Sabtu, 30 Januari 2016

DIA YANG MENOLAK SADAR DIRI

Bedah Buku Sastra " Tanah Silam" Karya FENDI KACHONK di Perpusda Mojo Kerto
Pembicara Dadang Ari Murtono, Moderato Akhmad Fatoni


Sebuah kuasa lain datang ketika saya sedang, membaca antologi puisi Tanah Silam, karya Fendi Kachonk. Ke dalam kepala saya, kuasa yang tidak bisa saya jelaskan itu menyusupkan sebuah paragrap yang berasal dari ceramah Jorge Luis Borges di Harvard University berjudul Kredo Seorang Penyair. Berikut saya satin susupan tersebut:
Saya kira salah satu dosa sastra modern adalah bahwa ia terlalu sadar-­diri. Misalkan, saya menganggap sastra Prancis merupakan salah satu dari sastra besar di dunia (saya kira tak ada seorang pun yang akan membantahnya). Namun saya merasa bahwa para penulis Prancis pada umumnya terlalu sadar-diri. Penulis Prancis mulai dengan mendefinisikan dirinya sebelum dia cukup mengetahui apa yang akan dia tulis. Dia berkata: Apa yang seharusnya ditulis oleh (misalnya) seorang Katolik yang lahir di daerah tertentu, dan mejadi seorang sosialis? Atau: Bagaimana kita mesti menulis setelah Perang Dunia Pertama? Saya menduga banyak sekali orang di dunia ini yang bergulat dengan persoalan-persoalan yang menyesatkan itu.
Saya tidak tahu apakah saya setuju atau tidak dengan apa yang disampaikan Jorge Luis Borges tersebut. Saya tidak tahu apa buruknya orang yang menulis dengan terlebih dahulu membuat dirinya sadar-diri sehingga layak disebut sebagai dosa. Tapi saya sadar satu hal, bahwa susupan dari kuasa lain itu tidak tiba-tiba ada tanpa tujuan tertentu. Dan saya memerlukan waktu hingga tiga puluh detik untuk menyadari bahwa kutipan tersebut bisa saya gunakan untuk memasuki puisi-puisi yang terhimpun dalam antologi Tanah Silam itu. Tentu saja, sebagai sebuah cara atau pintu masuk, kutipan tersebut adalah satu dari banyak cara lainnya, satu pintu dari bejibun pintu lainnya. Dan saya yakin, kita tidak akan berdosa seandainya tidak menggunakan pintu yang ini dan memilih pintu yang lain. Tambahan lagi sifat karya sastra, yang multi tafsir menjadikan hal ini teramat legal. Ingat pula apa yang pernah            diucapkan Sapardi Djoko Damono bahwa karya yang baik mengundang tafsir yang banyak. Saya lupa seperti apa persisnya, tapi saya rasa begitulah kira-kira.
Ketika saya membaca judul kumpulan ini, saya mengira di dalamnya saya akan menyaksikan panorama Madura (pulau di mana penyair kita ini lahir dan tumbuh) masa lampau, lepas dari definisi sejauh apa "Lampau" itu sendiri. Dalam benak saya, terbayang puisi-puisi dari beberapa penyair Madura yang pernah saya baca karyanya, semisal Shohifur Ridho atau Mahwi Air Tawar atau Achmad Mukhlis Amrin, atau Khalil Tirta Anggara yang teramat kental warna Maduranya. Tapi saya keliru. Memang ada sejumlah puisi yang berbicara tentang pulau yang selain terkenal dengan garam dan celuritnya juga lazim diketahui sebagai penghasil sastrawan tersebut, namun jumlahnya begitu kecil, nyaris tenggelam di antara lautan puisi lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan Madura.
Dewasa ini, sastra Indonesia dibanjiri dengan karya-karya yang mengusung tema-tema kelokalan. Saya menduga hal tersebut berkaitan erat dengan Bahasa Indonesia sebagai material penciptaan karya. Bahasa Indonesia, bagi banyak penulis, adalah bahasa asing yang dengan susah payah harus mereka terima sebagai konsekuensi karena kita telah menyatakan diri sebagai satu bangsa yang memerlukan satu bahasa persatuan. Dan itu bukan perkara mudah lantaran dalam kesehariannya, mereka berbicara dengan bahasa ibu mereka. Mereka yang berlatar Jawa berbicara dengan bahasa Jawa, mereka yang berlatar Sunda bicara dengan bahasa Sunda, dan mereka yang berlatar Madura juga berbicara dengan bahasa Madura. Pada momen itulah, Bahasa Indonesia menjelmakan dirinya menjadi penjajah dan para penulis mesti tunduk kepadanya. Tapi tunduk bukan berarti tidak memiliki keinginan untuk melawan. Dalam keadaan terpepet, para sastrawan itu mengembangkan gaya perlawanan terhadap hegemoni Bahasa Indonesia, dan melalui nilai-nilai kelokalan, mereka mendapatkan celahnya.
Karena itu, paling tidak berdasarkan pengalaman saya pribadi yang kebetulan juga menulis sedikit puisi dan prosa, sebelum menulis, para sastrawan mutakhir ini merumuskan dirinya sendiri, menjadikan dirinya sadar-diri dalam terminologi Borges. Sebagai orang Mojokerto, seperti apa saya harus menulis. Sebagai orang Padang, bagaimana saya mesti menulis. Sebagai orang Madura, bagaimana saya mesti menulis.
Dalam kondisi semacam ini, Fendi Kachonk adalah sebuah anomali. Saya tidak tahu apakah dia membaca Borges atau tidak. Tapi apa yang telah dilakukannya dalam buku ini adalah (bagi saya) fase praktis dari apa yang didengungkan Borges puluhan tahun sebelum hari ini. Sebagian besar puisinya adalah puisi-puisi yang tidak mewakili "sebuah" Madura. Dia melepaskan diri dari identitas Maduranya, dia menjadi tidak sadar-diri. Artinya, puisi-puisi itu bisa juga ditulis orang yang berlatar suku bangsa-suku bangsa lain di seluruh dunia. Dia mengamini Borges. Dan di masa yang seperti sekarang ini, hal ini sangatlah menarik. Sebuah tawaran yang menantang untuk dibicarakan dan diteliti.
Upaya Fendi untuk menjauh dari sadar-diri ala Borges ini memang tidak mudah. Meski sedikit, ia juga menulis puisi-puisi tentang Madura. Dari yang sedikit itu, puisi berjudul Menatap Jembatan bagi saya adalah puisi Madura yang paling berhasil, Itu bila kita melihatnya dari kacamata yang lain.
Dalam konteks menghilangkan sadar-diri, Fendi bergerak semakin jauh dengan mengabaikan dirinya sebagai penyair. Seorang penyair adalah seorang yang individual. Ia bekerja sendiri. Bahkan sekali pun ia terlibat dalam sebuah komunitas, proses kreatifnya adalah miliknya sendiri. Dalam beberapa puisinya, Fendy malah menolak ke-individuan seorang penyair. Beberapa kata ganti jamak semisal "kita" atau "kami" seperti memberitahu kepada kita bahwa Fendi sebagai individu telah tidak ada. Ia ada bersama beberapa orang lain, dan ia menyuarakan apa yang orang-orang lain itu ingin suarakan. Puncaknya terdapat pada puisi berjudul Layang-layang Kertas. Pada paragrap terakhirnya, ia menulis: puluhan orang berbanjar menyiapkan foto kenangannya/ untuk dipajang di dinding sebagai sisa perjalanan. Aku/ juga. Sebelum nanti taliku putus, melayang lalu hilang.
Ia dengan Santai dan terang-terangan memaklumatkan dirinya sebagai bagian dari puluhan orang yang berjajar. Dia adalah apa yang pernah disebut Afrizal Malna dalam salah satu puisinya sebagai Masyarakat Rosa. Apa yang menyebabkannya menempuh pilihan semacam itu? Media social? Atau apa?
Puisi lain yang tak mungkin kita lewatkan dalam pembicaraan perihal Fendi dan Borges adalah puisi berjudul Perempuan Pasar Tradisional. Ia bercerita tentang pasar Settoan sembari mengilangkan sadar-diri-nya sebagai orang Madura. Maka jadinya. kata ganti “settoan" hanya muncul sekali dan kemudian dilindas dengan kata ganti "pasar tradisional". Madura dalam puisi itu ada untuk sekadar menjadi tidak­ ada. Madura muncul untuk digantikan kosmis yang jauh lebih luas.
Jaman semakin bergerak ke depan, sesuai sunnahnya. Pada akhirnya, mungkin, kita yang berbahasa ibu selain Bahasa Indonesia akan menerima bahasa asing itu sebagai bahasa yang tidak menjajah. Dan kita akan berbicara seperti bangsa Indonesia berbicara, dan bukan sebagai orang daerah yang berbicara dengan bahasa Indonesia. Dari puisi-puisi Fendi Kachonk, barang kali kita bisa mendapat wacana untuk memulainya.

Dadang Ari Murtono, Penyair dan Cerpenis. Mojokerto


Selasa, 01 Desember 2015

CINTA TAK AKAN PERNAH PERGI

Malam ini, rupanya ada yang aku mesti tuntaskan. Hal yang mungkin belum tuntas dan tak ada kata tuntas di dalamnya, seperti semacam kesadaranku, di mana aku mesti terus bertahan dan belajar sendiri lagi. Meski aku paham aku mesti hati-hati untuk tidak masuk ke dalam arus yang sama dan gelombang yang sama. Seperti pada kenyataan selalu ada yang putar dan terulang kembali. Mungkin hal begitu juga yang dirasakan orang lain, atau orang-orang sekitarku. Hanya ingin mengatakan dan menyimpan ini sebagai satu bagian dari perjalanan satu tahun.

Di awal tahun itu aku memetik bunga begitu indah, begitu kunikmati setiap senyuman, dan keluasaan dekapannya. Meski yang terulang pada sisinya adalah kodrat dan kedalaman prinshipnya. Dan, Prinship itulah jurang pemisah bagi segenap aliran yang ada. Bagaimana tidak, ada ribuan pertanyaan di sana, misalnya benarkah kau mampu memberikan pelukan pada segenap orang? Jawabnya pasti iya.

Sedang bagi mata hinaku, memandang pernyataan itu adalah kemudahan semata, di mana semua orang adalah kumbang pagi putik sari yang selalu aku jaga, bagi bunga yang selalu kusiram, aku tak paham, di mana konteks peleburan, bila masih ada yang rahasia dan yang disembunyikan, bukan cinta itu adalah kepolosan bagi dua pasang merpati yang sama-sama menebar perdamaian. Seperti novel yang baru aku baca langsung dan aku seolah jadi aktor dalam sebuah film, di mana aku juga bukan sahrurh khan yang membuatnya terjaga sampai jam 01.00 Malam. Iya. Aku bukan aktor India itu. Aku bukan, hanya sekeping perjalanan yang sama yang terulang dan diulang dalam hidup dan mimpi.

Ngomong soal cinta, difinisi bagi sepasang kupu-kupu berbeda. Pasti!. Tapi apa dalam perbedaan itu menyarukan keyakinan debar hati dan denyut rindu yang tak tahu rimbanya.? Entahlah, hanya malam ini saja. Malam ini saja. Rindu seperti gundukan es dalam dadaku, atau mungkin dadaku telah jadi kulkas, sedingin inikah rindu? Aku mencatatnya dengan bahagia, memandanginya, mengingatnya dan tak satu detikpun untuk melupakan itu. Di mana awal segalanya terjadi, dan setiap keadaan yang merekatan, Cinta penyatuan?

Aku belajar mendengar ingin jiwaku, yang tak mau memadamkan lilin meski sekecil apapun apinya, atau sebesar apapun hembusan angin pada tubuhnya. Dengarlah, belajarlah mendengar jiwamu? Masihkah diam itu sebagai ujud dari kedewasaan. Aku mencatatnya dengan bahagia, aku mengenangnya dengan igauan Ra Madasa.

AKU BAHAGIA KARENA AKU BERSYUKUR DENGAN ADANYA CINTA.
AKU BAHAGIA KARENA AKU MENGENALNYA
AKU BAHAGIA KARENA AKU JUGA KARENA KAMU

Yo.

021215

Rabu, 23 September 2015

Celestin Dan Yuli Nugrhani



Kau masih ingat, saat kita membaca buku manuskrip lama? Tentang kota-kota tua yang pernah kita susuri dari kata ke kata menemukan kita sedang meringkuk dalam sunyi, lalu kau bertanya, untuk apa semuanya ini? Kota-kota yang kita singgahi dari halaman buku dan kita bicarakan soal mata kata, cerita puisi, sejarah dan prosa hujan. Sedang lanskap pelangi tak datang dari sudut pandangku, pandangmu jauh.

Aku tertelan di tengah senja yang mempertemukan aku dengan benda-benda yang bercerita soal kedalaman jiwa, soal hati dan soal sunyi yang dipenjara dalam diri.

Apa ada hujan pada selat di matamu, Yul? Sehingga kemarau ini tak dapat aku ceritakan pada surat-surat cemara yang belum tuntas aku tuliskan di deburan ombak, di dekat pantai, atau di dekat pohon siwalan yang pernah kita sebutkan sebagai tempat menyatu dengan alam, tempat kita melatih diri melawan sepi.

Kau tak akan mengingat itu, bukan? Aku beranjak pergi dari halaman buku yang sebelumnya kau kirimkan bersama bintang fajar. Kita telah letih untuk memiliki teori-teori penyatuan sedang tubuh hanya kerangka kosong untuk menabur benih dari tangan petani yang kerontang oleh hilang kasih sayang.

Bagiku, tidak begitu kan, Fen? Hari-hari akan menyimpan denyutnya sampai pada titik temu dan titik akhir menjadi manusia. Segenap kata untukmu kawanku, yang kusimpan lebih rapi di beranda depan, tanpa seorang paham, kalau kau dan hujan adalah pelangi bagi anak-anak yang kedinginan menahan gigil di kerumunan hujan.

Moncek, 230915

Selasa, 15 September 2015

KE PELAR DARI KAMPOENG JERAMI, LUPA MAKAN DAN MANDI


OLEH : PELUPA

Aku ingin mencatat hal sederhana ini, mungkin suatu saat akan jadi sesuatu yang aku anggap indah. Tadi pagi, aku berangkat sekitar jam 8. 00 WIB bisa kurang bisa lebih, dengan tidak sarapan dulu bahkan hanya mencuci muka saja. Aku jadi teringat berapa minggu ini telah terjadi desakan sistemik di tubuh keluarga kecilku. Ibunya Surga telah membuat propaganda halus lewat Iman dan Surga agar aku bisa dibujuk untuk merapikan rambut ikalku yang sudah hampir tak terurus, kumis dan jenggot dan lain sebagainya. Ajakan Iman untuk mencukur rambut pasti aku pahami tidak murni dari keinginannya, seperti ajakan Surga lewat kata terbata-batanya, juga pasti tak lahir dari keinginannya. Maka, bagaimanapun itu aku anggap saja sebagai bentuk perhatian.
Padahal dalam hatiku masih berjuang untuk sebuah gagasan kecil tentang hal lain, keindahan tubuh bukan segalanya bagiku, aku lebih memilih sesuatu yang tak dianggap indah apabila dalam benakku masih berpolemik dan polemik itu adalah hal yang ingin aku ujudkan. Pada satu tujuan yang biasa disebut dengan harapan kecil dari sebuah kejadian bernama dan dari polemik itu lahir gagasan dan ide kecil. Tapi, mungkin tak semua bisa aku buka dan tuangkan dalam tulisan ini, karena dengan berapa alasan yang aku ingin simpan, ingin aku rasakan sendiri, ingin kukecapi sendiri sebagai bentuk dari pelarian dan pencarian. Hey, napa aku pakai kata pelarian. Ya! Aku sedang melakukan pelarian dari satu masalah yang sudah nyata adanya. Yang telah aku lahirkan dalam bentuk sesuatu, suatu barang yang selama ini memiliki berbagai dinamika kejadian. Memang aneh, bukan? Yang baca ini pasti juga puyeng. Misteri ini dan ketidak jelasan ini kerap aku perangi. Aku selalu berkata, tak ada yang ingin aku sembunyikan, itu awalnya. Sekarang sudah bukan saat-saat yang seperti dulu.
Biar tidak berputar kayak baling-baling. Dalam kondisi mata sudah perih akibat kurang tidur, aku menyempatkan menuliskan ini. seperti halnya hari kemarin atau berapa hari lalu, kegiatanku mulai seperti September tahun yang lalu. Pura-pura dikejar deadline, pura-pura kembali ke jalanan, menyanyi di atas motor, lalu tersenyum dengan seceria mungkin yang aku bisa. Bahkan, berapa desa mampu aku tembus dengan hanya meminum pil yang tak ada resep dokternya yaitu bernyanyi riang sepanjang jalan. Sepanjang jalan rupanya mengantarkan aku pada banyak situasi, medan, konflik dan obrolan yang hangat dan ada pula yang basi. Desa satu selesai, aku beranjak ke desa yang lain. Menikmati setiap desir angin yang membelai wajahku. Hey, aku tampan kataku pada angin. Dan angin hanya tersenyum kecut. Seolah-olah begitu ia menanggapi bayolanku.
Jam 1. 00 WIB, aku kembali sampai di rumah lalu aku jadi ingat dengan pesan kawan, berapa hari yang lalu. Kak, tolong jadi teman belajar di UKM Pelar ya? Aku langsung jawab iya. Jam berapa?, Jam 16. 00 WIB. Oke, jawabku. Nah, sekali lagi mana sempat aku mandi. Dan, aku juga lupa ada janji dengan salah satu kawan untuk diskusi dengan anggota DPRD Sumenep. Ah, aku memang akan memilih jalur dan tujuanku semula. Lesehan sastra adalah menu istimewa yang pasti mengalahkan menu yang lain. Menu yang lain itu bisa saja kegiatan sosial, kegiatan mengajar dan benar-benar aku sudah lupa kapan aku berhenti mengajar, mungkin sekitar 4-5 lima tahun yang lalu, aku pernah jadi guru Bahasa Indonesia di sebuah Pesantren kecil.
Aku mengirim pesan melalui BBM ke salah satu teman dari Komunitas Kampoeng Jerami. Bisa ikut aku, dik? Jawabnya. Bisa kak. Yuk, sekarang aku tunggu di rumah langsung cabut ke acara, kasihan kalau mereka harus nunggu kita, lebih baik kita saja yang menunggu mereka. Kataku. Selang berapa menit, dari arah barat rumahku terdengar klakson sepeda motornya. Cium pipi Surga dan langsung meloncat alias bonceng di belakang temanku kita pergi. Yah,akhirnya setelah melewati deretan pohon siwalan, mengisi bensin di pom bensin Batuan, lalu melintasi kemacetan kecil di berapa titik. Kami pun sampai di sebuah Sekolah Tinggi itu. Aku melihat lambaian tangan, melihat senyum yang tulus dan merasakan binar kebahagiaan dari beberapa pasang mata. Ah, perlente sekali memang pakaian kami. Temanku pakai Jas, dia memang musisi, aku jadi tak ingin kalah, sebelum buru-buru pergi dan ini juga sebagai satu siasat agar aku dan temanku kayak yang memang sudah janjian, padahal maksudku biar temanku tak jadi aneh dalam forum itu. Aku memang kadang memilih untuk tak senyaman diriku saja. Banyak hal yang aku ingini, belajar mencocokkan dengan orang lain, dan mencoba menghargai temanku, itu kebahagiaan tersendiri. Aku juga bisa bercerita bebas dan jadi tukang bayol yang lepas, misal aku akan bilang dan memperkenalkan diri sebagai mantan aktor, dan pernah punya hubungan khusus dengan artis papan atas. Nah, dari proses itulah, awalnya mata-mata yang kaget, yang malu-malu, sungkan jadi cair dan ngakak bareng.
Bukan masalah basa-basi, atau memang kami suka hal-hal yang basa-basi. Entahlah! Sebelum masuk ke sesi. Kami lebih ringan melontarkan gagasan-gagasan kecil, mengenai hal-hal yang bukan serius-serius amat. Entahlah! Aku kadang tidak tahu, apa hidup ini sebenarnya basa-basi, atau hal-hal yang serius, terkadang terlalu serius juga akhirnya jadi basi. Dan yang dari hal basa-basi terkadang jadi hal yang serius walaupun pada akhirnya kerap juga terjebak menjadi hal basi. Sekali lagi, entahlah!
Akhirnya aku jadi pemandu diskusi saja, sebagaimana aku menolak dengan kata-kata penyair terkenal, aku lebih suka bilang ini proses belajar bersama. Dan aku bilang ini adalah proses belajar anak-anak, bukan aktivis, bukan akademisi, bukan politisi. Aku memandu dari apa yang dimaksud dalam tujuan diskusi tersebut dengan memancing lewat pertanyaan. Menurut kawan-kawan seni itu, apa? Hampir semua peserta punya pernyataan dan pengertian seni itu sendiri-sendiri dan beragam, serta luas, mulai dari bilang seni itu suatu yang menyenangkan, seni itu adalah senyuman, dan seni adalah suatu prilaku kita dalam kehidupan sehari-hari dan di ruang terkecil bernama keluarga.
Aku tak akan pura-pura bilang tak beruntung datang ke pertemuan kecil ini. pertemuan yang tak berbicara soal langit dan lupa sebagai mahluk bumi. Atau pertemuan hal bumi yang kadang jadi melangit sehingga lupa ada akar rumput yang belum bisa kita pahami. Pertemuan ini jadi satu yang sangat berharga, lewat tatapan mata jujur, mereka tak meminjam istilah orang lain dalam mendefinisikan seni itu sendiri. Maka, diskusi mengalir, mengalir seperti air, itu istilahnya saja, karena memang waktu begitu cepat belum sampai pada inti, dan hanya dasarnya saja.
Tapi, minimalnya banyak sekali yang aku catat, aku rekam, kata-kata mereka, tatapan mata, dan apa lagi ada peserta perempuan yang terbata-bata, terharu menceritakan sesuatu yang menimpa bapaknya. Walhasil aku menjadi tergugah menuliskan ini. Dari mereka aku kembali menemukan beberapa potongan manuskrip kehidupan yang seolah mereka itu adalah kitab-kitab yang disusun dalam kerangka manusia. Sehingga ada banyak sisi yang indahnya, memilukan bahkan aku pun sepakat dengan salah satu pernyataan dari peserta yang lain dan bilang. Saya tak tahu mendefinisikan seni sama halnya saya tak tahu mendefinisikan kehidupan. Ah, aku tertegun sejenak, perkataan itu bukan lagi silat lidah, bukan mengada-ngada. Daya cepat berfikirku menanggapi pernyataan itu, aku merenungi kata-kata itu dan aku akhirnya juga sepakat, kalau tak ada kesadaran mutlak, seperti tak adanya kebenaran mutlak atau hakiki, dan kadang seni dan hidup tak butuh didefinisikan, tapi seni dan hidup cukup dijalani saja. Wah, keren kataku. Ini memang pernyataan biasa, pernyataan biasa ini menjadi luar biasa, oleh karena kejujuran pengucapnya yang sampai pada titik renung yang dahsyat.
