PELUKAN YANG LEPAS
: untuk anakku
Subuh datang lagi anakku
kau masih melihat langit yang kini hitam
tak ada bintang-bintang karena awan
seperti kelamnya nasibku di bumi
Kini bukan lagi suara merdu
retakan ranting di musim hujan
dingin makin membelah ingatan
sedang setumpuk catatan tergelar
Di antara sepi ke sepi
aku mendengar lonceng itu kembali
berulang dan berpulang ke jalan lengang
kau menantiku di sana, anakku
di antara tangisanmu dan hujan itu
Bawal aku lari tanpa ada yang tahu
gerakan tubuhku, seperti kapas
menujumu, mencari pelukanmu
kini aku tak tahu, di mana langit itu
tempat bintang-bintangmu berkerlipan
tapi kini matakulah kunang-kunangmu,.
Moncek, 050616
Sabtu, 04 Juni 2016
UNTUK SARESTIDEVI
Mungkin tak akan lagi kau dengarkan, tawa kami
seperti kicau burung setiap pagi membangun mimpi
dan wajah ibu akan meletakan minum dan sapa
seperti manisan tak pernah lepas dari bibirnya
ada angin liris menyandera kedinginanku, anakku
kau paham bahwa awalnya seperti kidung; nyanyian itu
dari kapel, dari masjid dan bihara, kau dan aku kini luka
aku tak akan lagi; dan tak pernah lagi menoleh, padamu
di sana terlalu perih setiap kisah rumputan yang terinjak
terampas dari sejuk embun, tubuh bapakmu tak sepadan
bagi setiap siang yang membengkak di tulang punggung
ada yang tak terpisah, meski mungkin pernah sembuh
tak usah lagi anakku, kau dan aku memang terbuang
jauh menuju kedinginan yang lain, tempat pertemuanku
dan kau tak akan kesepian lagi, aku datang dari celah ini
dari setiap yang menetes dari pori-poriku, bukan embun
mataku, air mata darah yang tak kering meski kemarau
Ibu telah tak ada lagi menyimpan apapun dari kita
semangkok teh juga akan tumpah ditawa yang meriah
seperti pesta lampion atau pesta natalan dan lebaran
bagi tubuh, sekujur kenangan dan doaku jadi hujan
langit itu tak hanya bintang-bintang yang ada sayang
meski kerlipannya membuatmu pernah dilahirkan
tapi langit bukan bumi, di sini tak ada campuran itu
semua akan pulang ke tempatnya sebagai titik awal
sebagaimana kekosongan dan di sini tak ada pesta.
"Bangun Zuhal, kubuka jendela, menghadap ke timur
kudoakan tiap yang menetes adalah embun di bunga itu"
Moncek, 050616
Jumat, 13 Mei 2016
TASYAKURAN SEMESTERAN FORUM BELAJAR SASTRA (FBS) SAMPAI PADA PENTAS TEATRERIKAL
(Catatan Fendi Kachonk)
Proses evaluasi FBS
Terima kasih untuk seluruh kawan yang terlibat. Sekitaran 60an
orang datang membawa bekal masing-masing, alat sholat dan terutama untuk
persiapan pesta kenaikan kelas di kelas kami. Forum Belajar Sastra (FBS) telah
melalui dinamikanya di perjalanan semester pertama. Demi mengucap sukur, berdoa
dan menyatukan semangat kembali, mengelompokan ide yang juga menggerakan kami
semua untuk belajar bersama maka kemarin, dimulai dari jam 12. 30 WIB proses
evaluasi berjalan dengan hangat, aku melihat semangat mereka masih menyala dari
tiap pasang mata, ada tawa dan senyum yang juga seperti isyarat dari rasa
memiliki ke ruang yang kami cipta sendiri, dan kami perkuat sendiri.
Dari proses evaluasi lahir beberapa ide di semester kedua, serupa
ulas sajak dari puisi-puisi kawan-kawan sendiri, dan pengulasnya juga dari
dalam sendiri alias dari kawan-kawan Forum Belajar Sastra (FBS) sebagai satu
acuan menguatkan proses belajar yang saling memberi dan menerima, melempar dan
mengumpan, tentu bukan bola, tapi gagasan, ide dan pikiran. Selang berapa puluh
ke menit, tepuk dan lagu dari lagu belajar bersama dinyanyikan dengan riang di
pinggir pantai kandangan dan setelah itu dimulailah kegiatan berdoa bersama,
bersama saling mendoakan agar kami semua tetap saling semangat, tak jenuh,
tetap bertahan meski kami tahu jalanan selalu ada tikungan, tanjakan juga
begitu dengan hidup selalu naik turunnya. Tapi, proses adalah proses dan kami
memulyakan itu.
Saya jadi teringat, awal mula, dari titik diskusi pertama yang
digagas Kampoeng Jerami mengenai konsep yang lahir, dan berkembang dari
internal lembaga dan untuk kami sebagai bentuk dari harapan dan tujuan kami.
Maka proses yang paling nyaman adalah “belajar bersama” dan kami melihat itu
mulai nyala dari mata-mata kawan-kawan semuanya. Terbukti setelah acara bakar
ikan dan makan-makan, kami ke pinggir pantai bersama, di sana ada puluhan
gorong-gorong berbanjar membuat sesak tubuh pantai, di sana, kami mengisi
gorong-gorong itu lalu tiba-tiba tempat itu jadi pentas langsung pembacaan
puisi, teatrerikal lepas, dan lagu Indonesia Raya mengaum di sana. Di sana,
kami bersama menyanyikan luka, menggambar penderitaan di pasir-pasir, menginginkan
merdeka, dari tambak yang akan merebut pantai, dari reklamasi, dari penambangan
pasirnya. Entahlah, sekelompok kawan-kawan saling jerit dibalas jeritan,
sekelompok yang lain meracau, mengecam, sekelompok yang tertawa mungkin dari
gambaran bahwa sudah banyak yang tak waras mengelola aset alam.
Di Panggung Dunia
Awalnya, ya awalnya, memang dari ide kecil, tapi tubuh-tubuh kami
menjawabnya sebagai respon kepedulian, tiba-tiba dari perahu nelayan yang
sedang dikayuh oleh sekelompok yang lain di tengah hantaman gelombang, badai
yang seolah negeri ini sendiri, atau sebagai tubuh kami sendiri. Dari bibir
pantai itu, ya dari bibir yang lain kami mendengar respon jiwa yang lain,
suaranya minor, seperti suara perempuan. Awalnya kami tak percaya itu suara
perempuan, tiba-tiba seluruh pandangan fokus pada suara tangisan itu, lalu ada
kata-kata yang muncul lepas dari bibir yang awalnya tak kami percayai sebuah
respon dari kelompok perempuan. Ketak percayaan kami musnah sudah, dan kami
baru sadar, bahwa kata siapa perempuan madura takut melawan dan takut bersuara
lantang, kata siapa di tubu kesenian kami tak ada suara dan tak ada perwakilan
perempuan. Ya, ini satu prestasi, meskipun kami selalu gagap mengatakan sebuah
prestasi bagi kami yang masih bayi dalam proses ini.
Kelompok perempuan itu terus bersuara, terus melepas dirinya,
menampar ruang-ruang, membuat bibir pantai juga bergetar. Sedang posisi
kelompok perempuan duduk seolah mereka memang selalu akan begitu, tapi kelompok
itu mengambil pasir, meremasnya, dan tangannya mengepal nyari meninju udara di
ruang hampa. Aku sendiri dalam kekacauan dibawa bimbang oleh suasana, lalu
kebimbangan itu membawa ingatanku pada beberapa tahun yang lalu. Ya, aku
sendiri pernah melihat perempuan-perempuan berteriak melawan, berdemo agar
pengeborang Migas Tanjung digagalkan. Mereka perempuan yang selama ini dibilang
tak hadir dalam konteks kebudayaan dan sekarang atau hanya mata buta yang tak
melihat itu. Sekarang bathinku, mereka bermunculan sebagai srikandi kesenian yang
mengakar dibumi dan tak tercerabut dari akar masalah yang sesungguhnya.
Aku sangat kaget, dari mulut perempuan itu keluar kata-kata ini “
jangan jadikan agama sebagai alat untuk memanipulasi keadaan kami, jangan
gunakan agama sebagai alat merampas tanah kami, tanah kami adalah awal dan
akhir bagi kami, jangan jadikan agama, jangan jadikan agama.” Suara itu keras,
lalu berganti sedu sedan.
Sedang dari kelompok lain, tepatnya dari laut, sekelompok kawan
yang lain pulang ke pantai, entah ini gambaran hidup, nelayan atau hidup nyata
kami sendiri. Mereka membacakan puisi sambil menggerakan tubuh bersamaan dengan
ombak, seperti sekelompok yang membawa letihnya dari seberang atau dari negeri
entah ke negeri entah yang lain. Suara-suara yang susul menyusul, tiba-tiba
terdengar bunyi seruling menyanyat telinga, tiba-tiba ada lagu yang terdengar:
mereka dirampasnya haknya, tergusur dan lapar, lalu puisi-puisi muncul sebagai
gelombang, dari negeri yang sama ke negeri yang beda hanya tetap saja di sini
selalu saja ada luka. Di laut kami kesepian, pulang ke pantai kekasihku hilang,
pantaiku tak perawan lalu negeri ke negeri kenyaatan yang mana lagi kami akan
pulang? Suara itu, ah iya, suara itu lepas dari dalam jiwanya. Entah, apa masih
ada yang mangatakan kalau ini racauan semata. Apa jiwa mereka tak yakin kalau
jiwa tempat bermukimnya segala kepekaan di dunia.
Pentas Teaterikal
Berlalunya pementasan dengan panggung laut itupun selesai, sekarang
dan ke depan, mungkin hanya itu yang akan kami kenang nanti. Saat kami siap
jadi lilin dan lentera lalu menabur pijar-pijar ke tempat yang lain. Tapi proses
ini memang selalu jadi bagian yang menggembirakan. Sampai malam pun datang,
yang menetap dan bermalam sekitar 20 orang. Memang, acara bermalam itu bagi
kawan yang punya kehendak dan bebas dari tugas lainnya. Malam pun kami isi
dengan belajar menulis puisi langsung, aku pribadi sangat bahagia dari awal
sampai akhirnya kami pulang pagi. Meski semalam, sekitar jam 12 Malam, hujan
tiba-tiba berbondong menuliskan puisi pada tubuh kami. Tak alang kami jadi laut
sendiri, dingin, gigil sampai ke tulang-tulang, tapi entah tahu-tahu kami
tertawa terbahak-bahak dan masih merasa gembira. Sampai pagi, setelah matahari
terbit, setelah berjalan di pinggir pantai. Kami pun ber sayonara lalu memilih
pulang dan jalan ke rumah masing-masing, mungkin nanti juga akan jadi pribadi
yang masing-masing.
Jumat, 04 Maret 2016
MENUJU WORKSHOP MENULIS PUISI/KELAS PUISI ALA FORUM BELAJAR SASTRA FBS
Saya, ingin mencatat ini sebagai sesuatu yang
penting dalam perjalanan proses Forum Belajar Sastra yang tadi, Jumat, 04032016
sebagai pertemuan ke enam. Sedang untuk pertemuan yang kemarin saya tak punya
sempat untuk menuliskan sesuatu. Maka saya ingin mencoba menuliskan dua
pertemuan dalam satu catatan ini.
Jam, 6.30 WIB, sendirian saja saya bernyanyi kecil
ke arah timur, ke tempat biasanya, Pujuk Pongkeng di Desa Aeng Baja Raja,
sebagai tempat kami berdiskusi, baca puisi, bahkan sekadar bersama sebagai mula
dari aktifitas rutin kami. Sebelumnya saya sempat menelpon Ramsi meski saya
sengaja tak menanyakan apa dia akan berangkat bersamaku, atau berangkat sendiria.
Karena tumben saya ingin lebih dulu sampai ke Pongkeng, saya ingin merasai
sendiri di sana, merasakan desir anginnya yang dingin, ingin memandang
pemandangan yang bisa terjangkau, seperti laut di selatan, dan dereta
rumah-rumah yang seperti titik kecil di bagian utara.
Sampai di Pongkeng saya tak melirik jam sudah pukul
berapa. Seperti biasanya saya akan berdiri mematung di depan Asta. Sebuah makam
penggerak bahkan mungkin pahlawan yang sudah pasti beliau adalah pejuang walau
entah saya tak begitu paham silsilah dan ceritanya. Memang sedikit aneh, sebab
makam ini hanya ada satu keluar dari kelaziman yang ada. Biasanya minimal
sekali akan ada makam-makam yang lain seperti biasanya makam-makam di Asta
Tinggi, Asta Moncek. Tapi, yang ini tidak. Kemana yang lain? Semisal anak dan
keluarga serta kerabatnya? Tiba-tiba saya merasakan sedikit energi, ah ini
bukan perkara mistik atau metos, sebab itu semua lahir dari pertanyaan kecil
yang dijabar-jabarkan sendiri oleh saya. Misal, betapa hebat kalau dalam berjuang,
atau jalan sunyi dalam sebuah ide dan gagasan bertahan meski hanya sendiri.
Saya lalu menariknya kepada saya sendiri. Lebih semangat, karena saya tak
sendiri.
Sehabis mematung saja, dan melihat-lihat sekeliling
dari makam itu meski hanya dengan gerakan mata, saya berpindah tempat ke aula,
sendirian saja, saja memejamkan mata, saya membiarkan energi yang bersih oleh
segarnya udara pagi tadi membuat saya merasa nyaman. Oh iya padahal ketika saya
sampai ada dua anak muda, duduk di aula itu, Cuma ketika saya memilih diam dan
tak sekadar saja menyapa mereka memilih meninggalkan aula tersebut. Bathinku
anak-anak ini pasti kawan baru yang mau gabung dengan diskusi sastra.
Setelah cukup merasai hening. Saya, melihat HP
saya, kutemukan di sana ada inbok Yuli Nugrahani Kawan jaringan Kampoeng Jerami
yang baru saja membalas pesan saya tadi malam. Saya biasa memanggilnya kakak,
pagi katanya, saya lalu ngobrol sejenak di inbok, meski tak panjang seperti
biasa ia akan sibuk dengan aktifitasnya dan memang saya sudah ada teman yaitu
Juru Kuncinya tempat ini. Juru Kunci saya tawarin rokok saya dan kami saling
merayakan dingin berdua. “ajaklah kawan-kawanmu anak muda, saya suka kalau
tempat ini tak hanya jadi tempat gitar-gitaran saja, tempat pacar-pacaran” di
hening yang kesekian waktu kami sedang sibuk dengan alam pikiran
sendiri-sendiri. Saya, hanya tersenyum, dan beliau memang menyuport kegiatan
kami. Meski kami terus mencoba mempertahankan kepercayaan itu semisal: habis
diskusi kami biasa membersihkan tempat kami ngobrol bersama-sama.
Di Group BBM, saya sempat membaca beberapa kata
ijin dari beberapa kawan-kawan FBS, “ maaf kak, sekarang kami sedang UAM, atau
semodel ini, Maaf kak, Saya sedang mengawasi UAM”
Ada rasa ragu, ada rasa cemas, tapi kata temanku
yang selalu kuingat pesannya, “cemas tak akan mengubah apapun, lalu
mengalirlah, terimalah apa yang sudah ada.” Tarikan napaspun pelan-pelan
kulepas.
Tapi, di luar dugaan semuanya tak terjadi,
kecemasan itu hanya semata-mata kecemasan, pean-pelan dengan jumlah kawan yang
datang, sekitaran 10 orang saya membuka diskusi dengan beberapa hal obrolan
yang fokus tapi santai. Dan, ternyata benar-benar memuaskan hasilnya, sampai
jumlah yang hadir 35 orang, meski untuk peserta perempuan yang biasanya lebih
banyak hanya sekitaran 6 orang yang datang. Tak mengapa, ini proses naik dan
turunnya, di samping UAM dll hal.
Sebagaimana, pada pertemuan sebelumnya, yang kata
saya tak ada sempat untuk saya tuliskan, semangat mereka belajar terlihat dari
matanya, dari keguyuban ketika tertawa dan ketika sharing soal dunia tulis
menulis yang sama-sama ingin kami mulai dengan cara belajar bersama. Pada,
pertemuan kali ini, ada proses pelaporan KAS FBS yang sudah mencapai 14.500
rupiah dan sudah punya tabungan resmi dari BMT. Kamipun tertawa karena kita
cara menghitungnya adalah 14 juta 500 ribu rupiah. Mengalir sampai pada
pembahasan, kapan work shop kepenulisan dimulai. Lalu, satu-satu mengeluarkan
pendapat dengan melakukan pemetaan awal, lebih dulu mana, kelas cerpen atau
kelas puisi dan ternyata memang secara demokratis banyak memilih kelas puisi
dulu. Diskusipun egitu cepat dengan seperti yang saya akan tuliskan di bawah
ini:
1. Workshop menulis puisi/
kelas puisi akan dilaksanakan pada tanggal, 18-19 Maret 2016 bertempat di
Sanggar Bunyamin Gilang dengan ketentuan ijin dari pihak pengasuh. Dan pada
catatan ini ternyata saya sudah dapat kabar kalau Pengasuh lembaganya telah
memberikan ijin kepada FBS.
2. Peserta adalah anggota FBS
dan beberapa lembaga yang sengaja akan FBS mintai delegasinya minimal 2-3 orang
peserta.
3. Pendanaansementara ini karena Kas sampai pertemuan ini selesai baru berjumlah sekitar
40, 000,- maka peserta secara mandiri melepaskan pendanaan, dengan cara setiap
peserta membawa makan siang-siang sendiri, alias bekal sendiri =-sendiri dan
akan dilaksankan makan bersama sesuai bekal masing-masing (ini akan jadi
tradisi menarik bila kami bisa pertahankan. hehe)
4. Cetak Banner dan
transportasi Pembicara sementara ini akan ditanggung oleh Kampoeng Jerami
sebagai pendiri dan penggagas Forum Belajar Sastra.
5. Pembicara Hari Sabtu,
tanggal 19-03-2016 dari jam 8. 00 WIB-selesai (sehari) akan menghadirkan
pembicara, K. Muhamad Zammiel Muttaqien Pengasuh Bengkel Puisi Guluk-guluk.
(petugas komunikasi ke Pembicara, Fendi Kachonk)
Sungguh, inilah kebahagian saya pada hari ini, di
samping kegembiraan yang Yuli Nugrahani sampaikan secara singkat, “ Fendi,
catat semua proses forum belajar sastra itu, nanti takutnya kita kehilangan
masa untuk menuliskan sejarah versi kita, Kampoeng Jerami, dan seluruh
kawan-kawan FBS, itu penting, penting dan mohon doanya sehabis sholat Jum’at
saya pembukaan warung kami, WARUNG BAKSO DAN AYAM MIE DENMAS,” katanya.
Saya mengucapkan selamat ke kak Yuli Nugrahani dan
dapat inbok dari Umirah Ramata, “Say welcome to the world untuk ponakanmu ini”
foto anak yang baru lahir, perempuan telah lahir dari rahim Umirah Ramata, saya
girang, Umirah Ramata adalah adik dan perempuan hebat yang selama ini membantu
Kampoeng Jerami dalam proses pengarsipan, lay out dan mengurus ISBN. Selamat
untuk kami semua, Forum Belajar Sastra dengan persiapan Workshopnya, Yuli
Nugrahani dengan warung barunya, Umirah dengan anak perempuannya. Terima kasih
ya Allah, terima kasih. Dan, pertemuan
kami ini ditutup dengan baca puisi, monolog, senyuman dan tawa, semoga semangat
ini selalu menyala. Amin.
Senin, 22 Februari 2016
“Ketika Sekumpulan Puisi Bercerita"
Beragam cara pandang, penilaian dan pengungkapan terhadap
bangunan puisi telah banyak kita temukan saat ini. Secara umum, bangunan puisi
dinilai secara hermeneutik atau dari sudut pandang pembaca dalam menangkap
makna dan imajinasi yang mereka tangkap dari baris, bait dan seluruh tubuh
bangunan puisi yang ditulis penyair. Secara khusus, bangunan puisi lebih jauh
dikaji dan telaah dengan stilistika oleh sebagian kalangan akademisi dan
penggiat sastra. Pandangan penilaian stilistika jauh mempertimbangkan struktur
puisi yang meliputi diksi, majas, pemilihan kata, citraan, pola rima, tema,
tipografi, dan bahkan ada istilah “mantra” dalam bangunan puisi. Namun dalam
kajian ini saya lebih umum mengungkap dari sudut pandang penafsiran teks yang
saya tangkap dan cerna dari penghayatan terhadap satu-persatu bangunan puisi
dalam antologi “Tanah Silam” karya Fendi Kachonk. Saya mencoba menafsirkan dan
menguraikan pandangan saya terhadap sekumpulan bangunan puisi yang cukup
menyita waktu saya untuk menimbang dari sudut dan subjek mana saya harus
berikan pendapat dan penilaian saya.
Puisi adalah jembatan penyampaian komunikasi pikiran dan
perasaan dari penyair kepada pembaca. Bagi saya, puisi bukan saja bermain dalam
kata-kata, namun juga harus mampu masuk dalam pikiran dan perasaan pembaca.
