Sabtu, 13 Februari 2016

HITAM-PUTIH TUBUH CINTA


: Fendi Kachonk

Begini, saatnya aku melihat ini sebagai bentuk renungan dari perjalanan yang amat singkat tapi meninggalkan jejak perjalanan yang begitu dalam pada hidupku dan mungkin pada bagian yang lain aku juga semakin dapat pelajaran tentang cinta. Kenapa cinta? Karena ini momentum yang tepat bagi sebuah kata “cinta” untuk direnungin. Bagi penyair ini seperti candu, atau bius yang bisa membuat lena bermimpi, atau bagi semua pemusik, cinta akan seperti lagu, serenada, seriosa, atau tembang dll.
Valentine Day, sebuah waktu yang bagi sepasang kasih adalah gerimis yang akan membuat mereka berteduh lalu moment romantik itu akan jadi kisah indah, meski suatu saat akan jadi moment dan mimpi yang lebih kejam dari apapun, dan kenangan akan jadi bulan-bulanan penyesalan, sebab apakah? Nah, pada konteks itulah, saya ingin ngelantur kesana dan kemari, menjadi suatu organ dalam bentuk rasa yang abstrak, dan mempertanyakannya dalam bentuk kata. Komitmen? Nah, ini juga yang menyebabkan kelahiran dari sebuah rasa bernama cinta butuh tempat yang teduh, agar semua lebih ngendap lalu sublim jadi sesuatu yang dicari yaitu “keindahan dan kebahagiaan.”
Barangkali, moment hari kasih sayang ini jadi tempat saya untuk kembali “me-napak tilas-i” semua demi sesuatu yang lebih besar dan mencoba menyimpulkan dari laku dan kata, dari keadaan dan kenyataan, dari kelukaan dan keceriaan. Pandangan saya, masih sama, meski sama juga mungkin bagi setiap pengalaman semua orang kalau sebenarnya cinta itu menghidupkan dan mematikan, dan kalau diliat dari sini, apakah saya akan sepakat, kalau kekuatan terdahsyat itu adalah cinta? Karena setelah menghidupkan, cinta juga mematikan. Saya ingin menyeret satu misal, seseorang yang anggun akan  jadi sungguh menyeramkan hanya karena cinta, atau sebaliknya, seseorang menyeramkan akan jadi sangat indah di pandang cinta. Dan, itu semua hasil dari rekayasa cinta atau rekayasa pikiran yang tak sanggup melihat perubahan.
Dan, ini lagi, apa yang dulu baik akan jadi jahat, jadi cuek, jadi songong, dan apakah itu cinta, dan apakah itu bentuk dari sesungguhnya roh bagi cinta. Misal, suatu hari ada yang datang lalu berkata. “Andai kau pohon yang ranggas, atau pinus yang gersang, bahkan bila kau adalah hewan yang tak berkelamin, sayang dan cinta ini tak peduli, dan semuanya masih tetap dalam payung cinta yang menghindarkan dari terik matahari dan dinginnya hujan”
Pada saat itu, segenap kepercayaanmu, karena ucapan itu diperkuat dengan semisal. “ Cinta itu adalah kata kerja, dan lalu menjadi satu tubuh dalam penyatuan, bukan pada sekadar dhahirnya saja, tapi semua visi dan logika” pasti, semua berdampak, dan bisa jadi itulah cara cinta dalam ucapan bergerak menambang lapisan kekuatan dalam tubuh manusia, dampaknya, semua hari jadi indah, kemana-mana kita akan bernyanyi riang, dan semua cerita akan lancar, komunikasi hanya membedakan dua warna suara, dalam bentuk yang berbeda, antara kasih dan sayang.
Seperti bunga yang rindu sentuhan kumbang, atau seperti kuncup yang ketika pagi selalu ingin menyambut sinar matahari untuk berubah bentuk menjadi mekar, itulah kekuatan cinta. Namun, tak sejati di jalan yang masih dihuni oleh kekuatan akal dan kepentingan, kebutuhan dan keegoisan, dan yang kanak-kanak akan menjadi sosok yang dewasa, tapi anehnya kerap yang dewasa lebih dari kanak-kanak biasa dalam melihat dan memandang segenap dinamikanya.
Saya sendiri, adalah orang yang selalu gagal memberi label apa, dan seperti apa bentuknya cinta, bahkan untuk mendefinisikan cinta saya tak pandai, maklumlah, mungkin ini didorongnya oleh pengetahuan dan pengalaman, atau apa ini semua akibat kemunduran dari cara berpikir yang kolot dan ndeso. Saya, menegaskan tak ada perayaan hanya untuk sehari dan tak ada tenggang waktu bagi saya dalam mengenali cinta. Lebih luas lagi, cinta adalah kehidupan, cinta pada siapapun dalam bentuk yang sama atau berbeda, dan apa juga seperti itu cinta mepekerjakan kekuatan nurani kita selama ini. Benarkah cinta itu bukan hanya kata-kata? Apakah kalau bukan hanya kata-kata, diam juga adalah cinta, dan menjadi orang yang sangat dingin juga cinta?
Saya ingin melek cinta, melek dari hanya kata itu, mungkin bagi orang ini jalan yang menelikung jalan yang ramai, lalu berhenti di depan gang buntu, hitam dan menyeramkan, sunyi dan sendiri, dan hanya ada bayangan kita, dalam gelap, dalam kelukaan yang purna, sebab cinta itu dalam sejatinya ruang hanya ada satu ruang yang diisi penuh lalu ditumpahkan dalam bentuk perpisahan, atau sama-sama menyadarinya, yang kemarin bukan cinta, dan yang kita katakan soal cinta dan keindahan waktu bersama hanya kata siluman dan syetan?
Benarkah dalam cinta tak ada tuntutan? Atau komitmen itu dapat kita bahasakan dalam bentuk pengorbanan yang senyap, pengorbanan yang luntang lantung dan berakhir luka sepanjang sejarah kehidupan kita? Saya ingin melihatnya lebih dekat, kalau cinta adalah komitmen, kebersamaan, dan kebersamaan itu sendiri tak saya bahasakan dalam setiap pertemuan ujud, tapi ruang-ruang yang dilipat atas kesamaan, atas berapa penyatuan, Berarti cinta juga punya cara menuntut ditunaikan sebagai bayi-bayi yang suka permainan, barang mainan, atau tempat untuk main-main.
Rupanya saya tak cukup kuat menelaah cinta dalam hidupku sendiri.  Saya akhirnya melihat sebagai bentuk universal. Misalnya cinta, adalah bentuk perhatian dan kepeduliaan pada semua yang ada di sekeliling kita. Kita bisa mencintai kucing kita. Kita bisa mencintai wajah kita, kita bisa mencintai keegoisan kita, atau kita bisa mencintai berapa umur dan berapa pengalaman kita dalam hidup. Tapi, apa dengan cara seperti itu, kita sudah benar-benar sepakat kalau bilang cinta itu membosankan, munafik dan sangat egois?
Sementara di sisi yang lain, cinta tak mau tumbuh sendiri, dia adalah bagian yang tak terpisahkan dari komunitasnya, pohon, air, gunung, batu dan hewan, tanah, dan semesta alam yang menjadi saksi atas kelahirannya. Haduh, bagaimana mungkin, bagaimana mungkin? Kita bisa berbincang dengan nyaman dengan seseorang yang ingin menembak kepala kita, dan membiarkan semuanya dirampas lalu sampahnya dibiarkan di jalanan, sedang sampahnya adalah kenangan yang dilahirkan dari kata cinta yang indah, cinta penyatuan, komitmen dan logika-logika yang melahirkannya dalam bentuk kata-kata.

Seperti air yang mengalir di ceruk-ceruk tebing. Saya juga pernah ada dalam situasi tersebut, dari muara yang bening, lalu dilempar pada tebing-tebing curam, ini akibat cinta, dan cinta ini mungkin juga bukan cinta, tapi ini pernah dikatakan sebagai cinta, sebagai keindahan yang hidup dan kini makin hidup dalam bentuk dendam yang diam.


Tidak ada komentar: