Jumat, 01 Mei 2015

SEPASANG MERPATI



1
Sepasang merpati hinggap di jendela
membawa setangkai melati, di suatu pagi
ada obrolan hujan di jendela kaca
di kelambu ada bekas telapak tangan

Sentuhan angin, kicauan merdu juga canda
burung-burung membawanya makin jauh
ke bulan yang lain, lalu dibawa kembali
kesini, "hatimu dan hatiku memilih diam"

Bekas embun, di suatu hari, harinya biasa
yang berjalan sejauh dua selat, awan dan kabut
dibentang zaman, sayap lain dari waktu
kita terbang mengitari taman pemandian

"Selalu ada kesempatan di setiap keadaan"
berulang-ulang kau menyanyikan itu
setiap pagi, sebelum matahari benar-benar bangun
dan sebelum pelukan mengusir rinai hujan, semalam

2.
Aku pikir, aku akan mabuk oleh setiap suaramu
misalkan suatu saat kita memilih berhenti
aku akan meminta menjadi senja yang suwung
sampai fajar mengintip di bulu alismu

Di lentik sepasang tangan yang selalu merdeka
celah lain kudekap tubuhmu, lebih hangat, 
lebih merekat seluruh aku di tubuhmu, 
tak pernah kulepas-lepas, kuikat tanpa kalimat terpisah-pisah

Oh matamu, bulan yang pernah aku tidurkan
dari sebelum Januari dan di sesudah Desember
kau mengisi semangkok tuak kasmaran
pada perputaran semi, hari juga bulan
tahun yang berekor melilit di tubuh kita

Secara sadar, "aku mencintai setiapmu"
bila ada sejengkal batas, kukecilkan se depa lagi
dan kutiadakan jarak yang mengangkang
maka tak ayal padang ilalang jadi hijau
ketika hari masih termangu-mangu

3.
Bagi sepasang merpati, kebahagiannya ketika terbang
berdua, melihat angkasa, sesekali menebar benih
dan meninggalkan kota-kota yang penuh dengan asap
saling mengingatkan, deru angin, guncangan badai

Setibanya di jendela itu, bulan pasti dipandang
dikenang kembali, menjumlah perjumpaan
lalu tersenyum membuat agenda mendatang
seperti menyusun peta dalam perjalanan

Di mana hujan kala itu? Dalam perjalanan pulang
sayap yang basah, kecupan yang tertinggal di ranjang
sebelum malam bergelantungan di beranda
lilin yang redup, pelukan tangan kini disatukan

Di dalam kedinginan, ada kata yang dipelajari
hutan-hutan diterjamahkan, kompas disediakan
sepanjang bulan, kita mengatur pertemuan-pertemuan
semua tempat indah, semua jenis yang lain sempurna

4.
Aku pernah bertanya, dengan sedikit malas
ketika waktu sedang memberikan api di gunung
saat kerikil bara lahar dari rahimnyan, soal cintamu
"sedahsyat itukah kerinduan menyimpan kenangan?"

Jawabmu singkat. "Andai kau ranting
atau pohon yang ranggas, atau pinus
yang gersang, bahkan hewan tak berkelamin
aku tak pernah berpaling, dari matamu, matahariku"

Aku diam, kulihat kembali, sepasang merpati
hinggap lalu pergi, mungkin pulang lagi
seperti desau angin, kata-kata meraba
aku pun tiba di suatu masa, entah di mana?

Aku menjumpai banyak orang menyukai perang
tanah-tanah diperebutkan, sedang kau, waktu itu
hanya tersedu, lalu berkata, "aku ingin terbang
bersamamu ke tempat hujan penuh ketenangan"

(Aku ingin menciummu seribu kali
seperti hujan tak letih menghamili bumi.)

Moncek, 290115.


PEREMPUAN KECIL


Melihat pelangi dari matamu yang bening seperti lautan dan kolam tanpa gerakan ikan-ikan memantulkan cahaya langit jingga. Sebelum senja masih menepi dari balik jaket ungumu serta dari selendang berwarna bianglala kau menuliskan nama Chiara di dada lebih dalam di nurani yang sama merasakan kehilangan.

Taman Budaya KalBar 2012

Di ladang jagung kau mendendangkan lagu hujan yang mengalir deras dari mata, dari ranting sampai akar juga sampai tungkai. Dan, tumitmu yang manis menjinjing jemari matahari. Menimangnya dengan kain gendong. Lalu menari bersama pelangi yang memancar dari auramu. Sebelum akhirnya kecupan di kening sebagai penentu.



Oh, tidak! Kau paham kalau luka sama seperti tanah yang meruap setelah hujan memandikan senyuman burung-burung yang tak jadi terbang. Karena kabut lebih dulu memahami. Meski ada yang tersisa. Sepucuk surat camar di dermaga senja. Kenangan yang diingat sebagai risalah mutiara karang yang bertahan dipercik air garam.


(Perempuaan, di balik matamu. Ada tuhan berbunga-bunga dan Chiara kecil menjadi merpati putih yang mematuk melati. Jauh, jauh, ke langit ke tujuh.)


Moncek, 161214.


SENJA


Senja selalu menghadang langkahnya. Bau tanah, hujan yang tadi singgah, aroma masakan dari dapur. Ibunya memasak air mata pada kuali dan tumpah keringat di ujung-ujung ruang meresap sampai ke jiwanya

Senja masih menghadang bayangannya saat malam kembali akan datang dengan jubah hitam putih membawa kain kafan kenangan. Tentang berapa janji, tentang berapa coretan yang ditulis di dinding kamar, di bawah foto perempuan yang digantung di paku karatan

Senja belum juga berdamai memberi kebahagiaan pada tiap pijak kakinya. Ada nanah dari ujung jari-jari menyusuri sungai-sungai sampai mata ikan menangkap bau masakan dan ia tak sadar. Kalau ia telah jauh merenungi waktu. Tentang hari dan masa depan yang ia akan tulis nanti, menjadi puisi paling sunyi.

Moncek, 271114.

GARIS EDAR


Aku matahari tak pernah tidur
mendatangimu setiap saat
tidak karena malam
atau siang hari
poros ingatanku belum mati

Kau bulan tak pernah lelap
mimpi sesaat tak parnah ada
ruas jalan kita tak pernah benturan

Hanya sesekali gerhana
hanya sesekali
ya, sekali ini saja

Tak ada hari, tak ada malam
kau dan aku
tak letih pada garis edarnya

Hanya sesekali gerhana
hanya sesekali
ya, sesekali
masing-masing.

Moncek, 21 Sept 2013


Rabu, 29 April 2015

Perempuan di Ladang Jagung

Ia tak lagi datang ke ladang jagung, di belakang danau. Dulu tempatnya menyepih segala sedih jadi benih bijian yang ia tanam. Hembusan angin serta kicau burung sangat akrab kala senja menitipkan pesan malam untuk segera merapikan mimpi yang belum pulang ke peraduan.

Anaknya, mata yang setengah sadar berbinar dari balik pohon kedondong, di mana hujan mencecap kerinduan ranting yang kini juga seperti malaikat kecil. Tumbuh menjadi sulbi pada kisah sepanjang jalan menuju hari yang begitu cepat tanpa menyisakan cerita kecuali kenangan.

„Segeralah tidur sebelum sirene itu kau dengar, nak! Akan ada gambar purnama dalam mimpi, sedang televisi akan mengajakmu lupa pada masa dan tanggal dari orang tua yang memberimu nama.“

Ia kalungkan tangan ke leher, mengeja atap kamar, kecupan kecil di kening masih membekas, dalam kekalutan detik jam yang memburu dadanya. Lubang-lubang yang serupa tebing saat malam melalui tepian kisah di ujung batas. Antara rindu dan pergi. Antara cinta dan kepiluan.

Tibalah, pada wajah di dinding yang tersenyum. Hidung yang tak mancung juga tak sebaliknya, senyum yang begitu mahal dan krah baju yang dibiarkan tak rapi. Ia mengalunkan hujan, suling lembah memantul dari tebing jiwanya. Sedang jagung di lumbung makin tipis, setahun dalam duka, sebulan penuh siksa, sehari anak-anaknya ada di atas piring menari-nari.

“Ladang jagung, kekasihku, anak-anak yang belum tahu menunjuk matahari juga masa depannya, nanti mau jadi apa?”

Moncek, 201014.

(Dimuat dalam Antologi Puisi Titik Temu, terbitan Komunitas Kampoeng Jerami, 2014)