yang melintas di pikiran, di suatu senja, tadi
berjalan-jalan di kaki bukit, menikmati matahari
melihat latar rumputan, menikmati pemandangan
sepanjang pandang, lembah kupu-kupu
tebing tanpa air yang mengucur dari atas
aku tertegun, sembari aku raba tanah
aku heningkan diri, dalam sunyi
puisi-puisi beterbangan menjadi asap
berkabar tentang duka lara, di ladang-ladang
di hutan-hutan, telah banyak yang terjadi
seperti lelahnya mataku, menatap matahari
pelan-pelan menuju rembang lalu sebentar lagi
malam-malam akan mengemas segala letih
laki-perempuan akan pulang dan bukit ini
kembali akan sendiri, sendiri menatap takdir
aku masih mencari biru, pada ilalang
yang juga mulai memudar, sinar tinggal sedikit
hanya kepak burung-burung kembali ke sangkar
begitu jelas aku dengar, tapi kekosongan tiba-tiba
seperti gelas, atau seperti telaga yang kemarau.
tanpa alir air atau seseduh kopi menjemput mimpi.
Moncek, 130915
Minggu, 13 September 2015
Kamis, 10 September 2015
BERKERUDUNG TEMBAKAU
Untuk Yuli Nugrahani
Bulan September seperti buah semangka yang kita
lepaskan dari tubuh matahari dan bintang. Berlalu lalang kejadian-kejadian,
antara Tanjungkarang dan jembatan Suramadu. Dua selat yang berbeda jauh. Kau
yang meneriakkan, ayo rengkuh matahari itu! Tak bisa kita diam dalam
malam-malam sunyi sendiri. Mesti ada yang memulai, seperti alam dan semesta
ini. Kun, ada yang bergerak lalu mencipta benda-benda dan berpasangan. Mata-mata
kecil kehidupan kita bagi jadi kekuatan, seperti mata api yang dibiarkan
menyala, di matamu, di mataku.
Sekali waktu, kita akan bahasakan daun siwalan jadi
cerita pendek yang penuh misteri, ke tepi ladang tembakau, kau bertanya, Jadi
apa mereka setelah tua? Tapi kenyataan selalu menjawabnya telat, sepertinya
memang pertanyaan itu hanya simbol kecil ketika matahari merias rambutmu. Lalu
apa yang bisa diterjemahkan sunyi pada hening di dada kita berdua? Secarik senyum
aku lempar, dan kau tak begitu pedulikan itu. Aku masih amat muda untuk
menjawab sesuatu. Kataku:
Angka-angka jam begitu lesat, seperti mimpi bayi
yang belum diingat ketika pagi tiba-tiba saja digaduhkan dengan langkah
perempuan yang meladang, lelaki ke ladang, rumah-rumah sepi dan pohon siwalan
seperti lambang misterinya. Fayakun, kejadian lebih bisa menerjemahkan detak
jantung, denyut nadi dan selembar pertanyaan yang belum atau sudah pernah ada
jawabannya.
Matamu, mataku, melihat kuntum tembakau yang serasa
senyap dan memilih bisu sebagai bahasa. Kita
bergegas menuju Asta Tinggi, meneriakkan merpati di Taman Bunga, dan kembali
menuangkan teh dalam segelas canda tawa lalu hening kembali menempati dada
kita. Entah, matahari yang seperti apa yang dapat kita gambarkan, bila esok
tiba-tiba ada yang berhenti dan tak bisa ditarik kembali.
Seperti mata petani, letih di antara tangisan hujan
dan keringat matahari yang menetes di sekujur tubuh harga, di atas tanah yang
tak kenal bibit aslinya atau pada tanaman yang diputar oleh musim begitu
lamban, sekali itu juga, hening memilih tempat di dada kita, lalu kuletakan
kerudungmu, di sela-sela kau mencari jawaban yang kasihan pada kuntum tembakau
yang akan terbiar di kampung jerami, lalu puisi dan hening kembali memilih dada
kita, kun, fayakun.
Moncek, 100915
Rabu, 29 Juli 2015
Bukan Ranting, Bukan Pinus Tanpa Kelamin
By : Fendi Kachonk
Ia bergegas
menuju tempat biasanya. Tempat di mana ia bisa menerima telpon atau mau
menelpon temannya. Sesampai di tengah ladang jagung, di samping kanan dan kiri
pohon siwalan. Angin berkesiur begitu landai menerpa wajahnya. Wajah yang
selama hampir setengah bulan kurang tidur. Makan tak teratur dan demam yang
sesat menimpanya. Ia lalu bertanya, pada dirinya, pada segenap keheningan dan
kenangan yang selalu nakal.
