Seorang yang pernah meletakkan bahasa pada tubuhnya, meyakini
pergumulan yang panjang sebagai sebuah arus yang juga deras adalah sendi-sendi
yang bertautan, tak dipisah dan memiliki sebuah keajaiban, ia meyakini, kalau
jalan bahasa adalah tubuh, tubuh yang selalu saja mengeluarkan sesuatu yang
mustahil, kadang tak mampu ia kaitkan ini sebagai logika, ia juga kadang
menolak sebuah gagasan yang terlalu sadar atas hadirnya dimensi ruang dan jarak
yang menciptakan sebuah jerit atau gema yang berulang-ulang. Lalu, orang-orang
di pasar itu menyebutnya sebuah kenangan.
Aku ceritakan padamu lagi, seorang yang terus mencintai tubuhnya
dengan kadang lupa merawatnya dengan sabun, minyak wangi tapi dengan terus
membumbui setiap pori dengan luka dengan terus mengenangnya sebagai sebuah
kekuatan, ia memang agak gila, agak memilih tubuh sebagai keyakinan berbahasa,
keyakinan itu ia tempuh sendiri dengan terus mempertanyakan fakta-fakta yang
kadang ia tak anggap sebuah kejadian yang di luar tubuhnya sebagai sebuah
kelaziman, ia yang selalu suka memiliki tubuhnya dengan perihnya, dengan
senyumnya dengan semua yang dianggap oleh orang-orang di pasar tadi sebagai
sebuah rumus yang mesti dipahami sebagai kesadaran yang sempurna, sedang
baginya kesempurnaan adalah yang terus berkembang sesuai dengan dimensi dengan
ruang yang tiba-tiba tak disadari sebagai kenyataan, kenyataan yang baginya
juga memberinya sebuah jalan menuju sepi, menuju tubuhnya sendiri, menjadi
bahasanya sendiri.
Seorang yang tak menolak kehadiran sebuah kekosongan, ketika
ilmu logika menganggap sebagai rumus terendah bagi kesadaran, tapi tidak
baginya, jalan itu, adalah kosong, tempat adalah sepi, dan bahasa itu adalah
hening yang keluar dari setiap medan tubuhnya sebagai alat kecil penyambut,
langit dan bumi, tubuhnya hanya pelantaran bagi sebuah kekuatan yang besar yang
tak bisa diukur oleh timbangan kesadaran.
Ia yang hari ini sedang menikmati hikmatnya kematian bagi
tubuhnya, bagi bahasanya, bagi semua luka yang tak lagi mampu memberinya
kekuatan, ia yang masih sibuk mencari dirinya sendiri, lepas dari panggung-panggung
lalu menjebak dirinya sendiri ke dalam hampa, ke dalam sunyi untuk mampu
bertemu hening kembali. Dan, baginya tubuhnya adalah kejadian-kejadian, adalah
luka-luka yang mampu meneriakkan semua yang pergi, semua yang tinggal tapi
berarti, semua yang dimaksudkan adalah jalan pengecut baginya, seseorang yang
ingin matanya terpejam, dan tak memberikan warna apapun pada tiap yang keluar
dari bias-bias. Aku jadi ingat puisi di bawah ini:
LAYANG-LAYANG
KERTAS
Lalu,
pagi membawaku ke sini seperti layang-layang kertas
merasakan
sisa hujan bersembunyi dari kejaran dingin. Dan
ternyata
tak ada yang berubah. Pintu keluar dan bercak kenangan
yang
juga belum semuanya dihisap waktu, masih ada.
Sejenak,
aku diam diguncang bimbang dan kecemasan
belum
lepas dari kantung mata. Tak ada jemputan serta
kalungan
bunga. Tapi, tiap kejadian masih nakal
menahan
langkahku.
Di
satu sudut pendengaran, lagu Ska mengalun riang,
mengajakku
untuk tersenyum. Dan, tiba-tiba kumiliki
energi
kecil untuk kembali, terbang dari kota ke kota.
"Puluhan
orang berbanjar menyiapkan foto kenangannya
untuk
dipajang di dinding sebagai sisa perjalanan. Aku juga.
Sebelum
nanti taliku putus, melayang lalu hilang."
Stasiun
Kota, 21 Maret 2015
"dimuat
di antologi Tanah Silam dan Majalah Horison"