Selasa, 16 Februari 2016

MENEROBOS JEJAK SAJAK-SAJAK “TANAH SILAM” FENDI KACHONK



Membaca puisi membaca jejak imaji dalam lorong labirin - ‘sebuah sistem jalur yang rumit, berliku-liku, serta memiliki banyak jalan buntu. Labirin bisa menjadi permainan di atas kertas, namun dapat juga dibuat dengan sekala besar dengan menggunakan tanaman yang cukup besar untuk dilewati dapat juga dengan tembok atau pun pintu-pintu’ (https://id.wikipedia.org/wiki/Labirin). Sedang Fendi Kachonk dalam hantaran antologi puisinya menengarai dengan ‘jalan panjang dari sebuah proses pencarian dan pintu masuk untuk belajar mengenali semua yang ada dalam diri. Lebih-lebih mengenali alam sekitar yang semuanya dibungkus oleh kesatuan harmonika dan dinamika semesta yang tak mungkin dipisah satu sama lainnya.
Sepanjang perjalanan itu, puisi seolah mengecil terkadang meluas, atau sempit bahkan menjadi tak beraturan jauh panggang dari teori-teori yang dibaca di kelas dan bangku sekolah’(halaman v). Maka tak heran tamasya kali ini menelusuri jejak sajak dapat menemu hambatan yang cukup merepotkan.

SELAMAT PAGI FENDI
Ada bahasa daun cemara 
di tepian pantai 
saat hujan singgah 
kering sudah berlalu.
Ada yang terekam di sini 
dalam pikiran 
yang tak lekang 
oleh sapa angin ribut.
Aku menyapa padi-padi 
tempat aku lahir jadi benih 
dipatuk gagak hitam.
Kemarin aku bertahan 
kini kuucapkan kembali. 
Selamat pagi, Fendi.
Moncek, 2014

Pembukaan antologi dengan salam yang cukup sederhana untuk dicerna walau alur logikanya agak mengkhawatirkan menjebak dalam labirin makna menyempit terjepit teori linguistik pragmatik - pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni cara satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi. Morris (Rustono 1999:1) sebagai pencetus pertama bidang kajian ini mengungkapkan bahwa pragmatik adalah cabang semiotik yang mempelajari relasi tanda dan penafsirannya. (http://belajarindonesia24.blogspot.co.id/…/pragmatik-dalam-…).
Lihat bagaimana Fendi Kachonk membuka imaji bahasa daun cemara dan menutup dengan bahasa lain ’Kemarin aku bertahan/kini kuucapkan kembali’. Loncat kijang katak unggas di pagi waktu dalam empat bait empat baris per bait mengingatkan bentuk pantun atau syair lama ternyata telah berinkarnasi menjadi modern dengan loncatan bahasa semesta secara pragmatis sehingga burung gagak sudah tidak lagi melahap bangkai tetapi bulir padi yang bernas petani yang tak terjaga. Sajak ini seakan terbagi dalam tiga bait sampiran dan satu bait penutup sebagai isi seperti sudah ditengarai Nirwan Dewanto pada sajak Chairil Anwar - Kesetiaan Chairil Anwar terhadap bentuk-bentuk puisi lama sesungguhnya lebih besar daripada yang kita duga.
“Senja di Pelabuhan Kecil” juga memperluas konsep sampiran dan isi dalam pantun: bait pertama dan kedua adalah sampiran, dan bait ketiga adalah isi. Kedua bait sampiran tersebut adalah lanskap murni, yang seakan-akan dikatakan oleh orang ketiga. Tetapi sekonyong-konyong orang pertama, si aku, muncul pada bait ketiga, bukan untuk berseru, tapi bergumam lembut, menggarisbawahi apa yang dinyatakan kalimat pertama dalam sajak itu. Pola sampiran-isi ini muncul kembali dalam kuatrinnya yang lain “Derai-derai Cemara”: bait pertama merupakan sampiran murni, bait ketiga isi, dan bait kedua setengah-sampiran, atau kait yang memperantarai kedua bait. Sementara itu, sajak ini juga tampak lebih setia kepada bentuk syair: setiap baris adalah kalimat lengkap, dan setiap kalimat berusaha bertahan dengan jumlah maksimum enam kata. Variasi lain dari perluasan kuatrin-syair adalah sajak “Yang Terampas dan Yang Putus”:  Tetapi di situ Chairil memisahkan baris keempat dari setiap bait menjadi bait-sebaris tersendiri. (http://jalantelawi.com/2012/04/situasi-chairil-anwar/).
Kalau langsung meloncat pada sajak penutup antologi dapat terlihat bagaimana labirin yang membingungkan telah sirnah dan cukup jelas penyair mengolah kearifan budaya lokal lewat saja yang bercerita atau balada yang juga dilewati Rendra dalam menulis jejak sajaknya sebelum nantnya Rendra menjadi penulis pamphlet dalam bentuk puisi membicarakan pembanguan yang diunggah pada zaman era yang monopoitik. Rendra mengaku membrontak karena kecewa pada dirinya yang lemah seperti Catatan Editor ‘Puisi-puisi Cinta” (2015), Edi Haryono - ‘Penyakit saya sebenarnya ialah kesal dan marah. Objeknya ialah: keadaan. Saya tahu bahwa orang yang suka memberengsek terhadap keadaan ialah orang yang lemah semangat. Ia tidak bisa menguasai diri dan keadaan kelilingnya. Nyatanya memang demikianlah keadaanku waktu itu. kekesalan saya itu terutama karena saya kecewa terhadap diri saya sendiri. (halaman xiii: W. S. Rendra. 2015. Puisi-puisi Cinta. Yogyakarta: Penerbit Betang)
Simak puisi Fendi Kachonk berikut.