“Aku
mencintaimu tanpa alasan, andaipun kau penus yang tanpa ranting dan kelamin,
aku selalu akan sayang padamu karena visiku amat kuat akan hal itu.” Suara itu
ia dengar kembali, kembali terngiang, kembali dapat dirasakan hadirnya. Hari
ini ia menunggu telpon darinya. Seorang teman yang pernah datang membawa
keyakinan dan semangat baru. Seorang yang selalu membuat dia kuat dalam
menjalani hari-harinya. Di sebuah kampung, di desa kecil ia menjalani bagian
takdirnya.
Dalam ia termenung,
tak dirasakan olehnya Hpnya bergetar tanpa suara. Ia tersenyum, ada rasa
bahagia melihat siapa yang menelpon. Lalu, ia menulis pesan. “ Maaf, tadi saya
lagi melamun, telpon darimu tak keangkat.” Dan sambungan telpon genggam itu
kembali bergetar. Ia telah berjanji untuk mengawali obrolan dengan santai
dengan gembira agar situasi itu bisa kembali menjadi riang dan bahagia. “Hey,
siapa aja yang datang ke kantormu?” tanyanya. Seperti biasa ia berusaha memberi
kesan hangat dan memang ingin menyapa dengan hangat. “Oh, ndak. Cuma teman-teman
kantor, kebetulan memang ada rapat internal kantor.” Suara ditekan di seberang
serasa berat pelan meluncur.
“Kau kalau
ingin pergi, pergi saja.” Katanya, lepas tanpa kendali meruntuhkan semua
keinginannya di sisi yang lain. Ia menahan diri lalu mencoba membuka obrolan
pada sisi yang lain. “Sebentar, bisa tidak kita ngomong dengan tenang, ngomong
dan mampu mendudukkan masalahnya pada tempatnya.” Katanya kepada seorang
perempuan di telpon genggamnya.
“Tidak bisa.” Lalu
sebuah obrolan dengan desah ngos-ngosan tak dapat dibendung dan naluri membuat
nalurinya kembali bangkit, Terasa sekali perubahan mimiknya. Wajahnya yang
awalnya hanya tersenyum dan menunggu giliran ngomong tak ada. Maka ia lalu
memotong dengan cepat. “Kenapa kalau pernyataanmu saja yang kamu anggap benar,
bukankah kemarin juga kau mengatakan itu padaku. Dan, ketika aku yang
mengatakan padamu. Kau menuntutnya. Padahal itu reaksi dari cara komunikasimu
yang patah-patah?” sergahnya dengan cepat.
Ia menahan
laju napasnya. Karena bagaimanapun ia masih menyanyanginya. Masih melihat
banyak hal yang indah dan memang ia telah berjanji menerima apapun keadaaannya.
Namun, sayang baginya. Dan bagi perempuannya semuanya itu dianggap pepesan
kosong. Ribuan jarum jam. Hitungan hari dan bulan serta kenangan-kenangan dan
pertemuan-pertemuan menjadi tak ada nilai baginya.
Hampir satu
tahun, ia mengenang kembali sambil bergumam. “Dulu, ia selalu mengatakan tak
penting pisik, tak penting rupa, dan tak penting kau bagaimana pun. Karena aku
akan tetap sayang padamu, karena sayang ini tanpa alasan.”
Tapi, sekarang
berbalik arah, semua ada alasannya. Dan, alasannya adalah gara-gara FB, Fb yang
selalu jadi momok masalah. Dan Ia pun mengingatnya. “Fb tidak penting, pernah
ia berjanji juga, aku tak akan pakai fb.”
Tapi, pun begitupun,
semua perkataannya, semuanya tak lebih dari igauan di siang bolong sama ketika
hari itu, siang itu ketika ia memutus telpon tanpa salam, dan sama ketika ia
dulu yang yakin akan perkataannya bahwa rasanya tanpa alasan, “Andai kau
ranting, atau penus yang tak berkelamin kau tetap aku sayang sampai kapan pun.”
Kini ia sadar,
kalau dirinya bukan ranting, bukan penus tanpa kelamin. Tapi, dirinya bukan
lagi simbol-simbol yang pantas dibanggakan.
Rabu, 20 Mei 2015
ROMANSA
Bila nanti pagi datang
dan tak lagi ada aku
di dekat bantal guling
dan tak lagi ada aku
di dekat bantal guling
Selembar surat melati
kuletakkan sebagai ganti
kuletakkan sebagai ganti
Aku tiada lagi
di sini aku pulang
dengan pesan
di sini aku pulang
dengan pesan
Merpati pasti terbang
matahari pagi lagi
daun akan hijau
daun akan gugur
matahari pagi lagi
daun akan hijau
daun akan gugur
Aku tak kembali
jangan pernah lagi
kau cari.
jangan pernah lagi
kau cari.
Moncek, 140515
Selasa, 19 Mei 2015
SONGENNEP
Di PDS HB JASSIN : Dewi Nova Wahyuni (Penulis Tangsel) ARIANI ISNAMURTI, Yuli Nugrahani (Penulis Asal Lampung) |
Sekali waktu kau bisa menjengukku
mengambil jeda dari hari yang sangat sibuk
memalingkan jarum jam dan menoleh ke belakang
di taman itu, hujan yang sama masih menanti
begitupun bulan yang pernah muncul dari rambutmu
umpama kolam kau ciptakan dari bening matamu
purnama hampir keriput di mata pencari malam
di kotamu, seronen dan tembang kumandang
di parapatan, tempat kita menukar kecemasan
mengambil jeda dari hari yang sangat sibuk
memalingkan jarum jam dan menoleh ke belakang
di taman itu, hujan yang sama masih menanti
begitupun bulan yang pernah muncul dari rambutmu
umpama kolam kau ciptakan dari bening matamu
purnama hampir keriput di mata pencari malam
di kotamu, seronen dan tembang kumandang
di parapatan, tempat kita menukar kecemasan
Sekali waktu saja, kau bisa mengulangnya
birunya pantai yang kau sebut dunia yang tak tidur
dari senyap dan sepi yang menarikan ombaknya
nelayan membidik bintang untuk dibawa pulang
sekeranjang kenangan berisi ikan jadi makan malam
kau pasti akan kembali, dari masa muda setelah tua
seperti senja yang kau sebut selalu ada di mataku
birunya pantai yang kau sebut dunia yang tak tidur
dari senyap dan sepi yang menarikan ombaknya
nelayan membidik bintang untuk dibawa pulang
sekeranjang kenangan berisi ikan jadi makan malam
kau pasti akan kembali, dari masa muda setelah tua
seperti senja yang kau sebut selalu ada di mataku
Apa kita benar akan mengulangnya kembali?
cericit burung, petani yang lelah dan kulit keamasan
sebab api matahari yang mencium punggungnya
kau sempat akan menina bobokan kupu-kupu itu
sementara aku mulai mencari gambar tua di keraton
ribuan panji lama dikuburkan di museum dan kita datang
seperti pelancong yang asing pada kota tanpa silsilah.
cericit burung, petani yang lelah dan kulit keamasan
sebab api matahari yang mencium punggungnya
kau sempat akan menina bobokan kupu-kupu itu
sementara aku mulai mencari gambar tua di keraton
ribuan panji lama dikuburkan di museum dan kita datang
seperti pelancong yang asing pada kota tanpa silsilah.
Moncek, 170515
Rabu, 13 Mei 2015
TITIK TEMU DI PERNIKAHAN UMIRAH RAMATA.
Pembacaan Puisi Ayah Karya Umirah Ramata dari buku Titik Temu Komunitas Kampoeng Jerami di acara pernikahannya oleh Fendi Kachonk dan Jay Wijayanti |
(BERTEMU DI 10 MEI 2015)
Dimulai dari titik jam 9.30 WIB. Saya sedikit terburu-buru berangkat ke tempat biasa saya menunggu Bis untuk ke Surabaya. Dengan telat sekitar setengah jam dan tepat pada Jam 10.00 WIB. Bis bergerak membawa saya menyusuri desa, kota dan Kabupaten lainnya di Madura ini. Dalam perjalanan itu apalagi yang bisa diulang dari segenap tujuan kecuali kenangan kebersamaan kami yaitu dulu Nova Linda, Lia Amalia Sulaksmi dan Umirah dan menyusul selanjutnya Cici Mulya Sari dan Yuli Nugrahani dalam berbagai kejadian mengurus dan mengasuh sebuah kampung yang kecil yang dari dulu hanya menjadi bahan ejekan.
Umirah Ramata saya kenal sekitar 3 Tahun yang lalu. Pernah kami satu buku bersama 10 penulis lainnya kami menulis dan mengawali buku pertama kami dengan judul “Sandal Kumal.” Di Buku Sandal Kumal itulah. Saya dan Umirah Ramata mulai dekat sebagai saudara. Lalu, perjalanan kami menjadi sebuah ikatan yang kuat baik secara emosi dan segenap jiwa sehingga ada berapa kali tuduhan miring kalau kami tak hanya diikat oleh sekadar kata “saudara” dan memang saya akan tegaskan bukan karena hanya hubungan darah bisa jadi kami lebih kuat dari hanya kata itu.
Lamunanku tetap berkembang kemana-mana dan kembali saya ingat isi BBM yang Umirah Ramata saat dia membalas perminta maafanku karena tak bisa datang ke acara pernikahannya. “ Umi, maaf aku tak bisa datang ke acaramu ya?” Dan Umirah meresponnya dengan mengejutkanku. Maklum kepadaku dia selalu menjadi orang yang sangat merdeka melempar marah, senyum dan cerita sedihnya. “Ah, Mas gitu ya? Untuk acara sastra kemana-mana selalu dibela-belain datang, sedang untuk acara adiknya sendiri tak datang padahal inikan sekali dalam seumur hidupnya Umi.”
Setelah menerima balasan dari Umi. Saya lantas meminta ijin kepada istri saya. Karena memang pada saat itu Iman dan Surga belum begitu baik untuk saya tinggalkan. Akhirnya saya dan istriku memutuskan segera memeriksa Surga dan Iman memastikan mereka berdua siap ditinggalkan saya dalam berapa hari. Dan, saya pun mengontak Yuli Nugrahani yang pada awalnya dia akan mewakili Komunitas Kampoeng Jerami ke acara pernikahan Umirah Ramata tetapi karena pada tanggal 10 Mei Yuli Nugrahani masih di Batam maka dia pun tak bisa datang. “Fen, kau satu-satunya yang harus datang ke acara Umirah Ramata untuk mewakili kita semua.” Kata Yuli Nugrahani padaku. Dan, aku memang tak bercerita apapun kalau aku juga sebenarnya sangat sibuk dengan mengurus anak-anakku yang sedang sakit. Bertekad dan yakin kalau semuanya akan baik-baik saja. Maka saya pun berangkat ke Cirebon.
Terlalu banyak kenangan di antara kami semua. Merasakan Umirah Ramata yang selama ini hanya bertemu di Dunia maya dan pertemuan pertama kami waktu kepulangannya ke Indonesia dan selebihnya tak bertemu kembali. Dia berkabar akan segera menikah. Jujur saya sempat kaget tapi lebih banyak bahagianya. Karena dari awal saya memang sangat percaya dan selalu mengamini atas semua yang Umirah Ramata inginkan.
Kurang lebih jam 3 siang saya sampai di Pasar Turi. Masih tersisa se jam lagi untuk menuju cirebon lewat waktu dalam tiket kereta Harina yang telah berapa hari sebelumnya telah saya pesan. Di sela-sela menunggu saya kembali mengulang semuanya. Misal yang paling terdekat adalah ketika kami sibuk dengan Titik Temu. Dan, peran Umirah sama-sama vitalnya dengan tugas Yuli Nugrahani, Cici Mulya sari dan saya sendiri. Dia sebagai penghimpun naskah dan data base yang handal selama ini. Yang biasa membantu mengurus ISBN dan segala yang sebagai tugasnya.
“Umirah, nanti saya akan sampai jam 00.00 WIB di Stasiun Kejaksan.” Kataku pada Umirah waktu saya telpon dia memberitahukan soal kedatanganku. Awalnya saya tak ingin memberi tahukan soal kedatanganku. Namun, demi pertimbangan yang lebih masuk akal karena saya tak paham alamat rumahnya Umirah Ramata daripada nyasar maka aku beri tahukan dia. “Siap, mas! Nanti sms ya?" Sahut Umirah.
Akhirnya, setelah turun dari kereta, dan melanjutkan perjalanan dari alamat yang diberikan Umirah. Saya memilih naik becak dengan perhitungan lebih hemat dan menghirup udara Cirebon dini hari. Melihat bangunan-bangunan hotel yang sangat banyak. Dan berbincang sana-sini dengan abang becak adalah bagian yang romantis serasa dekat dan serasa tak ada bedanya dengan madura suhu dan udaranya baik malam dan siang hari. Saya pun sampai di lampu merah Arjawinangun dan menelpon Umirah yang ternyata telah menunggu dengan mas Didik suaminya. Kami sejenak berbincang dan sejenak menikmati nasi goreng di pojong jalan di pertigaan tersebut. Tawa kami kadang pecah sampai si tukang nasgor tersebut mau usai setelah hampir pagi menjemputnya kembali.
Pada tanggal 9 Mei 2015. Sore itu, setelah seharian saya ada di tengah keluarga di Cirebon berbincang dengan ibunya Umirah dan mengenal lebih dekat Umirah kecil dan saya akhirnya sedikit terharu ketika ibu (ibunya umirah yang otomatis ibuku juga) bercerita ketika Umirah yang pada waktu itu baru ada di Taiwan menelponnya. “Ibu, itu kenapa ada orang yang tahlilan, ada apa?” Sedang pada saat itu acara tahlilan itu adalah waktu bapaknya Umirah Ramata Meninggal dan ibu memang menyimpan kabar tersebut kepada Umirah. “Ini ada acara di tetangga.” Hanya itu yang bisa disampaikan oleh ibunya Umirah agar Umirah yang baru ada di Taiwan tidak terguncang.
Dan, hal yang paling membahagiakan adalah ketika hari itu. Tepatnya sore itu, kami semua menunggu kedatangan Kuan Ami yang juga manta Ketua Pengurus FLP Taiwan asal Wono Sobo juga bersedia datang bersama penulis perempuan yang juga Mantan Wakil Pengurus FLP Taiwan ketika berada di Taiwan Jay Wijayanti penulis asal Magetan bergerak menuju rumah Umirah. Kami tak pernah bertemu, dan pertemuan ini memang jadi titik dari sekian titik waktu perkenalan kami. Misalnya dengan Jay Wijayanti yang dulu pernah menjadi Relawan Komunitas Kampoeng Jerami serta Kuan Ami yang juga satu buku di buku sandal kumal. Jadilah malam itu kami melepas tawa dan berbagi cerita.
Sampai saat pagi, waktu pesta tanggal 10 Mei 2015 mereka berdua menjadi pagar ayu yang juga merangkap jadi fotografer juga begitu denganku. Maka pesta Umirah dipotret langsung dari 3 titik. Wonosobo, Magetan dan Madura. Sampai sore, sampai malam datang, bergantian kami berbagi tugas membantu pestanya Umirah sampai pada titik akhirnya.
Akhirnya, malam larut dan undangan mulai susut dan tinggal satu dua orang saja. Saya membuat acara dadakan dan memandu teman-teman yang lain untuk memberikan kesan dan pesan kepada kedua mempelai. Di dalam beberapa kesempatan itu. Umirah dan mas Didik begitu larut dengan acara sederhana kami tersebut. Pesan dan kesan lepas begitu saja. Dan saya seolah melihat Umirah dan Mas Didik akan beranjak menjadi Umirah dan Didik yang dewasa. Ibu Umirah sempat meneteskan air mata ketika saya dengan berani mengatakan bahwa Umirah adalah penulis dan jangan pernah dipatahkan. Tapi, tetap sebagai Umirah yang baik dan terus menulis dan pada kesempatan itu saya membacakan puisi Umirah di Buku Titik Temu Komunitas Kampoeng Jerami yang berjudul AYAH dan Elang. Saat itulah puncak keharuan seorang ibu ketika sadar anaknya kemarin masih manja kini telah dewasa. Pembacaan puisi juga dilanjutkan oleh Wijayanti dengan membaca karya dari buku titik temu Komunitas Kampoeng Jerami karya Bunda Umy teman kami semuanya.
Akhirnya, acara singkat dan sederhana ala kami berlalu dengan ketika satu persatu di antara kami menyalami Umirah Ramata dan Mas Didik serta mendoakan agar mereka selalu bersama dalam kebahagiaan selamanya. Amiin.
Semoga sakinah mawaddah warahmah.
Moncek, 13 Mei 2015
Kamis, 07 Mei 2015
LASKAR MADURA
Kerapan Sapi. |
Aku tanam, jagung, bakung
Aku tanam matahari, di dadamu
Di lautmu, kutanam biji mataku
Kelak tumbuh, jadi puisi.
Aku tanam matahari, di hatimu
Selat melahirkan garam di mataku
Asin mengelilingi rahim bumimu
Maduraku, kutanam kepalaku.
Di tanahmu, kisah perjuangan itu
buah pahit, sering ditelan, di perutmu
Anak-anak melanglang buana
tak pulang sampai putih tulang.
Sehingga kelak, bayi-bayi jadi puisi
Merangkai indahnya jagung, di ladang
Gembala telah pulang di magrib
Langit rukuk menunduk, sujud.
Moncek, 070515
Langganan:
Postingan (Atom)