Senin, 31 Oktober 2016

SEMACAM KENGAWURAN.

Pagi ini, aku ingin menulis sesuatu, sesuatu yang selama ini aku pikirkan. Misalnya pertemanan, relasi dan hubungan persaudaraan dengan dalih apapun orang lain akan menghormati sekecil apapun komunikasi yang sedang dijalani atau direkayasa untuk menghindar dari perasaan yang sesungguhnya terjadi. Tidak menutup kemungkinan sesuatu yang kita alami melahirkan sebuah kekecewaan, sebuah kenyataan yang tak datang dari awal tapi muncul di belakang hari.

Tentu saja, aku masih mengalir kemana-mana, alias ngawur dulu, mau kemana dan apa yang ingin sebenarnya aku tuliskan. Yah! aku sudah memiliki 3 buku, beberapa karya bersama juga, pernah dimuat di beberapa media lokal atau yang nasional. Sejatinya, aku mesti melihat ini sebagai evaluasiku sendiri. Aku tak memiliki teman yang sangat pahampun kepada diriku. Mereka adalah orang yang lain yang sama denganku dan selalu membutuhkan sebuah kepahaman dari orang lain. Tapi, teman tetaplah penting. Aku tak menafikan hal itu, begitupun di sastra Indonesia, pertemanan itu sangat kuat. Seperti tali yang paralel dan tak ada putusnya. Semua membentuk jaringannya dan berlomba-lomba untuk semacam adu panco. Iya, dulu aku memiliki berapa teman yang kupikir tulus, tapi sekarang, makin kesini, mereka hampir sama meski tak sebetul-betulnya sama dengan orang-orang lain.

Jelasnya, makin kesini, aku makin sadar diri untuk diam pada tempatku menelan beberapa pengalaman semacam kekecewaan kronis mungkin begitu, atau mungkin akan ada yang lebih kronis ketika aku harus tetap melangkah. Dulu, aku mempercayai sesuatu, sekarang hampir saja semuanya menjadi luruh dan rasanya aku akan mengambil semacam jeda sementara, semacam waktu aku melihat diriku lagi, sampai aku punya alasan untuk kembali dan kembali menatap dunia. Tapi, pilihan ini semacam pilihan yang belum final. Biasalah, aku jadi ingat kalau ada teman mengatakan ini padaku : sebenarnya yang marah dirimu atas beberapa pilihanku.

Cukup, sepertinya aku banyak pengalaman, mungkin bagi mereka, aku memang tak sebegitu penting, suatu jalan yang hanya diumpan ibarat umpan dikail yang dilempar untuk memancing. Aku tak sebegitu paham, tak sebegitu mengerti dengan setia, cinta, apalagi hal-hal yang dianggap kesadaran. Ternyata dari ujung ini, aku mesti melihat kemampuanku yang kampungan, yang selalu berpikir pada satu kesetiaan, pada satu tujuan. Tapi, kayaknya ini tak bakalan ada. Bila ada posisi menguntungkan, atau posisi lebih utama, bersiaplah untuk kehilangan teman-temanmu atau kehilangan visi yang dibuat secara bersama.

Di kolong ini, aku meminta maaf, kepada semesta, meski berapa orang tak akan tahu bahwa aku minta maaf, tapi biarlah semesta yang menyampaikan maafku dalam bentuk lain, kedamaian, doa kepada seluruh kawan-kawanku, seluruh orang yang pernah kecewa, saudara dan guru semuanya. Tidak ada gading yang tak retak, seolah ini jadi penyemangat baru, bahwa selalu dan pasti semua orang memiliki masa lalu dan catatan kesalahan. Tapi, pepatah itu, seolah memastikan ada maaf, ada sesuatu hal yang bisa diperbaiki. Nah, sementara ini, aku belum menemukannya, seolah benda yang tak bergerak, batu yang besar yang juga siap diarahkan kepada kepalaku.

Ada, beberapa tugasku yang belum selesai, buku akar rumput, buku amin, buku yuanda dan lagi buku Arsita. Tapi, aku hanya memokuskan untuk dua buku, buku amin dan buku "akar rumput" sedangkan untuk buku Arsita, awalnya telah kami kerjakan dengan baik. Namun, karena belum ada kepastian soal ongkos cetak dengannya dulu maka aku hentikan. Sedang buku Yuanda, aku akan mencari uang dulu untuk "mengembalikan" simpanan untuk buku selanjutnya. Hehe, sedang uangnya telah habis di tanganku. Iya, ini harus aku katakan dengan jujur, karena aku tak akan lari dari tanggung jawab ini. Apa yang akan aku kerjakan ke depan?

Adalah, menjadi seseorang yang biasa dan melepas diri dari semua hiruk pikuknya. Yah, mungkin aku akan mencintai sastra, itu pasti! aku akan merawat beberapa yang telah aku lakukan, sekali-kali berkumpul dengan kawan-kawan. Nah, ini bayanganku. "ah, kau tak pernah berkomitmen pada apa yang kau katakan" jerit seorang kawan padaku. Memang, ini hanya semacam catatan biasa, benar juga aku tak pernah berkomitmen, kalau besok aku dipanggil "Presiden JOKOWI" untuk baca puisi di Istana akan hilang semuanya. Bukankah semuanya begitu? Apa ada yang benar-benar berkomitmen? Nothing.

Sementara waktu, aku akan membiarkan beberapa alat komunikasiku aktif, berharap dari sana kejenuhan dan keletihan jadi kurang terasa dan aku benar-benar tak jadi memilih pilihan yang di atas yang aku anggap sebagai pilihan tanpa pilihan. Jelas! aku masih ingin mengirimkan beberapa buku "surat dari timur" ada beberapa orang yang belum bayar dan beberapa orang ingin menuliskan esai pada sebagian puisi yang mereka sukai. Masih ada celah bertahan sementara waktu. Tapi, setelah ini bila udah benar-benar jumud, aku, kampung jerami dan semua kawan telah tak aku anggap ada.

Nah, ada buku Cerpenis Lampung Yuli Nugrahani yang mempercayakannya untukku jadi tempat pemesanan, Ah, iya, aku juga punya tanggung jawab. Sebenarnya secara tanggung jawab aku telah melakukannya meski mungkin tak begitu baik. Aku membawa buku itu kemana-mana, menawarkannya, dan mempromosikannya. Iyah, aku menggunakan tanggung jawab sebagai "penerbit" dan "adik" aku bangga pada buku itu, mungkin, aku benar-benar mengurusnya dari awal, dari proses nol sampai selesai bahkan sampai hari ini. Tapi, mungkin aku mengecewakan dari sisi menejemen. Tapi, aku punya dua 3 bulan untuk memenuhi tanggung jawabku.

Umirah Ramata, adik yang satu ini selalu paham diriku. Aku minta maaf sebesar-besarnya kawan-kawan.






Tidak ada komentar: