Rabu, 23 September 2015
Celestin Dan Yuli Nugrhani
Kau masih ingat, saat kita membaca buku manuskrip lama? Tentang kota-kota tua yang pernah kita susuri dari kata ke kata menemukan kita sedang meringkuk dalam sunyi, lalu kau bertanya, untuk apa semuanya ini? Kota-kota yang kita singgahi dari halaman buku dan kita bicarakan soal mata kata, cerita puisi, sejarah dan prosa hujan. Sedang lanskap pelangi tak datang dari sudut pandangku, pandangmu jauh.
Aku tertelan di tengah senja yang mempertemukan aku dengan benda-benda yang bercerita soal kedalaman jiwa, soal hati dan soal sunyi yang dipenjara dalam diri.
Apa ada hujan pada selat di matamu, Yul? Sehingga kemarau ini tak dapat aku ceritakan pada surat-surat cemara yang belum tuntas aku tuliskan di deburan ombak, di dekat pantai, atau di dekat pohon siwalan yang pernah kita sebutkan sebagai tempat menyatu dengan alam, tempat kita melatih diri melawan sepi.
Kau tak akan mengingat itu, bukan? Aku beranjak pergi dari halaman buku yang sebelumnya kau kirimkan bersama bintang fajar. Kita telah letih untuk memiliki teori-teori penyatuan sedang tubuh hanya kerangka kosong untuk menabur benih dari tangan petani yang kerontang oleh hilang kasih sayang.
Bagiku, tidak begitu kan, Fen? Hari-hari akan menyimpan denyutnya sampai pada titik temu dan titik akhir menjadi manusia. Segenap kata untukmu kawanku, yang kusimpan lebih rapi di beranda depan, tanpa seorang paham, kalau kau dan hujan adalah pelangi bagi anak-anak yang kedinginan menahan gigil di kerumunan hujan.
Moncek, 230915
Selasa, 15 September 2015
KE PELAR DARI KAMPOENG JERAMI, LUPA MAKAN DAN MANDI
OLEH : PELUPA
Aku ingin
mencatat hal sederhana ini, mungkin suatu saat akan jadi sesuatu yang aku
anggap indah. Tadi pagi, aku berangkat sekitar jam 8. 00 WIB bisa kurang bisa
lebih, dengan tidak sarapan dulu bahkan hanya mencuci muka saja. Aku jadi
teringat berapa minggu ini telah terjadi desakan sistemik di tubuh keluarga
kecilku. Ibunya Surga telah membuat propaganda halus lewat Iman dan Surga agar
aku bisa dibujuk untuk merapikan rambut ikalku yang sudah hampir tak terurus,
kumis dan jenggot dan lain sebagainya. Ajakan Iman untuk mencukur rambut pasti
aku pahami tidak murni dari keinginannya, seperti ajakan Surga lewat kata
terbata-batanya, juga pasti tak lahir dari keinginannya. Maka, bagaimanapun itu
aku anggap saja sebagai bentuk perhatian.
Padahal dalam
hatiku masih berjuang untuk sebuah gagasan kecil tentang hal lain, keindahan
tubuh bukan segalanya bagiku, aku lebih memilih sesuatu yang tak dianggap indah
apabila dalam benakku masih berpolemik dan polemik itu adalah hal yang ingin aku ujudkan. Pada satu tujuan
yang biasa disebut dengan harapan kecil dari sebuah kejadian bernama dan dari polemik
itu lahir gagasan dan ide kecil. Tapi, mungkin tak semua bisa aku buka dan
tuangkan dalam tulisan ini, karena dengan berapa alasan yang aku ingin simpan,
ingin aku rasakan sendiri, ingin kukecapi sendiri sebagai bentuk dari pelarian dan
pencarian. Hey, napa aku pakai kata pelarian. Ya! Aku sedang melakukan pelarian
dari satu masalah yang sudah nyata adanya. Yang telah aku lahirkan dalam bentuk
sesuatu, suatu barang yang selama ini memiliki berbagai dinamika kejadian. Memang aneh,
bukan? Yang baca ini pasti juga puyeng. Misteri ini dan ketidak jelasan ini kerap aku perangi. Aku selalu berkata, tak ada yang ingin aku sembunyikan, itu
awalnya. Sekarang sudah bukan saat-saat yang seperti dulu.
Biar tidak
berputar kayak baling-baling. Dalam kondisi mata sudah perih akibat kurang
tidur, aku menyempatkan menuliskan ini. seperti halnya hari kemarin atau berapa
hari lalu, kegiatanku mulai seperti September tahun yang lalu. Pura-pura
dikejar deadline, pura-pura kembali ke jalanan, menyanyi di atas motor, lalu
tersenyum dengan seceria mungkin yang aku bisa. Bahkan, berapa desa mampu aku
tembus dengan hanya meminum pil yang tak ada resep dokternya yaitu bernyanyi
riang sepanjang jalan. Sepanjang jalan rupanya mengantarkan aku pada banyak
situasi, medan, konflik dan obrolan yang hangat dan ada pula yang basi. Desa satu
selesai, aku beranjak ke desa yang lain. Menikmati setiap desir angin yang
membelai wajahku. Hey, aku tampan kataku pada angin. Dan angin hanya tersenyum
kecut. Seolah-olah begitu ia menanggapi bayolanku.
Jam 1. 00 WIB,
aku kembali sampai di rumah lalu aku jadi ingat dengan pesan kawan, berapa hari yang lalu.
Kak, tolong jadi teman belajar di UKM Pelar ya? Aku langsung jawab iya. Jam
berapa?, Jam 16. 00 WIB. Oke, jawabku. Nah, sekali lagi mana sempat aku mandi. Dan,
aku juga lupa ada janji dengan salah satu kawan untuk diskusi dengan anggota
DPRD Sumenep. Ah, aku memang akan memilih jalur dan tujuanku semula. Lesehan
sastra adalah menu istimewa yang pasti mengalahkan menu yang lain. Menu yang
lain itu bisa saja kegiatan sosial, kegiatan mengajar dan benar-benar aku sudah
lupa kapan aku berhenti mengajar, mungkin sekitar 4-5 lima tahun yang
lalu, aku pernah jadi guru Bahasa Indonesia di sebuah Pesantren kecil.
Aku mengirim
pesan melalui BBM ke salah satu teman dari Komunitas Kampoeng Jerami. Bisa ikut
aku, dik? Jawabnya. Bisa kak. Yuk, sekarang aku tunggu di rumah langsung cabut
ke acara, kasihan kalau mereka harus nunggu kita, lebih baik kita saja yang
menunggu mereka. Kataku. Selang berapa menit, dari arah barat rumahku terdengar
klakson sepeda motornya. Cium pipi Surga dan langsung meloncat alias bonceng di
belakang temanku kita pergi. Yah,akhirnya setelah melewati deretan pohon
siwalan, mengisi bensin di pom bensin Batuan, lalu melintasi kemacetan kecil di berapa
titik. Kami pun sampai di sebuah Sekolah Tinggi itu. Aku melihat lambaian
tangan, melihat senyum yang tulus dan merasakan binar kebahagiaan dari beberapa
pasang mata. Ah, perlente sekali memang pakaian kami. Temanku pakai Jas, dia
memang musisi, aku jadi tak ingin kalah, sebelum buru-buru pergi dan ini juga sebagai satu siasat agar aku dan temanku kayak yang memang sudah janjian,
padahal maksudku biar temanku tak jadi aneh dalam forum itu. Aku memang kadang
memilih untuk tak senyaman diriku saja. Banyak hal yang aku ingini, belajar
mencocokkan dengan orang lain, dan mencoba menghargai temanku, itu kebahagiaan
tersendiri. Aku juga bisa bercerita bebas dan jadi tukang bayol yang lepas,
misal aku akan bilang dan memperkenalkan diri sebagai mantan aktor, dan pernah
punya hubungan khusus dengan artis papan atas. Nah, dari proses itulah, awalnya
mata-mata yang kaget, yang malu-malu, sungkan jadi cair dan ngakak bareng.
Bukan masalah
basa-basi, atau memang kami suka hal-hal yang basa-basi. Entahlah! Sebelum masuk
ke sesi. Kami lebih ringan melontarkan gagasan-gagasan kecil, mengenai hal-hal
yang bukan serius-serius amat. Entahlah! Aku kadang tidak tahu, apa hidup ini
sebenarnya basa-basi, atau hal-hal yang serius, terkadang terlalu serius juga
akhirnya jadi basi. Dan yang dari hal basa-basi terkadang jadi hal yang
serius walaupun pada akhirnya kerap juga terjebak menjadi hal basi. Sekali lagi,
entahlah!
Akhirnya aku jadi pemandu diskusi saja, sebagaimana aku menolak dengan
kata-kata penyair terkenal, aku lebih suka bilang ini proses belajar bersama. Dan
aku bilang ini adalah proses belajar anak-anak, bukan aktivis, bukan akademisi,
bukan politisi. Aku memandu dari apa yang dimaksud dalam tujuan diskusi
tersebut dengan memancing lewat pertanyaan. Menurut kawan-kawan seni
itu, apa? Hampir semua peserta punya pernyataan dan pengertian seni itu sendiri-sendiri
dan beragam, serta luas, mulai dari bilang seni itu suatu yang menyenangkan, seni
itu adalah senyuman, dan seni adalah suatu prilaku kita dalam kehidupan sehari-hari dan di
ruang terkecil bernama keluarga.
Aku tak akan pura-pura bilang tak beruntung datang ke pertemuan kecil ini. pertemuan yang tak berbicara soal langit dan lupa sebagai mahluk bumi. Atau pertemuan hal bumi yang kadang jadi melangit sehingga lupa ada akar rumput yang belum bisa kita pahami. Pertemuan ini jadi satu yang sangat berharga, lewat tatapan mata jujur, mereka tak meminjam istilah orang lain dalam mendefinisikan seni itu sendiri. Maka, diskusi mengalir, mengalir seperti air, itu istilahnya saja, karena memang waktu begitu cepat belum sampai pada inti, dan hanya dasarnya saja.
Aku tak akan pura-pura bilang tak beruntung datang ke pertemuan kecil ini. pertemuan yang tak berbicara soal langit dan lupa sebagai mahluk bumi. Atau pertemuan hal bumi yang kadang jadi melangit sehingga lupa ada akar rumput yang belum bisa kita pahami. Pertemuan ini jadi satu yang sangat berharga, lewat tatapan mata jujur, mereka tak meminjam istilah orang lain dalam mendefinisikan seni itu sendiri. Maka, diskusi mengalir, mengalir seperti air, itu istilahnya saja, karena memang waktu begitu cepat belum sampai pada inti, dan hanya dasarnya saja.
Tapi,
minimalnya banyak sekali yang aku catat, aku rekam, kata-kata mereka, tatapan
mata, dan apa lagi ada peserta perempuan yang terbata-bata, terharu
menceritakan sesuatu yang menimpa bapaknya. Walhasil aku menjadi tergugah menuliskan
ini. Dari mereka aku kembali menemukan beberapa potongan manuskrip kehidupan
yang seolah mereka itu adalah kitab-kitab yang disusun dalam kerangka manusia. Sehingga ada banyak sisi yang indahnya, memilukan bahkan aku pun sepakat dengan salah
satu pernyataan dari peserta yang lain dan bilang. Saya tak tahu mendefinisikan seni sama halnya saya tak tahu mendefinisikan kehidupan. Ah, aku tertegun sejenak, perkataan itu
bukan lagi silat lidah, bukan mengada-ngada. Daya cepat berfikirku
menanggapi pernyataan itu, aku merenungi kata-kata itu dan aku akhirnya
juga sepakat, kalau tak ada kesadaran mutlak, seperti tak adanya kebenaran
mutlak atau hakiki, dan kadang seni dan hidup tak butuh didefinisikan, tapi
seni dan hidup cukup dijalani saja. Wah, keren kataku. Ini memang pernyataan
biasa, pernyataan biasa ini menjadi luar biasa, oleh karena kejujuran
pengucapnya yang sampai pada titik renung yang dahsyat.
Dan lagi, ada
hal yang ingin aku catat pada diriku sendiri, dari proses belajar seni dan
berkesenian tersebutlah, aku menemukan satu hal yang kecil. Eh, aku lebih suka
bilang hal-hal yang kecil ya? Sekali lagi, entahlah! Suatu yang ingin aku catat
sebagai bagian dari kekayaan proses adalah di mana aku belajar melepas diriku
menjadi orang lain. Proses ini bukan aku ingin meniru orang lain, atau tak
bangga jadi diri sendiri. Namun, proses menjadi teman, mendengarkan curhat
orang lain, dan atau saling mendengar dan memperhatikan, duduk tak lebih tinggi
dari siapapun menjadikan diriku memetik hikmah. Bahwa, dalam berkehidupan
teramat sulit kita menjadi teman yang baik atau mendapatkan teman yang baik.
Sangatlah
banyak kejadian, kitab-kitab yang ada
dalam tubuh manusia, namun aku sendiri kerap gagal membaca, ini seumpama
kitab, sebenarnya kita kerap gagal mendengarkan orang lain dan menjadi teman
yang baik. Terkadang keterbukaan kita menjadi salah ketika teman kita lebih
menutup dirinya dengan alasan segala macam. Terkadang, banyak sekali
terkadangnya, dan terkadang kita mesti memerdekakan orang lain untuk menjadi
dirinya dan kita berjalan pada arah dan tujuan yang berbeda. Dan terkadang panjang-pendeknya waktunya pertemanan tak mampu menjadi alat ukur bahwa diri
telah berhasil menjadi teman yang baik dan mendapatkan teman yang baik.
Ah, itu bagian
dari renungan kecil. Seharusnya aku tak memikirkan itu, seharusnya aku
bersibuk-sibuk dengan urusan-urusan yang keren, berbicara spiritulitas, menjadi
menebar kebajikan dan memikirkan negera ini yang katanya mulai kacau balau, Rupiah yang katanya terus anjlok diperkosa dolar, atau bencana-bencana yang sering dilimpahkan menjadi kesalah Presiden Jokowi. Eh. Tapi, aku masih belum bisa, aku masih selalu suka sibuk dengan hal-hal yang kecil. Hal-hal
yang menyentuhku dan dari itu membuatku memompa pikiran untuk terus berputar di tempat
itu-tu saja.
Hey, Mak!
Pabian itu daerah mana seh? Ah, rupanya aku sudah keluar dari forum lesehan
sastra itu, dan aku melanjutkan ke tempat yang lain. Di sana, ada urusan
sedikit, urusan kecil juga seh. Hehe, dekat Gereja, Vihara dan Masjid dik! Jawabku.
Sampai di tempat kakakku itu, kopi dan rokok telah tersedia sampai azhan isya. Aku
bisa digojlokin sebagai seniman gila oleh kakakku. Aku suka dengan gojlokan
itu. Karena yang aku tangkap dia tak marah, tapi hanya membuka ruang untuk bisa
akrab denganku.
Pulang dari
Pabian, mampir dua jam di Rumah mas Syaf Anton Wr. Di sana seperti biasa
topiknya. Sastra dan pergerakan sastra, komunitas dan segala macam yang
berhubungan dengan dunia tulis menulis. Aku jadi terbayang “Tanah Silam” telah
lahir Cuma masih belum aku siapkan pestanya secara kecil dan sederhana. Setelah
habis kopi. Kami berdua, menuju rumah mas Hidayat Raharja. Seperti di rumah Mas
Syaf Anton. Di rumah mas Dayat sapaan akrabku ke beliau. Kami berbincang di
seputar yang diobrolin di rumah mas Syaf Anton.
Dengan mata
mengantuk, kami pulang. Di jalan pulang, suara apa lagi yang bisa kita nikmati?
Kecuali nyanyian ku dan temanku sepanjang jalan itu. Mengusir dingin, lalu
kembali ngebayol. Dan sampai di pasar Lenteng aku ingat rokokku tinggal berapa
batang. Karena aku jarang bisa tidur malam. Maka, kami berhenti. Dan wow,
ternyata aku lupa makan dan mandi dari tadi pagi. Kami pun makan bakso.
Kulihat hapeku,
setelah aku cash dulu. Ada balasan sms dan inbok dari berapa kawan. Kujawab,
aku sudah di rumah. Mencoba tidur gagal. Lalu, aku sempatkan balas. Hey. Sory
aku kehabisan batre. Lalu, ada balasan dengan hanya mengirim emoticon. Aku
balas lagi, kok belum tidur, tumben, lagi ngapain? Jawabnya. Tidak
ngapa-ngapain. Sms berlanjut setelah akhirnya temanku itu balas. Aku baru
selesai rapat, sudah seminggu aku di Bandung.
Aku merasa
bersalah, karena dia bilang tak sedang ngapa-ngapain. Tapi, di ujung obrolan
kami dia bilang baru selesai rapat dan sudah satu minggu di Bandung. Aku merasa
bersalah karena aku telah mengganggunya. Dan, akhirnya aku sadar hal kecil ini
aku akhiri sampai di sini. Capek! Udah empat halaman tak terasa. Hehe, tulisan
ini tak aku edit. Capek! Asal dimengerti saja. Dan, aku selalu akan berjuang
melihat semuanya dari sisi positivnya saja. Meski aku kerap gagal. Aku akan
terus belajar.
UKM PELAR, SI
RAMBUT GONDORONG SEMUA KAWAN, MAAFKAN AKU. AKU BERTEKAD JADI TEMAN YANG BAIK DAN
BELAJAR UNTUK SEMUANYA ITU. SEHINGGA TAK ADA DUSTA SASTRA. MATAMU, KATAMU, ADALAH JIWAMU.
Minggu, 13 September 2015
DI DEKAT BUKIT
yang melintas di pikiran, di suatu senja, tadi
berjalan-jalan di kaki bukit, menikmati matahari
melihat latar rumputan, menikmati pemandangan
sepanjang pandang, lembah kupu-kupu
tebing tanpa air yang mengucur dari atas
aku tertegun, sembari aku raba tanah
aku heningkan diri, dalam sunyi
puisi-puisi beterbangan menjadi asap
berkabar tentang duka lara, di ladang-ladang
di hutan-hutan, telah banyak yang terjadi
seperti lelahnya mataku, menatap matahari
pelan-pelan menuju rembang lalu sebentar lagi
malam-malam akan mengemas segala letih
laki-perempuan akan pulang dan bukit ini
kembali akan sendiri, sendiri menatap takdir
aku masih mencari biru, pada ilalang
yang juga mulai memudar, sinar tinggal sedikit
hanya kepak burung-burung kembali ke sangkar
begitu jelas aku dengar, tapi kekosongan tiba-tiba
seperti gelas, atau seperti telaga yang kemarau.
tanpa alir air atau seseduh kopi menjemput mimpi.
