“Apa kau ingin membelah tubuhmu,
dan tubuh kita akan jadi puing-puing?” Saat kau tak sadar, bahwa dalam
kemarahanmu ada rindu yang terus subur, tapi kau khianati terus-terus, tanpa
henti-henti, kau menolak setiap cahaya, setiap sesuatu yang indah yang muncul
dari setiap pori-porimu, kau juga menolak kesadaranmu, membenci dirimu sendiri,
lalu melemparkan bara pada bayanganmu yang lain. Bayangan yang lain adalah
bayangan yang selalu kau anggap ingatan, kau anggap kenangan, tapi kini kau
menolak semuanya, semuanya kau anggap sebagai hasutan, dan pikiranmu dengan
sadar menolak kesadaran dari segenap kebutuhan tubuhmu.
“Aku ingin menghadiahkanmu bunga
kaktus ini!” Kata bayangan yang lain, sebelum senja benar-benar kau usir dari
dari ranjangmu, meloncati pagar terali, melempar semua yang muncul dalam
dirimu. Kau meyakini, kau tak butuh apa-apa. Kau tak mempercayai cinta, dan kau
menghardik semua kerinduan yang tiba-tiba muncul dari setiap bunyi lonceng di
dinding berbunyi, serupa jantungmu yang memanggil-manggil nama sesuatu. Nama itu,
kau pasti ingat, adalah bulan Oktober setiap taman kau anggap rindang, setiap
cahaya kau anggap indah, setiap pertemuan mata kau anggap keberuntungan. Itu
dulu, sebelum kau tak percaya pada jiwamu, pada kebutuhanmu, pada denyut-denyut
yang kau sebut adalah energi.
“Bila hujan, aku suka berdiri di
depan kaca jendela.” Katamu. Waktu itu, aku menyukai setiap sapamu, setiap
kelembutanmu, setiap doa-doa yang kau lantunkan seperti nyanyian ketika tiap
malam hanya memberiku kegelisahan. Tapi, itu semua kau tolak, kini hanya sebuah
bentakan, kemarahan yang kerap muncul karena penolaka-penolakan. Di dalam
tubuhmu, sebenarnya masih tersimpan ribuan benih yang siap lahir bersama
senyummu. Tapi, kau lupa menaburinya. Kau menjadikan bayangan lain sebagai
penghalan, dan kau tak percaya lagi pada cahayamu, pada sinar yang kau anggap
sebagai kekuatan. Kau, berlari kian jauh, kian menjadi asing. Kau sebut itu
sebagai pancaroba, sebagai sesuatu yang beralih fungsi dari senyum ke luka,
dari bahagia ke membenci. Dan. Kau pun tak mempercayai poros waktu berulang dan
terus akan sama, hari-hari kembali lahir, tapi kita lupa untuk melahirkan
kebahagiaan kembali.
“Aku marah padamu, karena aku tak
tahu lagi menyampaikan segala sesuatu.” Ya, semuanya telah berlalu. Semuanya telah
direstui dengan segenap ingin dan seperti yang kau pikirkan, melelahkan, tidak
nyaman, dan lagi-lagi seolah tiada kehendak untuk duduk diam, tenang, menikmati
secangkir kopi dan akhirnya, aku juga mengerti, di sini aku tak diberkati, di
sini aku dianggap mati dan di sini aku hanya berharap sendiri.
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar