Selasa, 16 Februari 2016

MENEROBOS JEJAK SAJAK-SAJAK “TANAH SILAM” FENDI KACHONK



Membaca puisi membaca jejak imaji dalam lorong labirin - ‘sebuah sistem jalur yang rumit, berliku-liku, serta memiliki banyak jalan buntu. Labirin bisa menjadi permainan di atas kertas, namun dapat juga dibuat dengan sekala besar dengan menggunakan tanaman yang cukup besar untuk dilewati dapat juga dengan tembok atau pun pintu-pintu’ (https://id.wikipedia.org/wiki/Labirin). Sedang Fendi Kachonk dalam hantaran antologi puisinya menengarai dengan ‘jalan panjang dari sebuah proses pencarian dan pintu masuk untuk belajar mengenali semua yang ada dalam diri. Lebih-lebih mengenali alam sekitar yang semuanya dibungkus oleh kesatuan harmonika dan dinamika semesta yang tak mungkin dipisah satu sama lainnya.
Sepanjang perjalanan itu, puisi seolah mengecil terkadang meluas, atau sempit bahkan menjadi tak beraturan jauh panggang dari teori-teori yang dibaca di kelas dan bangku sekolah’(halaman v). Maka tak heran tamasya kali ini menelusuri jejak sajak dapat menemu hambatan yang cukup merepotkan.

SELAMAT PAGI FENDI
Ada bahasa daun cemara 
di tepian pantai 
saat hujan singgah 
kering sudah berlalu.
Ada yang terekam di sini 
dalam pikiran 
yang tak lekang 
oleh sapa angin ribut.
Aku menyapa padi-padi 
tempat aku lahir jadi benih 
dipatuk gagak hitam.
Kemarin aku bertahan 
kini kuucapkan kembali. 
Selamat pagi, Fendi.
Moncek, 2014

Pembukaan antologi dengan salam yang cukup sederhana untuk dicerna walau alur logikanya agak mengkhawatirkan menjebak dalam labirin makna menyempit terjepit teori linguistik pragmatik - pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni cara satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi. Morris (Rustono 1999:1) sebagai pencetus pertama bidang kajian ini mengungkapkan bahwa pragmatik adalah cabang semiotik yang mempelajari relasi tanda dan penafsirannya. (http://belajarindonesia24.blogspot.co.id/…/pragmatik-dalam-…).
Lihat bagaimana Fendi Kachonk membuka imaji bahasa daun cemara dan menutup dengan bahasa lain ’Kemarin aku bertahan/kini kuucapkan kembali’. Loncat kijang katak unggas di pagi waktu dalam empat bait empat baris per bait mengingatkan bentuk pantun atau syair lama ternyata telah berinkarnasi menjadi modern dengan loncatan bahasa semesta secara pragmatis sehingga burung gagak sudah tidak lagi melahap bangkai tetapi bulir padi yang bernas petani yang tak terjaga. Sajak ini seakan terbagi dalam tiga bait sampiran dan satu bait penutup sebagai isi seperti sudah ditengarai Nirwan Dewanto pada sajak Chairil Anwar - Kesetiaan Chairil Anwar terhadap bentuk-bentuk puisi lama sesungguhnya lebih besar daripada yang kita duga.
“Senja di Pelabuhan Kecil” juga memperluas konsep sampiran dan isi dalam pantun: bait pertama dan kedua adalah sampiran, dan bait ketiga adalah isi. Kedua bait sampiran tersebut adalah lanskap murni, yang seakan-akan dikatakan oleh orang ketiga. Tetapi sekonyong-konyong orang pertama, si aku, muncul pada bait ketiga, bukan untuk berseru, tapi bergumam lembut, menggarisbawahi apa yang dinyatakan kalimat pertama dalam sajak itu. Pola sampiran-isi ini muncul kembali dalam kuatrinnya yang lain “Derai-derai Cemara”: bait pertama merupakan sampiran murni, bait ketiga isi, dan bait kedua setengah-sampiran, atau kait yang memperantarai kedua bait. Sementara itu, sajak ini juga tampak lebih setia kepada bentuk syair: setiap baris adalah kalimat lengkap, dan setiap kalimat berusaha bertahan dengan jumlah maksimum enam kata. Variasi lain dari perluasan kuatrin-syair adalah sajak “Yang Terampas dan Yang Putus”:  Tetapi di situ Chairil memisahkan baris keempat dari setiap bait menjadi bait-sebaris tersendiri. (http://jalantelawi.com/2012/04/situasi-chairil-anwar/).
Kalau langsung meloncat pada sajak penutup antologi dapat terlihat bagaimana labirin yang membingungkan telah sirnah dan cukup jelas penyair mengolah kearifan budaya lokal lewat saja yang bercerita atau balada yang juga dilewati Rendra dalam menulis jejak sajaknya sebelum nantnya Rendra menjadi penulis pamphlet dalam bentuk puisi membicarakan pembanguan yang diunggah pada zaman era yang monopoitik. Rendra mengaku membrontak karena kecewa pada dirinya yang lemah seperti Catatan Editor ‘Puisi-puisi Cinta” (2015), Edi Haryono - ‘Penyakit saya sebenarnya ialah kesal dan marah. Objeknya ialah: keadaan. Saya tahu bahwa orang yang suka memberengsek terhadap keadaan ialah orang yang lemah semangat. Ia tidak bisa menguasai diri dan keadaan kelilingnya. Nyatanya memang demikianlah keadaanku waktu itu. kekesalan saya itu terutama karena saya kecewa terhadap diri saya sendiri. (halaman xiii: W. S. Rendra. 2015. Puisi-puisi Cinta. Yogyakarta: Penerbit Betang)
Simak puisi Fendi Kachonk berikut.

KEPADA ANAKKU
: Iman Dan Surga

Sini sayang mendekatlah 
kuingin ceritakan inti hati 
hatiku yang kuambil dari abah 
embahmu dulu suka mengajakku 
bercerita banyak hal.
Katanya, aku masih ingat selalu 
cintai orang yang dekat denganmu 
dekat dalam kebaikan 
dekat seperti aku dan kalian 
anak-anakku, bahasa ibumu 
bumi dan langit.
Meski kelak kalian terlunta 
tetaplah dalam gubuk sendiri 
gubuk yang sederhana 
gubuk yang mencatat tangis dan air mata 
seperti aku, emakmu, embahmu 
mengajarkannya pada kita. 

Bila ada yang datang dengan ikhlas 
buka pintumu seluas mungkin 
teduhkan mereka dari panas dan hujan 
suguhkan tikar pandan biar bisa rebah 
jagalah mimpinya sampai bangun.

Bahkan sayang, kalau mereka dahaga 
ambillah ke sumur belakang rumah 
tapi bila kering berlarilah ke tebing 
atau ke ngarai, atau ke lembah 
bila juga tak kau dapatkan.

Menangislah seperti Ismail 
hadiahkan air matamu untuknya 
di situ aku akan bangga 
bukan karena kalian dapat sembilan 
di raport sekolahmu 
tapi hatimu telah penuh nilai-nilai.

Rumah Surga, 19 01 14

Kuncian sajak ini menunjukkan begitu tawaduknya penyair sehigga menyitir ayat yang didapatkan dalam kitab suci tentang nabi Ismail. Kekuyuban yang santun akan pencari asal muasal sejarah agama manusia yang diyakini kelurusannya.

Menangislah seperti Ismail 
hadiahkan air matamu untuknya

Muhammad Lefand yang juga berdarah Madura lanskap sajaknya selalu mencoba menolak jadi pemuisi atau penyajak. Ini tertuang dalam pembukaan kumpulan sajak “Jangan Panggil aku Penyair”:
Keteguhan penyair pada pemahaman akan alam yang keras di bumi Madura sangat membekas sebagai warna kearifan budaya yang akan melengkapi pelangi corak puisi Indonesia atau Nusantara. Dari bilangan timur Jawa memang tidak sendirian dia, masih ada pendahulunya yang di antaranya memegang kendali Majalah Sastra Horison: Jamal D. Rahman, termasuk Abul Hadi WM, maupun D. Zawawi Imron. Tak pelak puisi Lefand menjanjikan tongkat estafet kepenyairan berdarah Madura.
Simak sajak Fendi Kachonk berikut:

BUKAN LAGI PENYAIR

Telah aku putuskan malam ini
jadi penyair apa peramal?
berulangkali sajakku gagal
melukis senyumu yang biru
seperti pedagang yang lupa
daftar belanjaan.

Aku dihadang bayangannmu
tak mampu kurayu dengan prosa
bahkan ketika melati kubawa
kau membiarkan dingin di sini
hati penyair lebih lengkap katamu
tanpa keriuhan tapi penuh kecemasan.

Kuputuskan tak jadi penyair malam ini
kuambil tongkat bukan pensil
berjalan menyusuri jalan malam
menatap bintang serupa ahli nujum
kuramalkan diri sendiri di sini
aku tercekik oleh kata-kata sepi

Moncek, 2015

Bait terakhir memang sebagai petisi untuk menjerumuskan onggokkan kata-kata itu hanya ramalan dan di masa depan akan hadir yang bukan penyair tetapi penyair dengan P (huruf besar!). Hampir rata penjelajahan Fendi Kachonk purna dengan kuncian sajak: aku tercekik oleh kata-kata sepi. Tak pelak daftar panjang penyair Nusantara akan makin menggelora seganas gulungan ombak samudera Indonesia.

Bogor, Pebruari 2016
Cunong N. Suraja (penyuka literasi khususnya puisi, Dosen di Ibnu Chuldun, Bogor)

(Catatan: Tulisan ini saya ambil dari postingan Abah Cunonk di sebuah group. )

Tidak ada komentar: