALI

            Kita menjelma sepasang itu
menunggu kabar tentang kita
berdua dililit ketakutan
entah kapan ada jumpa?
sekali waktu aku berkunjung
pada pantai dan pada cemara udang

            Hanya musim bercanda denganku
dirimu, berkata lain soal berita
soal hari yang leleh di lutut
seperti lilin kau diam
membiarkan dirimu mengecil
jadi tiga potong haiku di pasir.

            Padahal aku masih menyimpan
ritualmu yang menghadap timur
menunggu bintang kartika muncul
mengecup daun flamboyan
lalu menuliskan prosa hujan.

            Kau menolak gelombang
tapi kau hianati semi tadi pagi
di sini, aku bertanya pada buih
melempar pandangan pada laut
dan menceburkan luka pada garam.

            Moncek, 190615

: essay ulasan ini juga telah dipublikasikan di beberapa group puisi dan blog penulis.

Tidak ada komentar: