Minggu, 13 November 2016

SURAT TERAKHIR



Aku hanya menatap punggungnya yang tak kembali menoleh padaku. Punggung yang selama ini menjadi sandaran saat letih, saat aku ingin bermanja meski sekedar saja aku hanya ingin merasakan lembut belaiannya, saat yang mungkin tak akan pernah ada. Aku kembali, benar-benar tak bisa mengajaknya kembali karena ini sudah jalan takdir di antara kita. Meskipun aku juga tak tahu mesti bagaimana ke depan, mengeringkan luka dan menghapus ciumannya saat aku sedang bermimpi menakutkan tentang satu malam yang menjadikan diriku luruh.
Kulihat, di sana ia sedang diburu-buru masa lalu, diburu sekian sedih karena tak tahu, ia selalu bilang kepadaku. “Aku ingin menemukan diriku dalam rasa galau. Dalam segala yang sampai ini belum kutemukan jawaban apapun.” Ia pun selalu berkata padaku. “Nda...bila satu hari kau ingin melupakan aku. Maka saat itulah aku akan meneruskan seluruh perjalananku sendiri.” Aku waktu tak begitu mengerti tapi aku sangat yakin. Ada rasa yang aneh yang ia rasakan kembali. Tapi ia tak mau jujur meski ketika kulihat matanya. Kucari di sana bentuk kegelisahannya, ia hanya memalingkan wajahnya dan pura-pura membersihkan kakinya yang memakai sandal jepit.
Andi, katanya saat tangannya menjabat tanganku. Aku menjawab anida. Kami lalu jadi akrab. Dan sama-sama menyukai puisi warna senja. Tak tahu dari mana awalnya, ternyata kelahiran kami hanya berpaut dua tahun, di bulan yang sama cuma beda tanggal dan itu pun beda satu angka. Kami selalu merayakan ulang tahun bersama. Dia lebih awal akan mengingatkan aku. Mengirimkan puisi lewat telpon dan menceritakan beberapa hal tentang harapan dan doanya saat ini dan sejak dulu. Seperti pula aku tak bisa membuatkannya puisi jangan kata-kata indah.
Aku hanya mampu menyimpan semua kata-kataku. Untuknya jauh lebih berharga dari pada sekedar puisi. Dia yang selalu membangunkan aku di tengah malam karena hadir dalam mimpi-mimpi. “Selamat ulang tahun yang, And!” Biasanya hanya kata itu. Dan ia mulai nakal. “Ah, kamu tak mencium aku ya?” Sambil tersenyum. Senyum yang selama ini mampu menahanku untuk selalu sabar di dekatnya. Aku menjadi tak kuasa tersenyum dan hanya berkata. “Kamu ini kayak anak muda saja yang berumur belasan tahun.” Kataku. Padahal aku juga tak tahu harus bagaimana. Bagiku aku ingin memeluknya. Melepas semua inginku tapi sekali lagi. Selalu ada saja yang menahan bibirku untuk mengucapkan, aku sayang kau And.
Andi bagiku seorang yang selalu membuatku ceria meski kutahu di balik semua itu banyak luka yang masih mengalirkan darah deras di sekujur tubuhnya. Tapi ia kadang mampu melupakan rasa sakitnya dan merawatku seperti bunga yang mesti segar setiap pagi lalu dia akan berbisik dengan pelan, kau itu bunga yang aku rapikan di jantungku yang paling dalam. Katanya sambil kurasakan deru napasnya yang tenang.
Tak terasa kini hanya kenangan. Andi telah melangkah jauh dan lenyap ditelan waktu. Aku kesepian, Tetapi aku tahu. Andi tak pernah akan sudi melihatku menangis, tak akan mau dia melihat aku terpuruk. Lalu karena itu semua. Aku tak pernah menyerah. Dan selalu aku simpan semua tentangnya, semua tentangnya yang tak akan lapuk. Tak akan sirna meski hujan terus datang. Musim dan cuaca berganti. Dan kini aku telah bekerja di sebuah sekolah sebagai guru teatre. Di sebuah sekolah di dataran gunung di salah satu di desa Sumenep. Aku menyimpan berapa agenda. Satu saat aku yakin dan mampu membuat Rendi hidup dan selalu memberikan semangat padaku. Yah. Dipertunjukan itu, naskah-naskah itu. Andi tersenyum. Hei, seolah dia memegang pundakku saat latihan pernapasan pertama kali, saat ia ajarkan aku meringankan beban dan melepaskan sesak dadaku. “Hidup ini indah,” katanya padaku. Saat itu aku kembali hidup. Kembali lahir dari semangatnya. Dari tatapan matanya yang selalu berbinar.
“Andi, kau di mana sekarang, aku rindu kau.” Kataku. Dalam dadaku memanggil Andi. Rasanya ingin sekali menarik waktu kembali. Memberikan semua yang ia maui. Semua itu seperti perhatianku, dan seperti yang Andi berikan kepadaku. Ia begitu hangat, begitu tak peduli meski apapun yang aku katakan kadang terlalu pahit ia dengar.
Lama sekali waktu ini. Aku mulai menulis cerita-cerita pendek. Puisi dan entahlah semua ungkapan itu, semua wajah Andi menghiasi lembaran-lembaran penyesalan yang ingin aku sampaikan. Selama itu juga aku tak mau menyerah. Mengirim ke seluruh media. Berharap sekali Andi masih aktif membaca koran-koran, meski ia tak mampu berlangganan koran. Tapi dulu Andi selalu memberikan koran bekas dan menunjukkan puisi dan cerpen-cerpen yang menurutnya indah.
Dari caranya memberiku gambaran, caranya ia menjelaskan dan caranya mendengarkanku itu telah membuatku tenang, telah menjadikan aku hangat. “Andi! Aku rindu kau, kau di mana sekarang?” Kembali aku menulis sebuah pengembaraan meski tak semua yang aku tulis membicarakannya. Tapi aku selalu memberikan ungkapan dan kata-kata yang aku juga berharap kalau Andi membaca tulisanku nanti ia akan mengingat aku kembali.

###########

1 Tahun, 2 Tahun, 3 Tahun. Aku telah hidup sendirian dan memilih sendirian. Memang aku telah hidup dengan jiwa yang lain, jiwa yang tak mungkin akan diisi oleh siapapun. Dan aku juga tak berharap banyak hal kepada waktu. Kepada Andi misalkan ia telah bahagia dengan siapapun di sana. Aku hanya bertahan dengan diriku. Dengan rinduku. Dengan cintaku. Dengan kekesalanku sendiri karena tak mampu mengucapkan cinta dan rindu serta rasa takut kehilangan saat Andi meninggalkan kota ini. Dan ia telah memilih pergi karena sebagian yang telah ia berikan, ia anggap sudah membuatku bisa bertahan dan dewasa serta kuat melewati waktu.
Satu hari aku pernah merasakan kehadiran Andi. Ketika aku berjalan di depan toko buku. Kulihat gerak dan kudengar renyah tawanya. “Ah Andi, kau di sini.” Kata hatiku. Aku mendekati seseorang itu dan pura-pura melewatinya dan aku menoleh dengan pelan-pelan. Sayang! Ternyata bukan Andi. Wajah Andi tak seputih orang itu. Tubuhnya juga tak sebersih Andi. Lebih dari itu Andi tak memiliki kegemaran mengurus tubuhnya. Ia dekil tapi senyumnya tetap manis. Senyum yang selalu aku lihat sebagai sesuatu yang tulus. Sama ketika dia marah dia tak akan menyimpan kemarahannya. Andi tak pandai berbohong.
Keesokan harinya. Ada hasrat aku kembali ke toko itu. Meski pemuda itu bukan Andi aku ingin melihat dan mendengarkan tawanya kembali. Tawanya persis ketika Andi mengajakku bermain di satu lembah. Mengajakku mengejar kupu-kupu dan senyum kepuasaannya saat ia memberikan kupu-kupu itu padaku sambil lalu mengerlingkan matanya dan menggenggam serta berucap, “pegang ini nda!” Lalu tangannya begitu hangat menggenggam tanganku. Aku malu memandang tatapan sayunya. Tapi jauh di dalam hatiku. Ada debaran jantung bergerak cepat. Katanya, “jangan takut, kupu-kupu ini tak akan pernah menggigitmu,” katanya padaku. Dan oh kembali dia tersenyum dan menjawil hidungku. Tunggu di situ ya nda, aku akan mencarikanmu kupu-kupu yang lain.
“Nda!...Tolong aku?” Teriak Andi dari lembah itu. Aku berlari secepat mungkin. Dan aku mencari Andi. “Andi, Kau di mana?” Tak ada jawaban dari Andi. Aku menyusuri semak-semak. Degup jantungku kian cepat. “Andi!” Panggilku. Tapi tetap saja tak ada jawaban. Ku berbalik ke arah kanan. Ku cari di sana. Oh Tuhan. Andi tergeletak di dekat batu cadas. Aku segara menghambur tubuh Andi. “Andi, Bangun!, Bangun!” Kataku. Air mataku tak tertahan. Andi tetap saja tak bergerak. Di sela kebingunganku itu aku mencium wajah Andi sambil menangis sampai terakhir kalinya aku mencium dan menggigit bibir Andi tanpa sadar hanya didasari tak ingin ada apa-apa sama Andi.
“Wooi...sakiit...ndaaa!” Andi berteriak kesakitan dan aku tanpa sadar telah menggigitnya agak keras. “Hei, kau kenapa menangis.” Tanyanya padaku. “Kau itu Andi  tadi kenapa bisa pingsan. Dan kau tak sadarkan diri.” Andi kayak linglung dan baru sadar. Akhirnya ia aku papah. Dan kenangan itu sulit aku hapus. Sulit sekali. Karena Rendi yang hangat selalu tersenyum. “Eh, kau menggigitku ya? Nanti sikat gigi ya? Takut kena virus dari tubuh jelekku ini.” Katanya meski sangat menyebalkan. Aku masih mencubit perutnya.
Panjang juga lamunanku di toko buku itu sampai tak kusangka buku yang harusnya aku baca tergeletak dan basah oleh air mataku yang selalu merindukan sosok dekil yang menyejukkan itu. Meski aku juga tak pernah sadar orang yang aku tunggu tak akan pernah datang dan kembali. “Kau di mana Andi?” Tanya batinku selalu.

##########

Tiba-tiba saat hari minggu ada pak pos mengantarkan surat entah dari siapa. Tapi aku anggap ini hal yang biasa dan aku meletakkan surat itu karena mesti menyelesaikan beberapa tugas mengajarku dan menyusun kembali serta mengedit cerpen-cerpenku yang tak selesai.
Sampai sore aku jadi ingat pada surat itu. Aku sambar dan aku buka pelan-pelan. Aku membacanya dengan tak ada rasa karena masih terasa penat otakku setelah mengerjakan tugas-tugasku.
“Hei, Anida apa kabar?” Lama sekali aku tak menyapamu. Selama itu pula aku tak paham harus mengewali suratku dari mana. Aku Rendi. Dalam surat itu aku baca dan aku begitu semangat serta terasa sekali hangatnya dadaku dan pancuan jantung yang cepat berkelebat.
“Aku telah banyak membaca cerpen-cerpenmu. Kadang aku tersenyum, terkadang aku juga sedih tapi semua itu tak penting aku sampaikan di sini. Dan asal kau tahu. Aku begitu bangga padamu. Aku begitu ingin berada di sampingmu. Melalui hari-hari yang pernah kita sebut sebagai kesedihan. Dan pada saat itulah aku juga paham. Aku mesti pergi karena aku tahu aku begitu peduli sama kau. Peduliku padamu melebihi kepada aku sendiri. Dan aku mesti malu juga. Karena aku selalu tak pernah bisa jujur. Semoga lewat mataku. Lewat semua yang kau rasakan. Kau paham. Aku begitu sayang kau. Tetapi pada kenyataan, rinduku, sayangku. Memang tak mesti ada di sampingmu selalu. Aku mesti pergi dan menyimpan sejumlah misterinya hidup sendiri. Aku mesti menghilang dan meyakinkan diriku. Bahwa tanpa aku. Kau pasti jauh lebih kuat. Aku sudah melihat itu. Kau sekarang sudah terkenal. Dan aku masih merasakan dirimu. Degup jantungmu. Semua rasa malu-malumu, keluguanmu, masihkah itu nda?”
Aku membaca surat Andi tak berasa ada di dunia. Aku merasakan getir yang tak tersampaikan seperti biasa ia selalu mampu menutupi dirinya dengan senyum. Ah, Andi!
“Nda...! Kuingin cerita sedikit setelah aku pulang dan pergi darimu dan kotamu. Karena aku telah tak punya pilihan apapun. Setiap aku akan berkunjung padamu. Aku merasakan tubuhku makin kurus. Tidurku tak tenang. Dan aku telah resmi divonis oleh dokter tinggal sekitar seminggu lagi. Tapi aku pikir kau tak usah peduli. Sebab aku hanya tersenyum dan tertawa. Nanti kalau kausempat berkunjung ke desaku. Kau boleh membuka kunci lemariku. Di sana ada berapa kado untukmu.”
“Nda...! Aku pamit. Tetapi aku akan abadi di jantungmu dan aku akan lebih dekat denganmu. Sejauh kau selalu menyebut namaku. Semua harta warisan orang tuaku telah aku alihkan kepadamu. Jadilah penulis yang mapan dan kenalilah jiwamu yang menyimpan banyak mutiara.”

Salam.

Ah, aku serasa tak mampu berdiri, dan surat ini aku hempas, aku segera berangkat ke desa Andi dengan segala harapan masih bisa menemani hari-hari terakhirnya. Aku akan ucapkan rasa cintaku, rinduku yang selama ini aku tahan, aku pendam.
Sesampai di Desa Andi di Madura. Aku sudah tak melihat apa-apa lagi. Rumahnya kosong dan hanya paman dan bibinya yang menyilahkan masuk dan memberiku sebuah kunci dan ternyata betapa sakitnya hatiku. Surat itu sengaja diantar terlambat ke kantor pos oleh pamannya atas permintaan Andi sendiri dan ini sudah hari ketujuhnya. Rendi telah tiada nak!. Kata bibinya dan aku memeluk perempuan itu. Lalu tanganku dituntunnya kekamar Andi dan kamar itu penuh dengan lukisan-lukisan wajahku. Kupu-kupu dan oh Ndi. Kau kejam sekali. Di lemari itu kau tulis surat-surat kepadaku dan aku membaca catatan harianmu. Puisi-puisimu. Ah. Aku tak kuat. Aku tak mampu dan semuanya kau hadapi sendirian.

(Cerpen ini belum sepenuhnya saya edit, dia akan jadi bahan novelku)


Selasa, 08 November 2016

DUA BAYANGAN



“Apa kau ingin membelah tubuhmu, dan tubuh kita akan jadi puing-puing?” Saat kau tak sadar, bahwa dalam kemarahanmu ada rindu yang terus subur, tapi kau khianati terus-terus, tanpa henti-henti, kau menolak setiap cahaya, setiap sesuatu yang indah yang muncul dari setiap pori-porimu, kau juga menolak kesadaranmu, membenci dirimu sendiri, lalu melemparkan bara pada bayanganmu yang lain. Bayangan yang lain adalah bayangan yang selalu kau anggap ingatan, kau anggap kenangan, tapi kini kau menolak semuanya, semuanya kau anggap sebagai hasutan, dan pikiranmu dengan sadar menolak kesadaran dari segenap kebutuhan tubuhmu.

“Aku ingin menghadiahkanmu bunga kaktus ini!” Kata bayangan yang lain, sebelum senja benar-benar kau usir dari dari ranjangmu, meloncati pagar terali, melempar semua yang muncul dalam dirimu. Kau meyakini, kau tak butuh apa-apa. Kau tak mempercayai cinta, dan kau menghardik semua kerinduan yang tiba-tiba muncul dari setiap bunyi lonceng di dinding berbunyi, serupa jantungmu yang memanggil-manggil nama sesuatu. Nama itu, kau pasti ingat, adalah bulan Oktober setiap taman kau anggap rindang, setiap cahaya kau anggap indah, setiap pertemuan mata kau anggap keberuntungan. Itu dulu, sebelum kau tak percaya pada jiwamu, pada kebutuhanmu, pada denyut-denyut yang kau sebut adalah energi.

“Bila hujan, aku suka berdiri di depan kaca jendela.” Katamu. Waktu itu, aku menyukai setiap sapamu, setiap kelembutanmu, setiap doa-doa yang kau lantunkan seperti nyanyian ketika tiap malam hanya memberiku kegelisahan. Tapi, itu semua kau tolak, kini hanya sebuah bentakan, kemarahan yang kerap muncul karena penolaka-penolakan. Di dalam tubuhmu, sebenarnya masih tersimpan ribuan benih yang siap lahir bersama senyummu. Tapi, kau lupa menaburinya. Kau menjadikan bayangan lain sebagai penghalan, dan kau tak percaya lagi pada cahayamu, pada sinar yang kau anggap sebagai kekuatan. Kau, berlari kian jauh, kian menjadi asing. Kau sebut itu sebagai pancaroba, sebagai sesuatu yang beralih fungsi dari senyum ke luka, dari bahagia ke membenci. Dan. Kau pun tak mempercayai poros waktu berulang dan terus akan sama, hari-hari kembali lahir, tapi kita lupa untuk melahirkan kebahagiaan kembali.

“Aku marah padamu, karena aku tak tahu lagi menyampaikan segala sesuatu.” Ya, semuanya telah berlalu. Semuanya telah direstui dengan segenap ingin dan seperti yang kau pikirkan, melelahkan, tidak nyaman, dan lagi-lagi seolah tiada kehendak untuk duduk diam, tenang, menikmati secangkir kopi dan akhirnya, aku juga mengerti, di sini aku tak diberkati, di sini aku dianggap mati dan di sini aku hanya berharap sendiri.

2016





Minggu, 06 November 2016

B A H A G I A



Seperti bunga, layu menunggu gerimis sembari menikmati 
gemeretak kemarau di ranting-ranting yang tulus menemani waktu: 
mengerti rukun hidup--kematian, sedang matahari lelah 
meminta hujan pada embun yang pelan-pelan naik ke puncak awan;

Seperti ilalang, sempat menarikan gelisah akar-akar 
jagung juga tembakau sembari meletakkan teduh di lembah, 
di ngarai yang membelah tanah-tanah kerontang menjadi humus; 
angin mencari istana bakau yang hilang ditelan pantai dan gelombang;

Seperti itu, aku menulisnya dalam kampung sajak; sunyi 
hampir ditelan sempurna oleh segenap gema; di lorong-lorong itu,
tersisa jejak semi dan kering yang kian mengharukan birunya luka:

"Serupa nostalgia pohon kelengkeng dan sebaris puisi 
di mata seorang ibu yang meneteki nasib anaknya; 
lalu ada kidung tra lala--tri lili sampai mata tertidur 
pulas digendong kehidupan."

Moncek, 2016

TAMU TENGAH MALAM


di dalam dirimu, aku melihat diriku
mengecil di pojok ruangmu, tempat bacamu
dan kau melihat dunia dari lubang jendela;
aku mengutus angin, membelai rambutmu
sambil mungkin aku berujar, aku datang
dari derit pohon bambu atau dari ilalang
sekitar kau akan menuliskan lagi, puisi
tentang hidup, keindahan; hutan-hutan

sementara aku, menepi jadi aksara-aksara
memasuki ruang pikiranmu lalu menjelma
sebentang kenangan, di suatu taman tua
kala itu hujan datang, dan dirimu juga ada
di sampingku membetulkan lagi jaketku
sambil terus berlarian ke pinggir jalan
mencari angkutan untuk membawa tubuh

sekarang apa yang kau ingin tuliskan?
sebentuk prosa yang lerai di tengah gulita
atau semacam luka yang tak nemu obatnya
ah, sudahlah, aku melihatmu, di mataku
dan mataku telah menjelma pantai; lautan
tentangmu yang buru-buru menutup pintu.

061116


Sabtu, 05 November 2016

MUSIM SUNYI

Berulang kali aku menuliskan puisi, sunyi!
seperti nyala lilin yang sungguh amat kecil
tak ada yang mampu memberi hangat, di sini
ingatanku seperti beranjak makin tua, renta
di balik semua keinginan akan perjumpaan

Ini semi telah dilalui kemarau, dan ini sepi!
aku menulis lagi namamu, di secarik kertas
yang rindu pijar mentari di pelupuk matamu
tapi, aku tak paham, kau enggan jadi angsa
yang selalu ingin berjalan memecah sungai

Sementara teratai menjulurkan akar-akar
ke dalam jantungku ada sebuah risalahmu
terdengar begitu dekat, begitu menyayat
memanggil namamu, mengetuk pintumu
sungguh aku tak mau, aku tak jadi malu

Sepi, musim semi seperti rindu yang gugur
di ladang puisi itu aku terus memanggilmu
meski aku tahu, malam hening, ini sunyi
menjadi puisi yang sungguh memilukan

: kini


Moncek, 2016

Senin, 31 Oktober 2016

SEMACAM KENGAWURAN.

Pagi ini, aku ingin menulis sesuatu, sesuatu yang selama ini aku pikirkan. Misalnya pertemanan, relasi dan hubungan persaudaraan dengan dalih apapun orang lain akan menghormati sekecil apapun komunikasi yang sedang dijalani atau direkayasa untuk menghindar dari perasaan yang sesungguhnya terjadi. Tidak menutup kemungkinan sesuatu yang kita alami melahirkan sebuah kekecewaan, sebuah kenyataan yang tak datang dari awal tapi muncul di belakang hari.

Tentu saja, aku masih mengalir kemana-mana, alias ngawur dulu, mau kemana dan apa yang ingin sebenarnya aku tuliskan. Yah! aku sudah memiliki 3 buku, beberapa karya bersama juga, pernah dimuat di beberapa media lokal atau yang nasional. Sejatinya, aku mesti melihat ini sebagai evaluasiku sendiri. Aku tak memiliki teman yang sangat pahampun kepada diriku. Mereka adalah orang yang lain yang sama denganku dan selalu membutuhkan sebuah kepahaman dari orang lain. Tapi, teman tetaplah penting. Aku tak menafikan hal itu, begitupun di sastra Indonesia, pertemanan itu sangat kuat. Seperti tali yang paralel dan tak ada putusnya. Semua membentuk jaringannya dan berlomba-lomba untuk semacam adu panco. Iya, dulu aku memiliki berapa teman yang kupikir tulus, tapi sekarang, makin kesini, mereka hampir sama meski tak sebetul-betulnya sama dengan orang-orang lain.

Jelasnya, makin kesini, aku makin sadar diri untuk diam pada tempatku menelan beberapa pengalaman semacam kekecewaan kronis mungkin begitu, atau mungkin akan ada yang lebih kronis ketika aku harus tetap melangkah. Dulu, aku mempercayai sesuatu, sekarang hampir saja semuanya menjadi luruh dan rasanya aku akan mengambil semacam jeda sementara, semacam waktu aku melihat diriku lagi, sampai aku punya alasan untuk kembali dan kembali menatap dunia. Tapi, pilihan ini semacam pilihan yang belum final. Biasalah, aku jadi ingat kalau ada teman mengatakan ini padaku : sebenarnya yang marah dirimu atas beberapa pilihanku.

Cukup, sepertinya aku banyak pengalaman, mungkin bagi mereka, aku memang tak sebegitu penting, suatu jalan yang hanya diumpan ibarat umpan dikail yang dilempar untuk memancing. Aku tak sebegitu paham, tak sebegitu mengerti dengan setia, cinta, apalagi hal-hal yang dianggap kesadaran. Ternyata dari ujung ini, aku mesti melihat kemampuanku yang kampungan, yang selalu berpikir pada satu kesetiaan, pada satu tujuan. Tapi, kayaknya ini tak bakalan ada. Bila ada posisi menguntungkan, atau posisi lebih utama, bersiaplah untuk kehilangan teman-temanmu atau kehilangan visi yang dibuat secara bersama.

Di kolong ini, aku meminta maaf, kepada semesta, meski berapa orang tak akan tahu bahwa aku minta maaf, tapi biarlah semesta yang menyampaikan maafku dalam bentuk lain, kedamaian, doa kepada seluruh kawan-kawanku, seluruh orang yang pernah kecewa, saudara dan guru semuanya. Tidak ada gading yang tak retak, seolah ini jadi penyemangat baru, bahwa selalu dan pasti semua orang memiliki masa lalu dan catatan kesalahan. Tapi, pepatah itu, seolah memastikan ada maaf, ada sesuatu hal yang bisa diperbaiki. Nah, sementara ini, aku belum menemukannya, seolah benda yang tak bergerak, batu yang besar yang juga siap diarahkan kepada kepalaku.

Ada, beberapa tugasku yang belum selesai, buku akar rumput, buku amin, buku yuanda dan lagi buku Arsita. Tapi, aku hanya memokuskan untuk dua buku, buku amin dan buku "akar rumput" sedangkan untuk buku Arsita, awalnya telah kami kerjakan dengan baik. Namun, karena belum ada kepastian soal ongkos cetak dengannya dulu maka aku hentikan. Sedang buku Yuanda, aku akan mencari uang dulu untuk "mengembalikan" simpanan untuk buku selanjutnya. Hehe, sedang uangnya telah habis di tanganku. Iya, ini harus aku katakan dengan jujur, karena aku tak akan lari dari tanggung jawab ini. Apa yang akan aku kerjakan ke depan?

Adalah, menjadi seseorang yang biasa dan melepas diri dari semua hiruk pikuknya. Yah, mungkin aku akan mencintai sastra, itu pasti! aku akan merawat beberapa yang telah aku lakukan, sekali-kali berkumpul dengan kawan-kawan. Nah, ini bayanganku. "ah, kau tak pernah berkomitmen pada apa yang kau katakan" jerit seorang kawan padaku. Memang, ini hanya semacam catatan biasa, benar juga aku tak pernah berkomitmen, kalau besok aku dipanggil "Presiden JOKOWI" untuk baca puisi di Istana akan hilang semuanya. Bukankah semuanya begitu? Apa ada yang benar-benar berkomitmen? Nothing.

Sementara waktu, aku akan membiarkan beberapa alat komunikasiku aktif, berharap dari sana kejenuhan dan keletihan jadi kurang terasa dan aku benar-benar tak jadi memilih pilihan yang di atas yang aku anggap sebagai pilihan tanpa pilihan. Jelas! aku masih ingin mengirimkan beberapa buku "surat dari timur" ada beberapa orang yang belum bayar dan beberapa orang ingin menuliskan esai pada sebagian puisi yang mereka sukai. Masih ada celah bertahan sementara waktu. Tapi, setelah ini bila udah benar-benar jumud, aku, kampung jerami dan semua kawan telah tak aku anggap ada.

Nah, ada buku Cerpenis Lampung Yuli Nugrahani yang mempercayakannya untukku jadi tempat pemesanan, Ah, iya, aku juga punya tanggung jawab. Sebenarnya secara tanggung jawab aku telah melakukannya meski mungkin tak begitu baik. Aku membawa buku itu kemana-mana, menawarkannya, dan mempromosikannya. Iyah, aku menggunakan tanggung jawab sebagai "penerbit" dan "adik" aku bangga pada buku itu, mungkin, aku benar-benar mengurusnya dari awal, dari proses nol sampai selesai bahkan sampai hari ini. Tapi, mungkin aku mengecewakan dari sisi menejemen. Tapi, aku punya dua 3 bulan untuk memenuhi tanggung jawabku.

Umirah Ramata, adik yang satu ini selalu paham diriku. Aku minta maaf sebesar-besarnya kawan-kawan.






Sabtu, 08 Oktober 2016

AKU CERITAKAN PADAMU

Seorang yang pernah meletakkan bahasa pada tubuhnya, meyakini pergumulan yang panjang sebagai sebuah arus yang juga deras adalah sendi-sendi yang bertautan, tak dipisah dan memiliki sebuah keajaiban, ia meyakini, kalau jalan bahasa adalah tubuh, tubuh yang selalu saja mengeluarkan sesuatu yang mustahil, kadang tak mampu ia kaitkan ini sebagai logika, ia juga kadang menolak sebuah gagasan yang terlalu sadar atas hadirnya dimensi ruang dan jarak yang menciptakan sebuah jerit atau gema yang berulang-ulang. Lalu, orang-orang di pasar itu menyebutnya sebuah kenangan.
Aku ceritakan padamu lagi, seorang yang terus mencintai tubuhnya dengan kadang lupa merawatnya dengan sabun, minyak wangi tapi dengan terus membumbui setiap pori dengan luka dengan terus mengenangnya sebagai sebuah kekuatan, ia memang agak gila, agak memilih tubuh sebagai keyakinan berbahasa, keyakinan itu ia tempuh sendiri dengan terus mempertanyakan fakta-fakta yang kadang ia tak anggap sebuah kejadian yang di luar tubuhnya sebagai sebuah kelaziman, ia yang selalu suka memiliki tubuhnya dengan perihnya, dengan senyumnya dengan semua yang dianggap oleh orang-orang di pasar tadi sebagai sebuah rumus yang mesti dipahami sebagai kesadaran yang sempurna, sedang baginya kesempurnaan adalah yang terus berkembang sesuai dengan dimensi dengan ruang yang tiba-tiba tak disadari sebagai kenyataan, kenyataan yang baginya juga memberinya sebuah jalan menuju sepi, menuju tubuhnya sendiri, menjadi bahasanya sendiri.
Seorang yang tak menolak kehadiran sebuah kekosongan, ketika ilmu logika menganggap sebagai rumus terendah bagi kesadaran, tapi tidak baginya, jalan itu, adalah kosong, tempat adalah sepi, dan bahasa itu adalah hening yang keluar dari setiap medan tubuhnya sebagai alat kecil penyambut, langit dan bumi, tubuhnya hanya pelantaran bagi sebuah kekuatan yang besar yang tak bisa diukur oleh timbangan kesadaran.
Ia yang hari ini sedang menikmati hikmatnya kematian bagi tubuhnya, bagi bahasanya, bagi semua luka yang tak lagi mampu memberinya kekuatan, ia yang masih sibuk mencari dirinya sendiri, lepas dari panggung-panggung lalu menjebak dirinya sendiri ke dalam hampa, ke dalam sunyi untuk mampu bertemu hening kembali. Dan, baginya tubuhnya adalah kejadian-kejadian, adalah luka-luka yang mampu meneriakkan semua yang pergi, semua yang tinggal tapi berarti, semua yang dimaksudkan adalah jalan pengecut baginya, seseorang yang ingin matanya terpejam, dan tak memberikan warna apapun pada tiap yang keluar dari bias-bias. Aku jadi ingat puisi di bawah ini:

LAYANG-LAYANG KERTAS

Lalu, pagi membawaku ke sini seperti layang-layang kertas
merasakan sisa hujan bersembunyi dari kejaran dingin. Dan
ternyata tak ada yang berubah. Pintu keluar dan bercak kenangan
yang juga belum semuanya dihisap waktu, masih ada.

Sejenak, aku diam diguncang bimbang dan kecemasan
belum lepas dari kantung mata. Tak ada jemputan serta
kalungan bunga. Tapi, tiap kejadian masih nakal
menahan langkahku.

Di satu sudut pendengaran, lagu Ska mengalun riang,
mengajakku untuk tersenyum. Dan, tiba-tiba kumiliki
energi kecil untuk kembali, terbang dari kota ke kota.

"Puluhan orang berbanjar menyiapkan foto kenangannya
untuk dipajang di dinding sebagai sisa perjalanan. Aku juga.
Sebelum nanti taliku putus, melayang lalu hilang."

Stasiun Kota, 21 Maret 2015

"dimuat di antologi Tanah Silam dan Majalah Horison"