Puisi ibarat wadah kegelisahan dan imajinasi penyair yang disampaikannya dengan
susunan kata-kata yang tepat, sehingga bukan saja menampilkan keindahan rima,
nada dan padanan frasa yang kuat. Namun juga mampu menghipnotis pembaca dalam dimensi
yang berbeda dan tidak biasa. Beberapa karya puisi Fendi Kachonk seperti
“Perempuan Kecil”, “Disebutlah Kenangan Itu”, “Sabda Musim” dan “”Nong Pegga”
merupakan sebagian dari bangunan puisi yang saya nilai mampu menyita imajinasi
saya. Susunan bait-bait bangunan puisi tersebut seolah memberi ruang untuk saya
masuki dan ikuti arah perginya. Menurut saya, Fendi Kachonk telah berhasil
meramu bangunan puisi yang terbebas dari stigma bahwa puisi adalah permainan
kata-kata yang indah saja. Fendi telah jauh melampui batasan itu, bahkan telah
mampu membawa pembaca awam sekalipun untuk masuk dalam ruang imajinasinya.
Bangunan fisik puisi tak lepas dari penggunaan diksi sebagai
alat atau ornamen yang memperkuat gaya bahasa dan pengimajinasian puisi. Pada
beberapa bagian bangunan puisi dalam antalogi “Tanah Silam” saya banyak temukan
beragam bentuk diksi, baik diksi konotatif, diksi imajinatif dan diksi konkret.
Saya tidak dapat menyebutkan contohnya satu-persatu, namun secara keseluruhan
kumpulan puisi milik Fendi Kachonk telah memenuhi syarat dari sudut penggunaan
dan penempatan diksi-diksi yang tepat pada baris, bait maupun frasa dalam
bangunan puisi. Hal ini tidak sederhana, karena tidak semua penyair mampu
menyusun dan menempatkan diksi-diksi yang khas serta sesuai kebutuhan dari
tubuh bangunan puisi, bahkan seorang penyair matang pun sangat butuh kepekaan
dan kejelian untuk mampu menempatkan diksi-diksi pilihan dalam
bangunan-bangunan puisi yang tentunya dibanguan dengan beragam tema dan tujuan.
Fendi Kachonk secara sistematik berhasil menghubungkan kata-kata yang tepat
untuk digunakan sebagi media penyampaian makna serta gambaran imajinasi yang
ingin ia sampaikan pada awam (pembaca).
Puisi sebagai dongeng penyair tentang dunianya, bahkan puisi
dianggap simbol pandangan penyair terhadap dirinya sendiri dan lingkungan
tempat ia berada. Puisi dapat bicara tentang keadaan dan waktu, bahkan
bercerita banyak tentang realita kehidupan nyata. Beberapa puisi karya Fendi seperti “Sepasang Dadali”, “Kosong”, “Suatu Siang”, “Layang-Layang Kertas” dan
“Senja” adalah sebagian dari beberapa bangunan puisi yang bicara secara
kontekstual menggambarkan suasana dan sesuatu yang direnungi oleh Fendi Kachonk.
Puisi-puisi tersebut ibarat rekaman jejak tentang apa yang ditangkap dan dibaca
oleh Fendi Kachonk dalam realita yang ia simpan dalam ingatan lalu kemudian ia
tumpahkan dalam bentuk sebuah karya, yang bukan hanya bercerita namun juga
mampu ikut mengajak pembaca ikut merasakan suasana yang ia tangkap dari
kenangan itu. Ada komunikasi yang segar dan efektif serta estetis (bertujuan)
yang disampaikan oleh Fendi Kachonk dalam hampir seluruh bangunan puisi
karyanya. Sebagian diantaranya bahkan dapat dimainkan dengan fungsi bunyi,
grafologi dan visual apabila dibaca dengan penghayatan yang tepat.
Pada sudut pandang lebih dalam saya mengaitkan puisi-puisi karya
Fendi Kachonk dalam wilayah sosiolingustik, pragmatik, budaya, hingga batin
puisi. Dalam keberagaman bangunan puisi yang saya baca, ada sebagian bangunan
puisi karya Fendi Kachonk yang lebih luas bertujuan menyampaikan pesan sosial secara
figuratif yang ikut menyertakan keindahan ritme atau rima, pada bagian lain ada
juga bangunan puisi yang mengungkapkan pengalaman indrawi dari penyair
(penglihatan, pendengaran, dll), serta ada juga bangunan puisi yang disampaikan
dengan cara khas memadukan keindahan kata-kata dan gambaran imajinatif. Beragam
pandangan dengan berbagai sudut padang dapat saya ungkap dari setiap bangunan
puisi karya Fendi Kachonk, namun hal yang paling kuat saya tangkap dari antologi
kumpulan puisi milik Fendi Kachonk adalah gaya bahasa khas yang ia sampaikan
lewat karya-karya puisinya, karena setiap penyair sudah seharusnya memiliki
ciri khas yang sedikit berbeda dengan penyair lainnya. Seperti gaya bahasa cara
memadukan kata-kata secara imajinatif, dan bagaimana ia memainkan unsur pembangunan
puisi (diksi, majas, rima, dll) sebagai alat bantu dalam penyampain pikiran dan
rasa pada awam (pembaca).
Sebagai penutup, saya simpulkan bahwa antologi kumpulan puisi “Tanah
Silam” karya Fendi Kachonk memiliki ciri khas tersendiri dari beragam antalogi
puisi yang saya baca sebelumnya. Ada pembeda yang Fendi Kachonk bangun untuk
membedakan karyanya dengan penyair lainnya. Ia dengan perenungan panjang telah
membangun puisi-puisi yang tidak berjarak dengan pembaca, sehingga puisi-puisi
karyanya lebih luas dapat dicerna oleh pembaca awam. Hal ini penting karena
sebuah puisi adalah media komunikasi penyampaian pikiran dan rasa lewat bahasa
yang bukan saja indah, namun khas, imajinatif dan mudah dipahami pembaca. Ciri
khas penggunaan diksi-diksi sederhana namun mampu diramu dalam susunan tepat
adalah bagian yang sangat lekat dalam puisi-puisi karya Fendi Kachonk.
SENJA
Senja selalu menghadang langkahnya. Bau tanah,
hujan yang singgah, aroma masakan dari dapur. Ibunya
memasak air mata pada kuali dan tumpah keringat
di ujung-ujung ruang meresap sampai ke semua sisi jiwanya.
Senja masih menghadang bayangannya saat malam
kembali datang dengan jubah hitam putih membawa kain
kafan kenangan. Tentang berapa janji, tentang berapa coretan
yang ditulis di dinding kamar, di bawah foto perempuan
yang digantung di paku karatan.
Senja belum juga berdamai memberi kebahagiaan
pada tiap pijak kakinya. Ada nanah dari ujung jari-jari menyusuri
sungai-sungai sampai mata ikan menangkap bau masakan
dan ia tak sadar. Kalau ia telah jauh merenungi waktu.
Tentang hari dan masa depan yang ia akan tuliskan nanti,
menjadi puisi paling sunyi.
Moncek, 271114
SEPASANG DADALI
Kita menjelma sepasang itu
menunggu kabar tentang kita
berdua dililit ketakutan
entah kapan ada jumpa?
sekali waktu aku berkunjung
pada pantai dan pada cemara udang
Hanya musim bercanda denganku
dirimu, berkata lain soal berita
soal hari yang leleh di lutut
seperti lilin kau diam
membiarkan dirimu mengecil
jadi tiga potong haiku di pasir.
Padahal aku masih menyimpan
ritualmu yang menghadap timur
menunggu bintang kartika muncul
mengecup daun flamboyan
lalu menuliskan prosa hujan.
Kau menolak gelombang
tapi kau hianati semi tadi pagi
di sini, aku bertanya pada buih
melempar pandangan pada laut
dan menceburkan luka pada garam.
Moncek, 190615
SENJA
Senja selalu menghadang langkahnya. Bau tanah,
hujan yang singgah, aroma masakan dari dapur. Ibunya
memasak air mata pada kuali dan tumpah keringat
di ujung-ujung ruang meresap sampai ke semua sisi jiwanya.
Senja masih menghadang bayangannya saat malam
kembali datang dengan jubah hitam putih membawa kain
kafan kenangan. Tentang berapa janji, tentang berapa coretan
yang ditulis di dinding kamar, di bawah foto perempuan
yang digantung di paku karatan.
Senja belum juga berdamai memberi kebahagiaan
pada tiap pijak kakinya. Ada nanah dari ujung jari-jari menyusuri
sungai-sungai sampai mata ikan menangkap bau masakan
dan ia tak sadar. Kalau ia telah jauh merenungi waktu.
Tentang hari dan masa depan yang ia akan tuliskan nanti,
menjadi puisi paling sunyi.
Moncek, 271114
SEPASANG DADALI
Kita menjelma sepasang itu
menunggu kabar tentang kita
berdua dililit ketakutan
entah kapan ada jumpa?
sekali waktu aku berkunjung
pada pantai dan pada cemara udang
Hanya musim bercanda denganku
dirimu, berkata lain soal berita
soal hari yang leleh di lutut
seperti lilin kau diam
membiarkan dirimu mengecil
jadi tiga potong haiku di pasir.
