Minggu, 21 Februari 2016

TERSUDUT KE SUDUT YANG PALING SUDUT


Tak seperti malam ini. Dulu, pernah dan kerap bahkan nyaris datangnya begitu cepat dan amat sering saya rasakan. Tiba-tiba kosong seolah ada di ruang dan tempat yang sangat beda. Meski saya selalu sigap melihat dan memerhatikan sekeliling saya. Berusaha sedemikian cepat untuk tak ada di tempat yang seperti ini. Sungguh mejemukan, seperti ingin pergi ke tempat yang lain, tempat yang begitu indah. Di sana aku harapkan tak ada kekacauan, tak kegelisahan, tak ada keinginan, tak ada harapan juga tak ada perasaan yang tak jelas seperti ini.

Mungkin, ini yang namanya ruang kosong atau hampa, entah karena apa, atau bisa jadi karena tubuh sedang lelah, sedang pikiran terus dirajam berbagai hal. Sempat ingin mengatakan “brengsek” pada siapa? Pada apa? Pada berapa hal yang silih berganti dicuri kenangan dan dikembalikan kembali setelah saya dan organ yang lainnya tak memiliki kesiapan. Sepertinya saya harus mengentaskan semua ini, memangkas jalan pikiran, atau benar-benar pergi ketempat yang baru, ke hal-hal yang baru, membuat kenakalan-kenakalan imajinatif, membuat diskusi yang lebih segar dan tak lagi melulu bertumpu pada selembar surat kehidupan yang tak tuntas aku terjemahkan.

“Hai, Bung! Sedang apa kau sekarang? Sedang tak ada yang kau pikirkan lalu kau tersudut sendiri, memikirkan hal-hal yang tak terjangkau dan hanya pada satu ruangmu inilah kau berpikir sendiri. Sedang, sedangkan di luar sana, orang-orang menemui mimpinya, tak peduli kau tak bisa tidur, kau tak membuat matamu lena. Lihat, renungkan, semuanya memilih jalan sendiri, semuanya tak lagi peduli dengan hal-hal kecil. Sepertinya aku yang setia padamu,” kata malam yang keluar lepas dari sisi pikiranku.

“Jangan terlalu menghamba pada kata-kata, pada bujukan, dan seolah-olah keindahan, seolah-olah jamu, seolah-olah kesejukan. Tidak bung, Tidak! Tidak sama sekali, berapa kali kau terkecoh dengan semata wadah, berapa kali kau terluka hanya pada kata-kata, gerak-gerik, nama-nama, tanda-tanda dan alamat-alamat. Di sini, sudah hampir dini, tak ada suara selain aku, meski aku juga akan mengecoh segala kegembiraanmu jadi kesenyapan dan kuberikan kau hidangan yang bernama rindu pada bentuk, pada simbol-simbol, pada kenangan, sedang kau tak sadar, hanya kau yang tersiksa, dan hanya kau yang membutuhkannya semata.”

Malam terus mengoceh dan benar sekali ia semakin mengecohku, ia mematahkan kebodohan-kebodohan, ia mengingatkan daun-daun, mengingatkan lembar-lembar buku dan jemariku semakin lelah. Saya sudah benar-benar lelah, dan lelah ini akan membuat saya jadi orang asing kepada diri sendiri, lalu rupanya ia butuh melupakan sesuatu, sesuatu itu mungkin dalam bentuk simbol-simbol, bentuk-bentuk, kalimat-kalimat, perkata-kataan, Lalu: Diam
 Moncek, 220216

x

Tidak ada komentar: