: Fendi Kachonk
Begini,
saatnya aku melihat ini sebagai bentuk renungan dari perjalanan yang amat
singkat tapi meninggalkan jejak perjalanan yang begitu dalam pada hidupku dan mungkin
pada bagian yang lain aku juga semakin dapat pelajaran tentang cinta. Kenapa
cinta? Karena ini momentum yang tepat bagi sebuah kata “cinta” untuk
direnungin. Bagi penyair ini seperti candu, atau bius yang bisa membuat lena
bermimpi, atau bagi semua pemusik, cinta akan seperti lagu, serenada, seriosa,
atau tembang dll.
Valentine Day,
sebuah waktu yang bagi sepasang kasih adalah gerimis yang akan membuat mereka
berteduh lalu moment romantik itu akan jadi kisah indah, meski suatu saat akan
jadi moment dan mimpi yang lebih kejam dari apapun, dan kenangan akan jadi
bulan-bulanan penyesalan, sebab apakah? Nah, pada konteks itulah, saya ingin
ngelantur kesana dan kemari, menjadi suatu organ dalam bentuk rasa yang
abstrak, dan mempertanyakannya dalam bentuk kata. Komitmen? Nah, ini juga yang
menyebabkan kelahiran dari sebuah rasa bernama cinta butuh tempat yang teduh,
agar semua lebih ngendap lalu sublim jadi sesuatu yang dicari yaitu “keindahan
dan kebahagiaan.”
Barangkali,
moment hari kasih sayang ini jadi tempat saya untuk kembali “me-napak tilas-i”
semua demi sesuatu yang lebih besar dan mencoba menyimpulkan dari laku dan
kata, dari keadaan dan kenyataan, dari kelukaan dan keceriaan. Pandangan saya,
masih sama, meski sama juga mungkin bagi setiap pengalaman semua orang kalau
sebenarnya cinta itu menghidupkan dan mematikan, dan kalau diliat dari sini,
apakah saya akan sepakat, kalau kekuatan terdahsyat itu adalah cinta? Karena setelah
menghidupkan, cinta juga mematikan. Saya ingin menyeret satu misal, seseorang
yang anggun akan jadi sungguh
menyeramkan hanya karena cinta, atau sebaliknya, seseorang menyeramkan akan
jadi sangat indah di pandang cinta. Dan, itu semua hasil dari rekayasa cinta
atau rekayasa pikiran yang tak sanggup melihat perubahan.
Dan, ini lagi,
apa yang dulu baik akan jadi jahat, jadi cuek, jadi songong, dan apakah itu
cinta, dan apakah itu bentuk dari sesungguhnya roh bagi cinta. Misal, suatu
hari ada yang datang lalu berkata. “Andai kau pohon yang ranggas, atau
pinus yang gersang, bahkan bila kau adalah hewan yang tak berkelamin, sayang
dan cinta ini tak peduli, dan semuanya masih tetap dalam payung cinta yang
menghindarkan dari terik matahari dan dinginnya hujan”
Pada saat itu,
segenap kepercayaanmu, karena ucapan itu diperkuat dengan semisal. “
Cinta itu adalah kata kerja, dan lalu menjadi satu tubuh dalam penyatuan, bukan
pada sekadar dhahirnya saja, tapi semua visi dan logika” pasti, semua
berdampak, dan bisa jadi itulah cara cinta dalam ucapan bergerak menambang
lapisan kekuatan dalam tubuh manusia, dampaknya, semua hari jadi indah,
kemana-mana kita akan bernyanyi riang, dan semua cerita akan lancar, komunikasi
hanya membedakan dua warna suara, dalam bentuk yang berbeda, antara kasih dan
sayang.
Seperti bunga
yang rindu sentuhan kumbang, atau seperti kuncup yang ketika pagi selalu ingin
menyambut sinar matahari untuk berubah bentuk menjadi mekar, itulah kekuatan
cinta. Namun, tak sejati di jalan yang masih dihuni oleh kekuatan akal dan
kepentingan, kebutuhan dan keegoisan, dan yang kanak-kanak akan menjadi sosok
yang dewasa, tapi anehnya kerap yang dewasa lebih dari kanak-kanak biasa dalam
melihat dan memandang segenap dinamikanya.
Saya sendiri,
adalah orang yang selalu gagal memberi label apa, dan seperti apa bentuknya
cinta, bahkan untuk mendefinisikan cinta saya tak pandai, maklumlah, mungkin
ini didorongnya oleh pengetahuan dan pengalaman, atau apa ini semua akibat
kemunduran dari cara berpikir yang kolot dan ndeso. Saya, menegaskan tak ada
perayaan hanya untuk sehari dan tak ada tenggang waktu bagi saya dalam
mengenali cinta. Lebih luas lagi, cinta adalah kehidupan, cinta pada siapapun
dalam bentuk yang sama atau berbeda, dan apa juga seperti itu cinta
mepekerjakan kekuatan nurani kita selama ini. Benarkah cinta itu bukan hanya
kata-kata? Apakah kalau bukan hanya kata-kata, diam juga adalah cinta, dan
menjadi orang yang sangat dingin juga cinta?
Saya ingin
melek cinta, melek dari hanya kata itu, mungkin bagi orang ini jalan yang
menelikung jalan yang ramai, lalu berhenti di depan gang buntu, hitam dan
menyeramkan, sunyi dan sendiri, dan hanya ada bayangan kita, dalam gelap, dalam
kelukaan yang purna, sebab cinta itu dalam sejatinya ruang hanya ada satu ruang
yang diisi penuh lalu ditumpahkan dalam bentuk perpisahan, atau sama-sama
menyadarinya, yang kemarin bukan cinta, dan yang kita katakan soal cinta dan
keindahan waktu bersama hanya kata siluman dan syetan?
Benarkah dalam
cinta tak ada tuntutan? Atau komitmen itu dapat kita bahasakan dalam bentuk
pengorbanan yang senyap, pengorbanan yang luntang lantung dan berakhir luka
sepanjang sejarah kehidupan kita? Saya ingin melihatnya lebih dekat, kalau
cinta adalah komitmen, kebersamaan, dan kebersamaan itu sendiri tak saya
bahasakan dalam setiap pertemuan ujud, tapi ruang-ruang yang dilipat atas kesamaan,
atas berapa penyatuan, Berarti cinta juga punya cara menuntut ditunaikan
sebagai bayi-bayi yang suka permainan, barang mainan, atau tempat untuk
main-main.
Rupanya saya
tak cukup kuat menelaah cinta dalam hidupku sendiri. Saya akhirnya melihat sebagai bentuk
universal. Misalnya cinta, adalah bentuk perhatian dan kepeduliaan pada semua
yang ada di sekeliling kita. Kita bisa mencintai kucing kita. Kita bisa
mencintai wajah kita, kita bisa mencintai keegoisan kita, atau kita bisa
mencintai berapa umur dan berapa pengalaman kita dalam hidup. Tapi, apa dengan
cara seperti itu, kita sudah benar-benar sepakat kalau bilang cinta itu
membosankan, munafik dan sangat egois?
Sementara di
sisi yang lain, cinta tak mau tumbuh sendiri, dia adalah bagian yang tak
terpisahkan dari komunitasnya, pohon, air, gunung, batu dan hewan, tanah, dan
semesta alam yang menjadi saksi atas kelahirannya. Haduh, bagaimana mungkin,
bagaimana mungkin? Kita bisa berbincang dengan nyaman dengan seseorang yang
ingin menembak kepala kita, dan membiarkan semuanya dirampas lalu sampahnya
dibiarkan di jalanan, sedang sampahnya adalah kenangan yang dilahirkan dari
kata cinta yang indah, cinta penyatuan, komitmen dan logika-logika yang
melahirkannya dalam bentuk kata-kata.
Seperti air
yang mengalir di ceruk-ceruk tebing. Saya juga pernah ada dalam situasi
tersebut, dari muara yang bening, lalu dilempar pada tebing-tebing curam, ini
akibat cinta, dan cinta ini mungkin juga bukan cinta, tapi ini pernah dikatakan
sebagai cinta, sebagai keindahan yang hidup dan kini makin hidup dalam bentuk
dendam yang diam.