Dan lagi, ada hal yang ingin aku catat pada diriku sendiri, dari proses belajar seni dan berkesenian tersebutlah, aku menemukan satu hal yang kecil. Eh, aku lebih suka bilang hal-hal yang kecil ya? Sekali lagi, entahlah! Suatu yang ingin aku catat sebagai bagian dari kekayaan proses adalah di mana aku belajar melepas diriku menjadi orang lain. Proses ini bukan aku ingin meniru orang lain, atau tak bangga jadi diri sendiri. Namun, proses menjadi teman, mendengarkan curhat orang lain, dan atau saling mendengar dan memperhatikan, duduk tak lebih tinggi dari siapapun menjadikan diriku memetik hikmah. Bahwa, dalam berkehidupan teramat sulit kita menjadi teman yang baik atau mendapatkan teman yang baik.
Sangatlah banyak kejadian, kitab-kitab yang ada  dalam tubuh manusia, namun aku sendiri kerap gagal membaca, ini seumpama kitab, sebenarnya kita kerap gagal mendengarkan orang lain dan menjadi teman yang baik. Terkadang keterbukaan kita menjadi salah ketika teman kita lebih menutup dirinya dengan alasan segala macam. Terkadang, banyak sekali terkadangnya, dan terkadang kita mesti memerdekakan orang lain untuk menjadi dirinya dan kita berjalan pada arah dan tujuan yang berbeda. Dan terkadang panjang-pendeknya waktunya pertemanan tak mampu menjadi alat ukur bahwa diri telah berhasil menjadi teman yang baik dan mendapatkan teman yang baik.
Ah, itu bagian dari renungan kecil. Seharusnya aku tak memikirkan itu, seharusnya aku bersibuk-sibuk dengan urusan-urusan yang keren, berbicara spiritulitas, menjadi menebar kebajikan dan memikirkan negera ini yang katanya mulai kacau balau, Rupiah yang katanya terus anjlok diperkosa dolar, atau bencana-bencana yang sering dilimpahkan menjadi kesalah Presiden Jokowi. Eh. Tapi, aku masih belum bisa, aku masih selalu suka sibuk dengan hal-hal yang kecil. Hal-hal yang menyentuhku dan dari itu membuatku memompa pikiran untuk terus berputar di tempat itu-tu saja.
Hey, Mak! Pabian itu daerah mana seh? Ah, rupanya aku sudah keluar dari forum lesehan sastra itu, dan aku melanjutkan ke tempat yang lain. Di sana, ada urusan sedikit, urusan kecil juga seh. Hehe, dekat Gereja, Vihara dan Masjid dik! Jawabku. Sampai di tempat kakakku itu, kopi dan rokok telah tersedia sampai azhan isya. Aku bisa digojlokin sebagai seniman gila oleh kakakku. Aku suka dengan gojlokan itu. Karena yang aku tangkap dia tak marah, tapi hanya membuka ruang untuk bisa akrab denganku.
Pulang dari Pabian, mampir dua jam di Rumah mas Syaf Anton Wr. Di sana seperti biasa topiknya. Sastra dan pergerakan sastra, komunitas dan segala macam yang berhubungan dengan dunia tulis menulis. Aku jadi terbayang “Tanah Silam” telah lahir Cuma masih belum aku siapkan pestanya secara kecil dan sederhana. Setelah habis kopi. Kami berdua, menuju rumah mas Hidayat Raharja. Seperti di rumah Mas Syaf Anton. Di rumah mas Dayat sapaan akrabku ke beliau. Kami berbincang di seputar yang diobrolin di rumah mas Syaf Anton.
Dengan mata mengantuk, kami pulang. Di jalan pulang, suara apa lagi yang bisa kita nikmati? Kecuali nyanyian ku dan temanku sepanjang jalan itu. Mengusir dingin, lalu kembali ngebayol. Dan sampai di pasar Lenteng aku ingat rokokku tinggal berapa batang. Karena aku jarang bisa tidur malam. Maka, kami berhenti. Dan wow, ternyata aku lupa makan dan mandi dari tadi pagi. Kami pun makan bakso.
Kulihat hapeku, setelah aku cash dulu. Ada balasan sms dan inbok dari berapa kawan. Kujawab, aku sudah di rumah. Mencoba tidur gagal. Lalu, aku sempatkan balas. Hey. Sory aku kehabisan batre. Lalu, ada balasan dengan hanya mengirim emoticon. Aku balas lagi, kok belum tidur, tumben, lagi ngapain? Jawabnya. Tidak ngapa-ngapain. Sms berlanjut setelah akhirnya temanku itu balas. Aku baru selesai rapat, sudah seminggu aku di Bandung.
Aku merasa bersalah, karena dia bilang tak sedang ngapa-ngapain. Tapi, di ujung obrolan kami dia bilang baru selesai rapat dan sudah satu minggu di Bandung. Aku merasa bersalah karena aku telah mengganggunya. Dan, akhirnya aku sadar hal kecil ini aku akhiri sampai di sini. Capek! Udah empat halaman tak terasa. Hehe, tulisan ini tak aku edit. Capek! Asal dimengerti saja. Dan, aku selalu akan berjuang melihat semuanya dari sisi positivnya saja. Meski aku kerap gagal. Aku akan terus belajar.

UKM PELAR, SI RAMBUT GONDORONG SEMUA KAWAN, MAAFKAN AKU. AKU BERTEKAD JADI TEMAN YANG BAIK DAN BELAJAR UNTUK SEMUANYA ITU. SEHINGGA TAK ADA DUSTA SASTRA. MATAMU, KATAMU, ADALAH JIWAMU.

Minggu, 13 September 2015

DI DEKAT BUKIT

yang melintas di pikiran, di suatu senja, tadi
berjalan-jalan di kaki bukit, menikmati matahari
melihat latar rumputan, menikmati pemandangan
sepanjang pandang, lembah kupu-kupu
tebing tanpa air yang mengucur dari atas
aku tertegun, sembari aku raba tanah
aku heningkan diri, dalam sunyi

puisi-puisi beterbangan menjadi asap
berkabar tentang duka lara, di ladang-ladang
di hutan-hutan, telah banyak yang terjadi
seperti lelahnya mataku, menatap matahari
pelan-pelan menuju rembang lalu sebentar lagi
malam-malam akan mengemas segala letih
laki-perempuan akan pulang dan bukit ini
kembali akan sendiri, sendiri menatap takdir

aku masih mencari biru, pada ilalang
yang juga mulai memudar, sinar tinggal sedikit
hanya kepak burung-burung kembali ke sangkar
begitu jelas aku dengar, tapi kekosongan tiba-tiba
seperti gelas, atau seperti telaga yang kemarau.
tanpa alir air atau seseduh kopi menjemput mimpi.

Moncek, 130915

Kamis, 10 September 2015

BERKERUDUNG TEMBAKAU


Untuk Yuli Nugrahani

Bulan September seperti buah semangka yang kita lepaskan dari tubuh matahari dan bintang. Berlalu lalang kejadian-kejadian, antara Tanjungkarang dan jembatan Suramadu. Dua selat yang berbeda jauh. Kau yang meneriakkan, ayo rengkuh matahari itu! Tak bisa kita diam dalam malam-malam sunyi sendiri. Mesti ada yang memulai, seperti alam dan semesta ini. Kun, ada yang bergerak lalu mencipta benda-benda dan berpasangan. Mata-mata kecil kehidupan kita bagi jadi kekuatan, seperti mata api yang dibiarkan menyala, di matamu, di mataku.

Sekali waktu, kita akan bahasakan daun siwalan jadi cerita pendek yang penuh misteri, ke tepi ladang tembakau, kau bertanya, Jadi apa mereka setelah tua? Tapi kenyataan selalu menjawabnya telat, sepertinya memang pertanyaan itu hanya simbol kecil ketika matahari merias rambutmu. Lalu apa yang bisa diterjemahkan sunyi pada hening di dada kita berdua? Secarik senyum aku lempar, dan kau tak begitu pedulikan itu. Aku masih amat muda untuk menjawab sesuatu. Kataku:

Angka-angka jam begitu lesat, seperti mimpi bayi yang belum diingat ketika pagi tiba-tiba saja digaduhkan dengan langkah perempuan yang meladang, lelaki ke ladang, rumah-rumah sepi dan pohon siwalan seperti lambang misterinya. Fayakun, kejadian lebih bisa menerjemahkan detak jantung, denyut nadi dan selembar pertanyaan yang belum atau sudah pernah ada jawabannya.

Matamu, mataku, melihat kuntum tembakau yang serasa senyap dan memilih bisu sebagai bahasa.  Kita bergegas menuju Asta Tinggi, meneriakkan merpati di Taman Bunga, dan kembali menuangkan teh dalam segelas canda tawa lalu hening kembali menempati dada kita. Entah, matahari yang seperti apa yang dapat kita gambarkan, bila esok tiba-tiba ada yang berhenti dan tak bisa ditarik kembali.

Seperti mata petani, letih di antara tangisan hujan dan keringat matahari yang menetes di sekujur tubuh harga, di atas tanah yang tak kenal bibit aslinya atau pada tanaman yang diputar oleh musim begitu lamban, sekali itu juga, hening memilih tempat di dada kita, lalu kuletakan kerudungmu, di sela-sela kau mencari jawaban yang kasihan pada kuntum tembakau yang akan terbiar di kampung jerami, lalu puisi dan hening kembali memilih dada kita, kun, fayakun.


