Membaca
puisi membaca jejak imaji dalam lorong labirin - ‘sebuah sistem jalur yang
rumit, berliku-liku, serta memiliki banyak jalan buntu. Labirin bisa menjadi
permainan di atas kertas, namun dapat juga dibuat dengan sekala besar dengan
menggunakan tanaman yang cukup besar untuk dilewati dapat juga dengan tembok
atau pun pintu-pintu’ (https://id.wikipedia.org/wiki/Labirin).
Sedang Fendi Kachonk dalam hantaran antologi puisinya menengarai dengan ‘jalan
panjang dari sebuah proses pencarian dan pintu masuk untuk belajar mengenali
semua yang ada dalam diri. Lebih-lebih mengenali alam sekitar yang semuanya
dibungkus oleh kesatuan harmonika dan dinamika semesta yang tak mungkin dipisah
satu sama lainnya.
Sepanjang
perjalanan itu, puisi seolah mengecil terkadang meluas, atau sempit bahkan
menjadi tak beraturan jauh panggang dari teori-teori yang dibaca di kelas dan
bangku sekolah’(halaman v). Maka tak heran tamasya kali ini menelusuri jejak
sajak dapat menemu hambatan yang cukup merepotkan.
SELAMAT
PAGI FENDI
Ada bahasa daun cemara
di tepian pantai
saat hujan singgah
kering sudah berlalu.
di tepian pantai
saat hujan singgah
kering sudah berlalu.
Ada yang terekam di sini
dalam pikiran
yang tak lekang
oleh sapa angin ribut.
dalam pikiran
yang tak lekang
oleh sapa angin ribut.
Aku menyapa padi-padi
tempat aku lahir jadi benih
dipatuk gagak hitam.
tempat aku lahir jadi benih
dipatuk gagak hitam.
Kemarin aku bertahan
kini kuucapkan kembali.
Selamat pagi, Fendi.
kini kuucapkan kembali.
Selamat pagi, Fendi.
Moncek, 2014
Pembukaan
antologi dengan salam yang cukup sederhana untuk dicerna walau alur logikanya
agak mengkhawatirkan menjebak dalam labirin makna menyempit terjepit teori
linguistik pragmatik - pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari
struktur bahasa secara eksternal, yakni cara satuan kebahasaan itu digunakan dalam
komunikasi. Morris (Rustono 1999:1) sebagai pencetus pertama bidang kajian ini
mengungkapkan bahwa pragmatik adalah cabang semiotik yang mempelajari relasi
tanda dan penafsirannya. (http://belajarindonesia24.blogspot.co.id/…/pragmatik-dalam-…).
Lihat
bagaimana Fendi Kachonk membuka imaji bahasa daun cemara dan menutup dengan
bahasa lain ’Kemarin aku bertahan/kini kuucapkan kembali’. Loncat
kijang katak unggas di pagi waktu dalam empat bait empat baris per bait
mengingatkan bentuk pantun atau syair lama ternyata telah berinkarnasi menjadi
modern dengan loncatan bahasa semesta secara pragmatis sehingga burung gagak
sudah tidak lagi melahap bangkai tetapi bulir padi yang bernas petani yang tak
terjaga. Sajak ini seakan terbagi dalam tiga bait sampiran dan satu bait
penutup sebagai isi seperti sudah ditengarai Nirwan Dewanto pada sajak Chairil
Anwar - Kesetiaan Chairil Anwar terhadap bentuk-bentuk puisi lama sesungguhnya
lebih besar daripada yang kita duga.
“Senja di Pelabuhan Kecil” juga memperluas konsep sampiran dan isi dalam pantun: bait pertama dan kedua adalah sampiran, dan bait ketiga adalah isi. Kedua bait sampiran tersebut adalah lanskap murni, yang seakan-akan dikatakan oleh orang ketiga. Tetapi sekonyong-konyong orang pertama, si aku, muncul pada bait ketiga, bukan untuk berseru, tapi bergumam lembut, menggarisbawahi apa yang dinyatakan kalimat pertama dalam sajak itu. Pola sampiran-isi ini muncul kembali dalam kuatrinnya yang lain “Derai-derai Cemara”: bait pertama merupakan sampiran murni, bait ketiga isi, dan bait kedua setengah-sampiran, atau kait yang memperantarai kedua bait. Sementara itu, sajak ini juga tampak lebih setia kepada bentuk syair: setiap baris adalah kalimat lengkap, dan setiap kalimat berusaha bertahan dengan jumlah maksimum enam kata. Variasi lain dari perluasan kuatrin-syair adalah sajak “Yang Terampas dan Yang Putus”: Tetapi di situ Chairil memisahkan baris keempat dari setiap bait menjadi bait-sebaris tersendiri. (http://jalantelawi.com/2012/04/situasi-chairil-anwar/).
