(Catatan Fendi Kachonk)
Proses evaluasi FBS
Terima kasih untuk seluruh kawan yang terlibat. Sekitaran 60an
orang datang membawa bekal masing-masing, alat sholat dan terutama untuk
persiapan pesta kenaikan kelas di kelas kami. Forum Belajar Sastra (FBS) telah
melalui dinamikanya di perjalanan semester pertama. Demi mengucap sukur, berdoa
dan menyatukan semangat kembali, mengelompokan ide yang juga menggerakan kami
semua untuk belajar bersama maka kemarin, dimulai dari jam 12. 30 WIB proses
evaluasi berjalan dengan hangat, aku melihat semangat mereka masih menyala dari
tiap pasang mata, ada tawa dan senyum yang juga seperti isyarat dari rasa
memiliki ke ruang yang kami cipta sendiri, dan kami perkuat sendiri.
Dari proses evaluasi lahir beberapa ide di semester kedua, serupa
ulas sajak dari puisi-puisi kawan-kawan sendiri, dan pengulasnya juga dari
dalam sendiri alias dari kawan-kawan Forum Belajar Sastra (FBS) sebagai satu
acuan menguatkan proses belajar yang saling memberi dan menerima, melempar dan
mengumpan, tentu bukan bola, tapi gagasan, ide dan pikiran. Selang berapa puluh
ke menit, tepuk dan lagu dari lagu belajar bersama dinyanyikan dengan riang di
pinggir pantai kandangan dan setelah itu dimulailah kegiatan berdoa bersama,
bersama saling mendoakan agar kami semua tetap saling semangat, tak jenuh,
tetap bertahan meski kami tahu jalanan selalu ada tikungan, tanjakan juga
begitu dengan hidup selalu naik turunnya. Tapi, proses adalah proses dan kami
memulyakan itu.
Saya jadi teringat, awal mula, dari titik diskusi pertama yang
digagas Kampoeng Jerami mengenai konsep yang lahir, dan berkembang dari
internal lembaga dan untuk kami sebagai bentuk dari harapan dan tujuan kami.
Maka proses yang paling nyaman adalah “belajar bersama” dan kami melihat itu
mulai nyala dari mata-mata kawan-kawan semuanya. Terbukti setelah acara bakar
ikan dan makan-makan, kami ke pinggir pantai bersama, di sana ada puluhan
gorong-gorong berbanjar membuat sesak tubuh pantai, di sana, kami mengisi
gorong-gorong itu lalu tiba-tiba tempat itu jadi pentas langsung pembacaan
puisi, teatrerikal lepas, dan lagu Indonesia Raya mengaum di sana. Di sana,
kami bersama menyanyikan luka, menggambar penderitaan di pasir-pasir, menginginkan
merdeka, dari tambak yang akan merebut pantai, dari reklamasi, dari penambangan
pasirnya. Entahlah, sekelompok kawan-kawan saling jerit dibalas jeritan,
sekelompok yang lain meracau, mengecam, sekelompok yang tertawa mungkin dari
gambaran bahwa sudah banyak yang tak waras mengelola aset alam.
Di Panggung Dunia
Awalnya, ya awalnya, memang dari ide kecil, tapi tubuh-tubuh kami
menjawabnya sebagai respon kepedulian, tiba-tiba dari perahu nelayan yang
sedang dikayuh oleh sekelompok yang lain di tengah hantaman gelombang, badai
yang seolah negeri ini sendiri, atau sebagai tubuh kami sendiri. Dari bibir
pantai itu, ya dari bibir yang lain kami mendengar respon jiwa yang lain,
suaranya minor, seperti suara perempuan. Awalnya kami tak percaya itu suara
perempuan, tiba-tiba seluruh pandangan fokus pada suara tangisan itu, lalu ada
kata-kata yang muncul lepas dari bibir yang awalnya tak kami percayai sebuah
respon dari kelompok perempuan. Ketak percayaan kami musnah sudah, dan kami
baru sadar, bahwa kata siapa perempuan madura takut melawan dan takut bersuara
lantang, kata siapa di tubu kesenian kami tak ada suara dan tak ada perwakilan
perempuan. Ya, ini satu prestasi, meskipun kami selalu gagap mengatakan sebuah
prestasi bagi kami yang masih bayi dalam proses ini.