Moncek, 130915
berjalan-jalan di kaki bukit, menikmati matahari
melihat latar rumputan, menikmati pemandangan
sepanjang pandang, lembah kupu-kupu
tebing tanpa air yang mengucur dari atas
aku tertegun, sembari aku raba tanah
aku heningkan diri, dalam sunyi
puisi-puisi beterbangan menjadi asap
berkabar tentang duka lara, di ladang-ladang
di hutan-hutan, telah banyak yang terjadi
seperti lelahnya mataku, menatap matahari
pelan-pelan menuju rembang lalu sebentar lagi
malam-malam akan mengemas segala letih
laki-perempuan akan pulang dan bukit ini
kembali akan sendiri, sendiri menatap takdir
aku masih mencari biru, pada ilalang
yang juga mulai memudar, sinar tinggal sedikit
hanya kepak burung-burung kembali ke sangkar
begitu jelas aku dengar, tapi kekosongan tiba-tiba
seperti gelas, atau seperti telaga yang kemarau.
tanpa alir air atau seseduh kopi menjemput mimpi.
Moncek, 130915
Kamis, 10 September 2015
BERKERUDUNG TEMBAKAU
Untuk Yuli Nugrahani
Bulan September seperti buah semangka yang kita
lepaskan dari tubuh matahari dan bintang. Berlalu lalang kejadian-kejadian,
antara Tanjungkarang dan jembatan Suramadu. Dua selat yang berbeda jauh. Kau
yang meneriakkan, ayo rengkuh matahari itu! Tak bisa kita diam dalam
malam-malam sunyi sendiri. Mesti ada yang memulai, seperti alam dan semesta
ini. Kun, ada yang bergerak lalu mencipta benda-benda dan berpasangan. Mata-mata
kecil kehidupan kita bagi jadi kekuatan, seperti mata api yang dibiarkan
menyala, di matamu, di mataku.
Sekali waktu, kita akan bahasakan daun siwalan jadi
cerita pendek yang penuh misteri, ke tepi ladang tembakau, kau bertanya, Jadi
apa mereka setelah tua? Tapi kenyataan selalu menjawabnya telat, sepertinya
memang pertanyaan itu hanya simbol kecil ketika matahari merias rambutmu. Lalu
apa yang bisa diterjemahkan sunyi pada hening di dada kita berdua? Secarik senyum
aku lempar, dan kau tak begitu pedulikan itu. Aku masih amat muda untuk
menjawab sesuatu. Kataku:
Angka-angka jam begitu lesat, seperti mimpi bayi
yang belum diingat ketika pagi tiba-tiba saja digaduhkan dengan langkah
perempuan yang meladang, lelaki ke ladang, rumah-rumah sepi dan pohon siwalan
seperti lambang misterinya. Fayakun, kejadian lebih bisa menerjemahkan detak
jantung, denyut nadi dan selembar pertanyaan yang belum atau sudah pernah ada
jawabannya.
Matamu, mataku, melihat kuntum tembakau yang serasa
senyap dan memilih bisu sebagai bahasa. Kita
bergegas menuju Asta Tinggi, meneriakkan merpati di Taman Bunga, dan kembali
menuangkan teh dalam segelas canda tawa lalu hening kembali menempati dada
kita. Entah, matahari yang seperti apa yang dapat kita gambarkan, bila esok
tiba-tiba ada yang berhenti dan tak bisa ditarik kembali.
Seperti mata petani, letih di antara tangisan hujan
dan keringat matahari yang menetes di sekujur tubuh harga, di atas tanah yang
tak kenal bibit aslinya atau pada tanaman yang diputar oleh musim begitu
lamban, sekali itu juga, hening memilih tempat di dada kita, lalu kuletakan
kerudungmu, di sela-sela kau mencari jawaban yang kasihan pada kuntum tembakau
yang akan terbiar di kampung jerami, lalu puisi dan hening kembali memilih dada
kita, kun, fayakun.
Moncek, 100915
Langganan:
Postingan (Atom)