“Senja di Pelabuhan Kecil” juga memperluas konsep sampiran dan isi dalam pantun: bait pertama dan kedua adalah sampiran, dan bait ketiga adalah isi. Kedua bait sampiran tersebut adalah lanskap murni, yang seakan-akan dikatakan oleh orang ketiga. Tetapi sekonyong-konyong orang pertama, si aku, muncul pada bait ketiga, bukan untuk berseru, tapi bergumam lembut, menggarisbawahi apa yang dinyatakan kalimat pertama dalam sajak itu. Pola sampiran-isi ini muncul kembali dalam kuatrinnya yang lain “Derai-derai Cemara”: bait pertama merupakan sampiran murni, bait ketiga isi, dan bait kedua setengah-sampiran, atau kait yang memperantarai kedua bait. Sementara itu, sajak ini juga tampak lebih setia kepada bentuk syair: setiap baris adalah kalimat lengkap, dan setiap kalimat berusaha bertahan dengan jumlah maksimum enam kata. Variasi lain dari perluasan kuatrin-syair adalah sajak “Yang Terampas dan Yang Putus”: Tetapi di situ Chairil memisahkan baris keempat dari setiap bait menjadi bait-sebaris tersendiri. (http://jalantelawi.com/2012/04/situasi-chairil-anwar/).
Kalau langsung meloncat pada sajak penutup antologi dapat
terlihat bagaimana labirin yang membingungkan telah sirnah dan cukup jelas
penyair mengolah kearifan budaya lokal lewat saja yang bercerita atau balada
yang juga dilewati Rendra dalam menulis jejak sajaknya sebelum nantnya Rendra
menjadi penulis pamphlet dalam bentuk puisi membicarakan pembanguan yang
diunggah pada zaman era yang monopoitik. Rendra mengaku membrontak karena
kecewa pada dirinya yang lemah seperti Catatan Editor ‘Puisi-puisi Cinta”
(2015), Edi Haryono - ‘Penyakit saya sebenarnya ialah kesal dan marah. Objeknya
ialah: keadaan. Saya tahu bahwa orang yang suka memberengsek terhadap keadaan
ialah orang yang lemah semangat. Ia tidak bisa menguasai diri dan keadaan
kelilingnya. Nyatanya memang demikianlah keadaanku waktu itu. kekesalan saya
itu terutama karena saya kecewa terhadap diri saya sendiri. (halaman xiii: W.
S. Rendra. 2015. Puisi-puisi Cinta. Yogyakarta: Penerbit Betang)
Simak
puisi Fendi Kachonk berikut.
KEPADA
ANAKKU
: Iman Dan Surga
: Iman Dan Surga
Sini
sayang mendekatlah
kuingin ceritakan inti hati
hatiku yang kuambil dari abah
embahmu dulu suka mengajakku
bercerita banyak hal.
kuingin ceritakan inti hati
hatiku yang kuambil dari abah
embahmu dulu suka mengajakku
bercerita banyak hal.
Katanya, aku masih ingat selalu
cintai orang yang dekat denganmu
dekat dalam kebaikan
dekat seperti aku dan kalian
anak-anakku, bahasa ibumu
bumi dan langit.
cintai orang yang dekat denganmu
dekat dalam kebaikan
dekat seperti aku dan kalian
anak-anakku, bahasa ibumu
bumi dan langit.
Meski kelak kalian terlunta
tetaplah dalam gubuk sendiri
gubuk yang sederhana
gubuk yang mencatat tangis dan air mata
seperti aku, emakmu, embahmu
mengajarkannya pada kita.
tetaplah dalam gubuk sendiri
gubuk yang sederhana
gubuk yang mencatat tangis dan air mata
seperti aku, emakmu, embahmu
mengajarkannya pada kita.