Kelompok perempuan itu terus bersuara, terus melepas dirinya,
menampar ruang-ruang, membuat bibir pantai juga bergetar. Sedang posisi
kelompok perempuan duduk seolah mereka memang selalu akan begitu, tapi kelompok
itu mengambil pasir, meremasnya, dan tangannya mengepal nyari meninju udara di
ruang hampa. Aku sendiri dalam kekacauan dibawa bimbang oleh suasana, lalu
kebimbangan itu membawa ingatanku pada beberapa tahun yang lalu. Ya, aku
sendiri pernah melihat perempuan-perempuan berteriak melawan, berdemo agar
pengeborang Migas Tanjung digagalkan. Mereka perempuan yang selama ini dibilang
tak hadir dalam konteks kebudayaan dan sekarang atau hanya mata buta yang tak
melihat itu. Sekarang bathinku, mereka bermunculan sebagai srikandi kesenian yang
mengakar dibumi dan tak tercerabut dari akar masalah yang sesungguhnya.
Aku sangat kaget, dari mulut perempuan itu keluar kata-kata ini “
jangan jadikan agama sebagai alat untuk memanipulasi keadaan kami, jangan
gunakan agama sebagai alat merampas tanah kami, tanah kami adalah awal dan
akhir bagi kami, jangan jadikan agama, jangan jadikan agama.” Suara itu keras,
lalu berganti sedu sedan.
Sedang dari kelompok lain, tepatnya dari laut, sekelompok kawan
yang lain pulang ke pantai, entah ini gambaran hidup, nelayan atau hidup nyata
kami sendiri. Mereka membacakan puisi sambil menggerakan tubuh bersamaan dengan
ombak, seperti sekelompok yang membawa letihnya dari seberang atau dari negeri
entah ke negeri entah yang lain. Suara-suara yang susul menyusul, tiba-tiba
terdengar bunyi seruling menyanyat telinga, tiba-tiba ada lagu yang terdengar:
mereka dirampasnya haknya, tergusur dan lapar, lalu puisi-puisi muncul sebagai
gelombang, dari negeri yang sama ke negeri yang beda hanya tetap saja di sini
selalu saja ada luka. Di laut kami kesepian, pulang ke pantai kekasihku hilang,
pantaiku tak perawan lalu negeri ke negeri kenyaatan yang mana lagi kami akan
pulang? Suara itu, ah iya, suara itu lepas dari dalam jiwanya. Entah, apa masih
ada yang mangatakan kalau ini racauan semata. Apa jiwa mereka tak yakin kalau
jiwa tempat bermukimnya segala kepekaan di dunia.
Pentas Teaterikal
Berlalunya pementasan dengan panggung laut itupun selesai, sekarang
dan ke depan, mungkin hanya itu yang akan kami kenang nanti. Saat kami siap
jadi lilin dan lentera lalu menabur pijar-pijar ke tempat yang lain. Tapi proses
ini memang selalu jadi bagian yang menggembirakan. Sampai malam pun datang,
yang menetap dan bermalam sekitar 20 orang. Memang, acara bermalam itu bagi
kawan yang punya kehendak dan bebas dari tugas lainnya. Malam pun kami isi
dengan belajar menulis puisi langsung, aku pribadi sangat bahagia dari awal
sampai akhirnya kami pulang pagi. Meski semalam, sekitar jam 12 Malam, hujan
tiba-tiba berbondong menuliskan puisi pada tubuh kami. Tak alang kami jadi laut
sendiri, dingin, gigil sampai ke tulang-tulang, tapi entah tahu-tahu kami
tertawa terbahak-bahak dan masih merasa gembira. Sampai pagi, setelah matahari
terbit, setelah berjalan di pinggir pantai. Kami pun ber sayonara lalu memilih
pulang dan jalan ke rumah masing-masing, mungkin nanti juga akan jadi pribadi
yang masing-masing.