Jumat, 10 Juni 2016
SEBUAH CATATAN
Tanggal, 04 Juni 2016 sampai hari ini 11 Juni 2016. Ini bagi saya adalah titik, titik dari semua awal, semacam itulah kiranya, aku menyiapkan diri untuk sebuah perjalanan yang lebih bergairah lagi, sebuah loncatan, atau sesuatu yang lebih. Insaf diriku berpangku pada satu kekosongan, isi yang berai, satu keyakinan, satu kepercayaan, dan satu perhormatan, ini sekarang adalah waktuku yang paling terbaik, aku tak akan bilang beruntung, atau bahagia, tapi aku mulai akan melakukan sesuatu hal yang lebih lagi, dengan siapapun, terbuka dan membuka diri dan dengan cara yang sama saya pahami, orang lain pahami, tak ada lagi kesempatan untuk mengeluh, duniaku bukan kecil-kecil, aku memiliki kesempatan yang lebih luas, waktu yang lebih longgar, dan berapa teman yang bisa aku ajak jalan, bukan ini lebih dari cukup, aku memiliki tubuhku, kekuatan terbesar yang aku punyai adalah senyum, adalah gairah itu sendiri. Ayo waktunya terbang, bukan jadi kupu-kupu yang selalu ingin kelihatan indah, tapi jadilah sebuah dunia dan taman, siapapun bebas datang, tidur, merokok dan makan tapi tentu akan timbal balik. Rasa nyaman itu ada karena adanya kesanggupan antar pihak. Fendi duniamu tak kecil, lakukan perputaran cepat. Hari ini, saat ini.
Rabu, 08 Juni 2016
LIRIK LAGU MY IMMORTAL
I'm so tired of being here
Aku sangat letih berada di sini
Suppressed by all my childish fears
Tertekan oleh ketakutanku yang kekanak-kanakan
And if you have to leave
Dan jika kau harus pergi
I wish that you would just leave
Kuharap engkau pergi saja
'Cause your presence still lingers here
Karena kehadiranmu masih berbekas di sini
And it won't leave me alone
Dan bayangmu takkan meninggalkanku
BRIDGE
These wounds won't seem to heal
Luka ini takkan pernah sembuh
This pain is just too real
Rasa sakit ini memang nyata
There's just too much that time cannot erase
Terlalu banyak hal yang tak bisa dihapuskan oleh waktu
CHORUS
When you cried I'd wipe away all of your tears
Saat kau menangis, kan kuseka semua air matamu
When you'd scream I'd fight away all of your fears
Saat kau ingin teriak, kan kuusir semua ketakutanmu
I held your hand through all of these years
Kugenggam tanganmu sepanjang tahun ini
But you still have all of me
Namun kau masih memiliki diriku
You used to captivate me
Dulu kau memikat hatiku
By your resonating light
Dengan cahayamu yang menggetarkan
Now I'm bound by the life you left behind
Kini aku terikat pada hidup yang kau tinggalkan
Your face it haunts
Wajahmu menghantui
My once pleasant dreams
Mimpi-mimpiku yang dulu menyenangkan
Your voice it chased away
Suaramu menghalau
All the sanity in me
Kewarasan dalam diriku
BRIDGE
CHORUS
I've tried so hard to tell myself that you're gone
Tlah berusaha keras kukatakan pada diriku sendiri bahwa kau tlah tiada
But though you're still with me
Namun meski kau masih bersamaku
I've been alone all along
Selama ini aku tlah sendiri
CHORUS
Aku sangat letih berada di sini
Suppressed by all my childish fears
Tertekan oleh ketakutanku yang kekanak-kanakan
And if you have to leave
Dan jika kau harus pergi
I wish that you would just leave
Kuharap engkau pergi saja
'Cause your presence still lingers here
Karena kehadiranmu masih berbekas di sini
And it won't leave me alone
Dan bayangmu takkan meninggalkanku
BRIDGE
These wounds won't seem to heal
Luka ini takkan pernah sembuh
This pain is just too real
Rasa sakit ini memang nyata
There's just too much that time cannot erase
Terlalu banyak hal yang tak bisa dihapuskan oleh waktu
CHORUS
When you cried I'd wipe away all of your tears
Saat kau menangis, kan kuseka semua air matamu
When you'd scream I'd fight away all of your fears
Saat kau ingin teriak, kan kuusir semua ketakutanmu
I held your hand through all of these years
Kugenggam tanganmu sepanjang tahun ini
But you still have all of me
Namun kau masih memiliki diriku
You used to captivate me
Dulu kau memikat hatiku
By your resonating light
Dengan cahayamu yang menggetarkan
Now I'm bound by the life you left behind
Kini aku terikat pada hidup yang kau tinggalkan
Your face it haunts
Wajahmu menghantui
My once pleasant dreams
Mimpi-mimpiku yang dulu menyenangkan
Your voice it chased away
Suaramu menghalau
All the sanity in me
Kewarasan dalam diriku
BRIDGE
CHORUS
I've tried so hard to tell myself that you're gone
Tlah berusaha keras kukatakan pada diriku sendiri bahwa kau tlah tiada
But though you're still with me
Namun meski kau masih bersamaku
I've been alone all along
Selama ini aku tlah sendiri
CHORUS
Selasa, 07 Juni 2016
HARI KEDUA.
Tentunya,
tulisan ini tak akan jadi sebuah tulisan yang menurut penulis-penulis itu
sebagai tulisan yang bagus, dan atau jelek. Aku ingin menulis saja, tanpa aku
harus berpikir apa-apa. Tapi, pertama-tama aku mencoba menulis soal Ramadan, ah
aku tepi keninginan itu, aku terlalu buruk untuk menjadi mendadak alim. Tetapi
aku juga bahagia, melihat Imanoel Adeodatus Fin tak menyerah di hari kedua ini,
meski dia sempat aku lihat pucat, saat aku tanya dia apa akan berhenti, dia
dengan kuat bilang, tidak akan pa!, Kami pun melewati sore dengan pergi ke
rumah Mamak, perempuan yang melahirkan saya, dan otomatis beliau jadi neneknya
Iman dan Surga. Kami membelikan Susu agar darahnya tetap stabil. Cukup segitu
saja yang saya ingin catat. Tapi aku selalu melihat mata mamakku, melihat
wajahnya, dan membatinkan kata-kata ini, doakan aku mampu menjalani ini ma’
segera akan aku urus “surat dari timur” itu dan aku sudah sangat letih. Duniaku
kecil di sini, di kampung ini dan segala dinamikanya. Biar lah aku tenggelam
sebagai matahari di ufuk barat dan orang-orang tetap berharap selalu pagi,
meski yang terbenam tak akan pernah ada di dalam ingatan.
Sabtu, 04 Juni 2016
PELUKAN YANG LEPAS
: untuk anakku
Subuh datang lagi anakku
kau masih melihat langit yang kini hitam
tak ada bintang-bintang karena awan
seperti kelamnya nasibku di bumi
Kini bukan lagi suara merdu
retakan ranting di musim hujan
dingin makin membelah ingatan
sedang setumpuk catatan tergelar
Di antara sepi ke sepi
aku mendengar lonceng itu kembali
berulang dan berpulang ke jalan lengang
kau menantiku di sana, anakku
di antara tangisanmu dan hujan itu
Bawal aku lari tanpa ada yang tahu
gerakan tubuhku, seperti kapas
menujumu, mencari pelukanmu
kini aku tak tahu, di mana langit itu
tempat bintang-bintangmu berkerlipan
tapi kini matakulah kunang-kunangmu,.
Moncek, 050616
: untuk anakku
Subuh datang lagi anakku
kau masih melihat langit yang kini hitam
tak ada bintang-bintang karena awan
seperti kelamnya nasibku di bumi
Kini bukan lagi suara merdu
retakan ranting di musim hujan
dingin makin membelah ingatan
sedang setumpuk catatan tergelar
Di antara sepi ke sepi
aku mendengar lonceng itu kembali
berulang dan berpulang ke jalan lengang
kau menantiku di sana, anakku
di antara tangisanmu dan hujan itu
Bawal aku lari tanpa ada yang tahu
gerakan tubuhku, seperti kapas
menujumu, mencari pelukanmu
kini aku tak tahu, di mana langit itu
tempat bintang-bintangmu berkerlipan
tapi kini matakulah kunang-kunangmu,.
Moncek, 050616
UNTUK SARESTIDEVI
Mungkin tak akan lagi kau dengarkan, tawa kami
seperti kicau burung setiap pagi membangun mimpi
dan wajah ibu akan meletakan minum dan sapa
seperti manisan tak pernah lepas dari bibirnya
ada angin liris menyandera kedinginanku, anakku
kau paham bahwa awalnya seperti kidung; nyanyian itu
dari kapel, dari masjid dan bihara, kau dan aku kini luka
aku tak akan lagi; dan tak pernah lagi menoleh, padamu
di sana terlalu perih setiap kisah rumputan yang terinjak
terampas dari sejuk embun, tubuh bapakmu tak sepadan
bagi setiap siang yang membengkak di tulang punggung
ada yang tak terpisah, meski mungkin pernah sembuh
tak usah lagi anakku, kau dan aku memang terbuang
jauh menuju kedinginan yang lain, tempat pertemuanku
dan kau tak akan kesepian lagi, aku datang dari celah ini
dari setiap yang menetes dari pori-poriku, bukan embun
mataku, air mata darah yang tak kering meski kemarau
Ibu telah tak ada lagi menyimpan apapun dari kita
semangkok teh juga akan tumpah ditawa yang meriah
seperti pesta lampion atau pesta natalan dan lebaran
bagi tubuh, sekujur kenangan dan doaku jadi hujan
langit itu tak hanya bintang-bintang yang ada sayang
meski kerlipannya membuatmu pernah dilahirkan
tapi langit bukan bumi, di sini tak ada campuran itu
semua akan pulang ke tempatnya sebagai titik awal
sebagaimana kekosongan dan di sini tak ada pesta.
"Bangun Zuhal, kubuka jendela, menghadap ke timur
kudoakan tiap yang menetes adalah embun di bunga itu"
Moncek, 050616
Jumat, 13 Mei 2016
TASYAKURAN SEMESTERAN FORUM BELAJAR SASTRA (FBS) SAMPAI PADA PENTAS TEATRERIKAL
(Catatan Fendi Kachonk)
Proses evaluasi FBS
Terima kasih untuk seluruh kawan yang terlibat. Sekitaran 60an
orang datang membawa bekal masing-masing, alat sholat dan terutama untuk
persiapan pesta kenaikan kelas di kelas kami. Forum Belajar Sastra (FBS) telah
melalui dinamikanya di perjalanan semester pertama. Demi mengucap sukur, berdoa
dan menyatukan semangat kembali, mengelompokan ide yang juga menggerakan kami
semua untuk belajar bersama maka kemarin, dimulai dari jam 12. 30 WIB proses
evaluasi berjalan dengan hangat, aku melihat semangat mereka masih menyala dari
tiap pasang mata, ada tawa dan senyum yang juga seperti isyarat dari rasa
memiliki ke ruang yang kami cipta sendiri, dan kami perkuat sendiri.
Dari proses evaluasi lahir beberapa ide di semester kedua, serupa
ulas sajak dari puisi-puisi kawan-kawan sendiri, dan pengulasnya juga dari
dalam sendiri alias dari kawan-kawan Forum Belajar Sastra (FBS) sebagai satu
acuan menguatkan proses belajar yang saling memberi dan menerima, melempar dan
mengumpan, tentu bukan bola, tapi gagasan, ide dan pikiran. Selang berapa puluh
ke menit, tepuk dan lagu dari lagu belajar bersama dinyanyikan dengan riang di
pinggir pantai kandangan dan setelah itu dimulailah kegiatan berdoa bersama,
bersama saling mendoakan agar kami semua tetap saling semangat, tak jenuh,
tetap bertahan meski kami tahu jalanan selalu ada tikungan, tanjakan juga
begitu dengan hidup selalu naik turunnya. Tapi, proses adalah proses dan kami
memulyakan itu.
Saya jadi teringat, awal mula, dari titik diskusi pertama yang
digagas Kampoeng Jerami mengenai konsep yang lahir, dan berkembang dari
internal lembaga dan untuk kami sebagai bentuk dari harapan dan tujuan kami.
Maka proses yang paling nyaman adalah “belajar bersama” dan kami melihat itu
mulai nyala dari mata-mata kawan-kawan semuanya. Terbukti setelah acara bakar
ikan dan makan-makan, kami ke pinggir pantai bersama, di sana ada puluhan
gorong-gorong berbanjar membuat sesak tubuh pantai, di sana, kami mengisi
gorong-gorong itu lalu tiba-tiba tempat itu jadi pentas langsung pembacaan
puisi, teatrerikal lepas, dan lagu Indonesia Raya mengaum di sana. Di sana,
kami bersama menyanyikan luka, menggambar penderitaan di pasir-pasir, menginginkan
merdeka, dari tambak yang akan merebut pantai, dari reklamasi, dari penambangan
pasirnya. Entahlah, sekelompok kawan-kawan saling jerit dibalas jeritan,
sekelompok yang lain meracau, mengecam, sekelompok yang tertawa mungkin dari
gambaran bahwa sudah banyak yang tak waras mengelola aset alam.
Di Panggung Dunia
Awalnya, ya awalnya, memang dari ide kecil, tapi tubuh-tubuh kami
menjawabnya sebagai respon kepedulian, tiba-tiba dari perahu nelayan yang
sedang dikayuh oleh sekelompok yang lain di tengah hantaman gelombang, badai
yang seolah negeri ini sendiri, atau sebagai tubuh kami sendiri. Dari bibir
pantai itu, ya dari bibir yang lain kami mendengar respon jiwa yang lain,
suaranya minor, seperti suara perempuan. Awalnya kami tak percaya itu suara
perempuan, tiba-tiba seluruh pandangan fokus pada suara tangisan itu, lalu ada
kata-kata yang muncul lepas dari bibir yang awalnya tak kami percayai sebuah
respon dari kelompok perempuan. Ketak percayaan kami musnah sudah, dan kami
baru sadar, bahwa kata siapa perempuan madura takut melawan dan takut bersuara
lantang, kata siapa di tubu kesenian kami tak ada suara dan tak ada perwakilan
perempuan. Ya, ini satu prestasi, meskipun kami selalu gagap mengatakan sebuah
prestasi bagi kami yang masih bayi dalam proses ini.
Kelompok perempuan itu terus bersuara, terus melepas dirinya,
menampar ruang-ruang, membuat bibir pantai juga bergetar. Sedang posisi
kelompok perempuan duduk seolah mereka memang selalu akan begitu, tapi kelompok
itu mengambil pasir, meremasnya, dan tangannya mengepal nyari meninju udara di
ruang hampa. Aku sendiri dalam kekacauan dibawa bimbang oleh suasana, lalu
kebimbangan itu membawa ingatanku pada beberapa tahun yang lalu. Ya, aku
sendiri pernah melihat perempuan-perempuan berteriak melawan, berdemo agar
pengeborang Migas Tanjung digagalkan. Mereka perempuan yang selama ini dibilang
tak hadir dalam konteks kebudayaan dan sekarang atau hanya mata buta yang tak
melihat itu. Sekarang bathinku, mereka bermunculan sebagai srikandi kesenian yang
mengakar dibumi dan tak tercerabut dari akar masalah yang sesungguhnya.
Aku sangat kaget, dari mulut perempuan itu keluar kata-kata ini “
jangan jadikan agama sebagai alat untuk memanipulasi keadaan kami, jangan
gunakan agama sebagai alat merampas tanah kami, tanah kami adalah awal dan
akhir bagi kami, jangan jadikan agama, jangan jadikan agama.” Suara itu keras,
lalu berganti sedu sedan.
Sedang dari kelompok lain, tepatnya dari laut, sekelompok kawan
yang lain pulang ke pantai, entah ini gambaran hidup, nelayan atau hidup nyata
kami sendiri. Mereka membacakan puisi sambil menggerakan tubuh bersamaan dengan
ombak, seperti sekelompok yang membawa letihnya dari seberang atau dari negeri
entah ke negeri entah yang lain. Suara-suara yang susul menyusul, tiba-tiba
terdengar bunyi seruling menyanyat telinga, tiba-tiba ada lagu yang terdengar:
mereka dirampasnya haknya, tergusur dan lapar, lalu puisi-puisi muncul sebagai
gelombang, dari negeri yang sama ke negeri yang beda hanya tetap saja di sini
selalu saja ada luka. Di laut kami kesepian, pulang ke pantai kekasihku hilang,
pantaiku tak perawan lalu negeri ke negeri kenyaatan yang mana lagi kami akan
pulang? Suara itu, ah iya, suara itu lepas dari dalam jiwanya. Entah, apa masih
ada yang mangatakan kalau ini racauan semata. Apa jiwa mereka tak yakin kalau
jiwa tempat bermukimnya segala kepekaan di dunia.
Pentas Teaterikal
Berlalunya pementasan dengan panggung laut itupun selesai, sekarang
dan ke depan, mungkin hanya itu yang akan kami kenang nanti. Saat kami siap
jadi lilin dan lentera lalu menabur pijar-pijar ke tempat yang lain. Tapi proses
ini memang selalu jadi bagian yang menggembirakan. Sampai malam pun datang,
yang menetap dan bermalam sekitar 20 orang. Memang, acara bermalam itu bagi
kawan yang punya kehendak dan bebas dari tugas lainnya. Malam pun kami isi
dengan belajar menulis puisi langsung, aku pribadi sangat bahagia dari awal
sampai akhirnya kami pulang pagi. Meski semalam, sekitar jam 12 Malam, hujan
tiba-tiba berbondong menuliskan puisi pada tubuh kami. Tak alang kami jadi laut
sendiri, dingin, gigil sampai ke tulang-tulang, tapi entah tahu-tahu kami
tertawa terbahak-bahak dan masih merasa gembira. Sampai pagi, setelah matahari
terbit, setelah berjalan di pinggir pantai. Kami pun ber sayonara lalu memilih
pulang dan jalan ke rumah masing-masing, mungkin nanti juga akan jadi pribadi
yang masing-masing.
Jumat, 04 Maret 2016
MENUJU WORKSHOP MENULIS PUISI/KELAS PUISI ALA FORUM BELAJAR SASTRA FBS
Saya, ingin mencatat ini sebagai sesuatu yang
penting dalam perjalanan proses Forum Belajar Sastra yang tadi, Jumat, 04032016
sebagai pertemuan ke enam. Sedang untuk pertemuan yang kemarin saya tak punya
sempat untuk menuliskan sesuatu. Maka saya ingin mencoba menuliskan dua
pertemuan dalam satu catatan ini.
Jam, 6.30 WIB, sendirian saja saya bernyanyi kecil
ke arah timur, ke tempat biasanya, Pujuk Pongkeng di Desa Aeng Baja Raja,
sebagai tempat kami berdiskusi, baca puisi, bahkan sekadar bersama sebagai mula
dari aktifitas rutin kami. Sebelumnya saya sempat menelpon Ramsi meski saya
sengaja tak menanyakan apa dia akan berangkat bersamaku, atau berangkat sendiria.
Karena tumben saya ingin lebih dulu sampai ke Pongkeng, saya ingin merasai
sendiri di sana, merasakan desir anginnya yang dingin, ingin memandang
pemandangan yang bisa terjangkau, seperti laut di selatan, dan dereta
rumah-rumah yang seperti titik kecil di bagian utara.
Sampai di Pongkeng saya tak melirik jam sudah pukul
berapa. Seperti biasanya saya akan berdiri mematung di depan Asta. Sebuah makam
penggerak bahkan mungkin pahlawan yang sudah pasti beliau adalah pejuang walau
entah saya tak begitu paham silsilah dan ceritanya. Memang sedikit aneh, sebab
makam ini hanya ada satu keluar dari kelaziman yang ada. Biasanya minimal
sekali akan ada makam-makam yang lain seperti biasanya makam-makam di Asta
Tinggi, Asta Moncek. Tapi, yang ini tidak. Kemana yang lain? Semisal anak dan
keluarga serta kerabatnya? Tiba-tiba saya merasakan sedikit energi, ah ini
bukan perkara mistik atau metos, sebab itu semua lahir dari pertanyaan kecil
yang dijabar-jabarkan sendiri oleh saya. Misal, betapa hebat kalau dalam berjuang,
atau jalan sunyi dalam sebuah ide dan gagasan bertahan meski hanya sendiri.
Saya lalu menariknya kepada saya sendiri. Lebih semangat, karena saya tak
sendiri.
Sehabis mematung saja, dan melihat-lihat sekeliling
dari makam itu meski hanya dengan gerakan mata, saya berpindah tempat ke aula,
sendirian saja, saja memejamkan mata, saya membiarkan energi yang bersih oleh
segarnya udara pagi tadi membuat saya merasa nyaman. Oh iya padahal ketika saya
sampai ada dua anak muda, duduk di aula itu, Cuma ketika saya memilih diam dan
tak sekadar saja menyapa mereka memilih meninggalkan aula tersebut. Bathinku
anak-anak ini pasti kawan baru yang mau gabung dengan diskusi sastra.
Setelah cukup merasai hening. Saya, melihat HP
saya, kutemukan di sana ada inbok Yuli Nugrahani Kawan jaringan Kampoeng Jerami
yang baru saja membalas pesan saya tadi malam. Saya biasa memanggilnya kakak,
pagi katanya, saya lalu ngobrol sejenak di inbok, meski tak panjang seperti
biasa ia akan sibuk dengan aktifitasnya dan memang saya sudah ada teman yaitu
Juru Kuncinya tempat ini. Juru Kunci saya tawarin rokok saya dan kami saling
merayakan dingin berdua. “ajaklah kawan-kawanmu anak muda, saya suka kalau
tempat ini tak hanya jadi tempat gitar-gitaran saja, tempat pacar-pacaran” di
hening yang kesekian waktu kami sedang sibuk dengan alam pikiran
sendiri-sendiri. Saya, hanya tersenyum, dan beliau memang menyuport kegiatan
kami. Meski kami terus mencoba mempertahankan kepercayaan itu semisal: habis
diskusi kami biasa membersihkan tempat kami ngobrol bersama-sama.
Di Group BBM, saya sempat membaca beberapa kata
ijin dari beberapa kawan-kawan FBS, “ maaf kak, sekarang kami sedang UAM, atau
semodel ini, Maaf kak, Saya sedang mengawasi UAM”
Ada rasa ragu, ada rasa cemas, tapi kata temanku
yang selalu kuingat pesannya, “cemas tak akan mengubah apapun, lalu
mengalirlah, terimalah apa yang sudah ada.” Tarikan napaspun pelan-pelan
kulepas.
Tapi, di luar dugaan semuanya tak terjadi,
kecemasan itu hanya semata-mata kecemasan, pean-pelan dengan jumlah kawan yang
datang, sekitaran 10 orang saya membuka diskusi dengan beberapa hal obrolan
yang fokus tapi santai. Dan, ternyata benar-benar memuaskan hasilnya, sampai
jumlah yang hadir 35 orang, meski untuk peserta perempuan yang biasanya lebih
banyak hanya sekitaran 6 orang yang datang. Tak mengapa, ini proses naik dan
turunnya, di samping UAM dll hal.
Sebagaimana, pada pertemuan sebelumnya, yang kata
saya tak ada sempat untuk saya tuliskan, semangat mereka belajar terlihat dari
matanya, dari keguyuban ketika tertawa dan ketika sharing soal dunia tulis
menulis yang sama-sama ingin kami mulai dengan cara belajar bersama. Pada,
pertemuan kali ini, ada proses pelaporan KAS FBS yang sudah mencapai 14.500
rupiah dan sudah punya tabungan resmi dari BMT. Kamipun tertawa karena kita
cara menghitungnya adalah 14 juta 500 ribu rupiah. Mengalir sampai pada
pembahasan, kapan work shop kepenulisan dimulai. Lalu, satu-satu mengeluarkan
pendapat dengan melakukan pemetaan awal, lebih dulu mana, kelas cerpen atau
kelas puisi dan ternyata memang secara demokratis banyak memilih kelas puisi
dulu. Diskusipun egitu cepat dengan seperti yang saya akan tuliskan di bawah
ini:
1. Workshop menulis puisi/
kelas puisi akan dilaksanakan pada tanggal, 18-19 Maret 2016 bertempat di
Sanggar Bunyamin Gilang dengan ketentuan ijin dari pihak pengasuh. Dan pada
catatan ini ternyata saya sudah dapat kabar kalau Pengasuh lembaganya telah
memberikan ijin kepada FBS.
2. Peserta adalah anggota FBS
dan beberapa lembaga yang sengaja akan FBS mintai delegasinya minimal 2-3 orang
peserta.
3. Pendanaansementara ini karena Kas sampai pertemuan ini selesai baru berjumlah sekitar
40, 000,- maka peserta secara mandiri melepaskan pendanaan, dengan cara setiap
peserta membawa makan siang-siang sendiri, alias bekal sendiri =-sendiri dan
akan dilaksankan makan bersama sesuai bekal masing-masing (ini akan jadi
tradisi menarik bila kami bisa pertahankan. hehe)
4. Cetak Banner dan
transportasi Pembicara sementara ini akan ditanggung oleh Kampoeng Jerami
sebagai pendiri dan penggagas Forum Belajar Sastra.
5. Pembicara Hari Sabtu,
tanggal 19-03-2016 dari jam 8. 00 WIB-selesai (sehari) akan menghadirkan
pembicara, K. Muhamad Zammiel Muttaqien Pengasuh Bengkel Puisi Guluk-guluk.
(petugas komunikasi ke Pembicara, Fendi Kachonk)
Sungguh, inilah kebahagian saya pada hari ini, di
samping kegembiraan yang Yuli Nugrahani sampaikan secara singkat, “ Fendi,
catat semua proses forum belajar sastra itu, nanti takutnya kita kehilangan
masa untuk menuliskan sejarah versi kita, Kampoeng Jerami, dan seluruh
kawan-kawan FBS, itu penting, penting dan mohon doanya sehabis sholat Jum’at
saya pembukaan warung kami, WARUNG BAKSO DAN AYAM MIE DENMAS,” katanya.
Saya mengucapkan selamat ke kak Yuli Nugrahani dan
dapat inbok dari Umirah Ramata, “Say welcome to the world untuk ponakanmu ini”
foto anak yang baru lahir, perempuan telah lahir dari rahim Umirah Ramata, saya
girang, Umirah Ramata adalah adik dan perempuan hebat yang selama ini membantu
Kampoeng Jerami dalam proses pengarsipan, lay out dan mengurus ISBN. Selamat
untuk kami semua, Forum Belajar Sastra dengan persiapan Workshopnya, Yuli
Nugrahani dengan warung barunya, Umirah dengan anak perempuannya. Terima kasih
ya Allah, terima kasih. Dan, pertemuan
kami ini ditutup dengan baca puisi, monolog, senyuman dan tawa, semoga semangat
ini selalu menyala. Amin.
Langganan:
Postingan (Atom)