Bila ada yang datang dengan ikhlas
buka pintumu seluas mungkin
teduhkan mereka dari panas dan hujan
suguhkan tikar pandan biar bisa rebah
jagalah mimpinya sampai bangun.
Bahkan sayang, kalau mereka dahaga
ambillah ke sumur belakang rumah
tapi bila kering berlarilah ke tebing
atau ke ngarai, atau ke lembah
bila juga tak kau dapatkan.
ambillah ke sumur belakang rumah
tapi bila kering berlarilah ke tebing
atau ke ngarai, atau ke lembah
bila juga tak kau dapatkan.
Menangislah
seperti Ismail
hadiahkan air matamu untuknya
di situ aku akan bangga
bukan karena kalian dapat sembilan
di raport sekolahmu
tapi hatimu telah penuh nilai-nilai.
hadiahkan air matamu untuknya
di situ aku akan bangga
bukan karena kalian dapat sembilan
di raport sekolahmu
tapi hatimu telah penuh nilai-nilai.
Rumah
Surga, 19 01 14
Kuncian
sajak ini menunjukkan begitu tawaduknya penyair sehigga menyitir ayat yang
didapatkan dalam kitab suci tentang nabi Ismail. Kekuyuban yang santun akan
pencari asal muasal sejarah agama manusia yang diyakini kelurusannya.
Menangislah
seperti Ismail
hadiahkan air matamu untuknya
hadiahkan air matamu untuknya
Muhammad
Lefand yang juga berdarah Madura lanskap sajaknya selalu mencoba menolak jadi
pemuisi atau penyajak. Ini tertuang dalam pembukaan kumpulan sajak “Jangan Panggil
aku Penyair”:
Keteguhan
penyair pada pemahaman akan alam yang keras di bumi Madura sangat membekas
sebagai warna kearifan budaya yang akan melengkapi pelangi corak puisi
Indonesia atau Nusantara. Dari bilangan timur Jawa memang tidak sendirian dia,
masih ada pendahulunya yang di antaranya memegang kendali Majalah Sastra
Horison: Jamal D. Rahman, termasuk Abul Hadi WM, maupun D. Zawawi Imron. Tak
pelak puisi Lefand menjanjikan tongkat estafet kepenyairan berdarah Madura.
Simak
sajak Fendi Kachonk berikut:
BUKAN
LAGI PENYAIR
Telah aku putuskan malam ini
jadi penyair apa peramal?
berulangkali sajakku gagal
melukis senyumu yang biru
seperti pedagang yang lupa
daftar belanjaan.
jadi penyair apa peramal?
berulangkali sajakku gagal
melukis senyumu yang biru
seperti pedagang yang lupa
daftar belanjaan.
Aku dihadang bayangannmu
tak mampu kurayu dengan prosa
bahkan ketika melati kubawa
kau membiarkan dingin di sini
hati penyair lebih lengkap katamu
tanpa keriuhan tapi penuh kecemasan.
tak mampu kurayu dengan prosa
bahkan ketika melati kubawa
kau membiarkan dingin di sini
hati penyair lebih lengkap katamu
tanpa keriuhan tapi penuh kecemasan.
Kuputuskan
tak jadi penyair malam ini
kuambil tongkat bukan pensil
berjalan menyusuri jalan malam
menatap bintang serupa ahli nujum
kuramalkan diri sendiri di sini
aku tercekik oleh kata-kata sepi
kuambil tongkat bukan pensil
berjalan menyusuri jalan malam
menatap bintang serupa ahli nujum
kuramalkan diri sendiri di sini
aku tercekik oleh kata-kata sepi
Moncek,
2015
Bait
terakhir memang sebagai petisi untuk menjerumuskan onggokkan kata-kata itu
hanya ramalan dan di masa depan akan hadir yang bukan penyair tetapi penyair
dengan P (huruf besar!). Hampir rata penjelajahan Fendi Kachonk purna dengan
kuncian sajak: aku tercekik oleh kata-kata sepi. Tak pelak daftar panjang
penyair Nusantara akan makin menggelora seganas gulungan ombak samudera
Indonesia.
Bogor, Pebruari 2016
Cunong N. Suraja (penyuka literasi khususnya puisi, Dosen di
Ibnu Chuldun, Bogor)
(Catatan: Tulisan ini saya ambil dari postingan Abah Cunonk di sebuah group. )