Padahal aku masih menyimpan
ritualmu yang menghadap timur
menunggu bintang kartika muncul
mengecup daun flamboyan
lalu menuliskan prosa hujan.
Kau menolak gelombang
tapi kau hianati semi tadi pagi
di sini, aku bertanya pada buih
melempar pandangan pada laut
dan menceburkan luka pada garam.
Moncek, 190615
: essay ulasan ini juga telah dipublikasikan di beberapa group
puisi dan blog penulis.
Minggu, 21 Februari 2016
TERSUDUT KE SUDUT YANG PALING SUDUT
Mungkin, ini yang namanya ruang kosong atau hampa, entah karena apa, atau bisa jadi karena tubuh sedang lelah, sedang pikiran terus dirajam berbagai hal. Sempat ingin mengatakan “brengsek” pada siapa? Pada apa? Pada berapa hal yang silih berganti dicuri kenangan dan dikembalikan kembali setelah saya dan organ yang lainnya tak memiliki kesiapan. Sepertinya saya harus mengentaskan semua ini, memangkas jalan pikiran, atau benar-benar pergi ketempat yang baru, ke hal-hal yang baru, membuat kenakalan-kenakalan imajinatif, membuat diskusi yang lebih segar dan tak lagi melulu bertumpu pada selembar surat kehidupan yang tak tuntas aku terjemahkan.
“Hai, Bung! Sedang apa kau sekarang? Sedang tak ada yang kau pikirkan lalu kau tersudut sendiri, memikirkan hal-hal yang tak terjangkau dan hanya pada satu ruangmu inilah kau berpikir sendiri. Sedang, sedangkan di luar sana, orang-orang menemui mimpinya, tak peduli kau tak bisa tidur, kau tak membuat matamu lena. Lihat, renungkan, semuanya memilih jalan sendiri, semuanya tak lagi peduli dengan hal-hal kecil. Sepertinya aku yang setia padamu,” kata malam yang keluar lepas dari sisi pikiranku.
“Jangan terlalu menghamba pada kata-kata, pada bujukan, dan seolah-olah keindahan, seolah-olah jamu, seolah-olah kesejukan. Tidak bung, Tidak! Tidak sama sekali, berapa kali kau terkecoh dengan semata wadah, berapa kali kau terluka hanya pada kata-kata, gerak-gerik, nama-nama, tanda-tanda dan alamat-alamat. Di sini, sudah hampir dini, tak ada suara selain aku, meski aku juga akan mengecoh segala kegembiraanmu jadi kesenyapan dan kuberikan kau hidangan yang bernama rindu pada bentuk, pada simbol-simbol, pada kenangan, sedang kau tak sadar, hanya kau yang tersiksa, dan hanya kau yang membutuhkannya semata.”
Malam terus mengoceh dan benar sekali ia semakin mengecohku, ia mematahkan kebodohan-kebodohan, ia mengingatkan daun-daun, mengingatkan lembar-lembar buku dan jemariku semakin lelah. Saya sudah benar-benar lelah, dan lelah ini akan membuat saya jadi orang asing kepada diri sendiri, lalu rupanya ia butuh melupakan sesuatu, sesuatu itu mungkin dalam bentuk simbol-simbol, bentuk-bentuk, kalimat-kalimat, perkata-kataan, Lalu: Diam
x
SKETSA YANG GAGAL
Daun-daun di halaman rumah, tak lagi bergerak
Derik rimbun pohon berburu
telinga ruang-ruang
Seperti kenangan yang memanggang
kecemasan
Dalam risau angin, pelan mendekap
kesunyian.
Pintu
kamar, lubang jendela dan sketsa wajah
Di kertas,
pulpen tergeletak, garis-garis kecil
Di balutan kafan, lekuk wajah dan kenangan.
Tempat muara hening meminjam irama dawai
Menerjemahkan nada-nada dalam gelas suara
Rindu mengajak kembali menoleh ke belakang
Merasakan ayunan air mengalir dari jiwanya.
Di wajah yang tak rampung di ujung kuasnya
Berebut tempat untuk lebih dahulu dinisankan
Tangannya kaku melihat selembar daun jatuh
Menuju senyapnya akar-akar mengerat air mata
Moncek, 220216
Langganan:
Postingan (Atom)