Moncek, 100915

Rabu, 29 Juli 2015

Bukan Ranting, Bukan Pinus Tanpa Kelamin


By : Fendi Kachonk
Ia bergegas menuju tempat biasanya. Tempat di mana ia bisa menerima telpon atau mau menelpon temannya. Sesampai di tengah ladang jagung, di samping kanan dan kiri pohon siwalan. Angin berkesiur begitu landai menerpa wajahnya. Wajah yang selama hampir setengah bulan kurang tidur. Makan tak teratur dan demam yang sesat menimpanya. Ia lalu bertanya, pada dirinya, pada segenap keheningan dan kenangan yang selalu nakal.
“Aku mencintaimu tanpa alasan, andaipun kau penus yang tanpa ranting dan kelamin, aku selalu akan sayang padamu karena visiku amat kuat akan hal itu.” Suara itu ia dengar kembali, kembali terngiang, kembali dapat dirasakan hadirnya. Hari ini ia menunggu telpon darinya. Seorang teman yang pernah datang membawa keyakinan dan semangat baru. Seorang yang selalu membuat dia kuat dalam menjalani hari-harinya. Di sebuah kampung, di desa kecil ia menjalani bagian takdirnya.
Dalam ia termenung, tak dirasakan olehnya Hpnya bergetar tanpa suara. Ia tersenyum, ada rasa bahagia melihat siapa yang menelpon. Lalu, ia menulis pesan. “ Maaf, tadi saya lagi melamun, telpon darimu tak keangkat.” Dan sambungan telpon genggam itu kembali bergetar. Ia telah berjanji untuk mengawali obrolan dengan santai dengan gembira agar situasi itu bisa kembali menjadi riang dan bahagia. “Hey, siapa aja yang datang ke kantormu?” tanyanya. Seperti biasa ia berusaha memberi kesan hangat dan memang ingin menyapa dengan hangat. “Oh, ndak. Cuma teman-teman kantor, kebetulan memang ada rapat internal kantor.” Suara ditekan di seberang serasa berat pelan meluncur.
“Kau kalau ingin pergi, pergi saja.” Katanya, lepas tanpa kendali meruntuhkan semua keinginannya di sisi yang lain. Ia menahan diri lalu mencoba membuka obrolan pada sisi yang lain. “Sebentar, bisa tidak kita ngomong dengan tenang, ngomong dan mampu mendudukkan masalahnya pada tempatnya.” Katanya kepada seorang perempuan di telpon genggamnya.
“Tidak bisa.” Lalu sebuah obrolan dengan desah ngos-ngosan tak dapat dibendung dan naluri membuat nalurinya kembali bangkit, Terasa sekali perubahan mimiknya. Wajahnya yang awalnya hanya tersenyum dan menunggu giliran ngomong tak ada. Maka ia lalu memotong dengan cepat. “Kenapa kalau pernyataanmu saja yang kamu anggap benar, bukankah kemarin juga kau mengatakan itu padaku. Dan, ketika aku yang mengatakan padamu. Kau menuntutnya. Padahal itu reaksi dari cara komunikasimu yang patah-patah?” sergahnya dengan cepat.
Ia menahan laju napasnya. Karena bagaimanapun ia masih menyanyanginya. Masih melihat banyak hal yang indah dan memang ia telah berjanji menerima apapun keadaaannya. Namun, sayang baginya. Dan bagi perempuannya semuanya itu dianggap pepesan kosong. Ribuan jarum jam. Hitungan hari dan bulan serta kenangan-kenangan dan pertemuan-pertemuan menjadi tak ada nilai baginya.
Hampir satu tahun, ia mengenang kembali sambil bergumam. “Dulu, ia selalu mengatakan tak penting pisik, tak penting rupa, dan tak penting kau bagaimana pun. Karena aku akan tetap sayang padamu, karena sayang ini tanpa alasan.”  
Tapi, sekarang berbalik arah, semua ada alasannya. Dan, alasannya adalah gara-gara FB, Fb yang selalu jadi momok masalah. Dan Ia pun mengingatnya. “Fb tidak penting, pernah ia berjanji juga, aku tak akan pakai fb.”
Tapi, pun begitupun, semua perkataannya, semuanya tak lebih dari igauan di siang bolong sama ketika hari itu, siang itu ketika ia memutus telpon tanpa salam, dan sama ketika ia dulu yang yakin akan perkataannya bahwa rasanya tanpa alasan, “Andai kau ranting, atau penus yang tak berkelamin kau tetap aku sayang sampai kapan pun.”

Kini ia sadar, kalau dirinya bukan ranting, bukan penus tanpa kelamin. Tapi, dirinya bukan lagi simbol-simbol yang pantas dibanggakan.