KEPADA ANAKKU
: Iman Dan Surga

Sini sayang mendekatlah 
kuingin ceritakan inti hati 
hatiku yang kuambil dari abah 
embahmu dulu suka mengajakku 
bercerita banyak hal.
Katanya, aku masih ingat selalu 
cintai orang yang dekat denganmu 
dekat dalam kebaikan 
dekat seperti aku dan kalian 
anak-anakku, bahasa ibumu 
bumi dan langit.
Meski kelak kalian terlunta 
tetaplah dalam gubuk sendiri 
gubuk yang sederhana 
gubuk yang mencatat tangis dan air mata 
seperti aku, emakmu, embahmu 
mengajarkannya pada kita. 

Bila ada yang datang dengan ikhlas 
buka pintumu seluas mungkin 
teduhkan mereka dari panas dan hujan 
suguhkan tikar pandan biar bisa rebah 
jagalah mimpinya sampai bangun.

Bahkan sayang, kalau mereka dahaga 
ambillah ke sumur belakang rumah 
tapi bila kering berlarilah ke tebing 
atau ke ngarai, atau ke lembah 
bila juga tak kau dapatkan.

Menangislah seperti Ismail 
hadiahkan air matamu untuknya 
di situ aku akan bangga 
bukan karena kalian dapat sembilan 
di raport sekolahmu 
tapi hatimu telah penuh nilai-nilai.

Rumah Surga, 19 01 14

Kuncian sajak ini menunjukkan begitu tawaduknya penyair sehigga menyitir ayat yang didapatkan dalam kitab suci tentang nabi Ismail. Kekuyuban yang santun akan pencari asal muasal sejarah agama manusia yang diyakini kelurusannya.

Menangislah seperti Ismail 
hadiahkan air matamu untuknya

Muhammad Lefand yang juga berdarah Madura lanskap sajaknya selalu mencoba menolak jadi pemuisi atau penyajak. Ini tertuang dalam pembukaan kumpulan sajak “Jangan Panggil aku Penyair”:
Keteguhan penyair pada pemahaman akan alam yang keras di bumi Madura sangat membekas sebagai warna kearifan budaya yang akan melengkapi pelangi corak puisi Indonesia atau Nusantara. Dari bilangan timur Jawa memang tidak sendirian dia, masih ada pendahulunya yang di antaranya memegang kendali Majalah Sastra Horison: Jamal D. Rahman, termasuk Abul Hadi WM, maupun D. Zawawi Imron. Tak pelak puisi Lefand menjanjikan tongkat estafet kepenyairan berdarah Madura.
Simak sajak Fendi Kachonk berikut:

BUKAN LAGI PENYAIR

Telah aku putuskan malam ini
jadi penyair apa peramal?
berulangkali sajakku gagal
melukis senyumu yang biru
seperti pedagang yang lupa
daftar belanjaan.

Aku dihadang bayangannmu
tak mampu kurayu dengan prosa
bahkan ketika melati kubawa
kau membiarkan dingin di sini
hati penyair lebih lengkap katamu
tanpa keriuhan tapi penuh kecemasan.

Kuputuskan tak jadi penyair malam ini
kuambil tongkat bukan pensil
berjalan menyusuri jalan malam
menatap bintang serupa ahli nujum
kuramalkan diri sendiri di sini
aku tercekik oleh kata-kata sepi

Moncek, 2015

Bait terakhir memang sebagai petisi untuk menjerumuskan onggokkan kata-kata itu hanya ramalan dan di masa depan akan hadir yang bukan penyair tetapi penyair dengan P (huruf besar!). Hampir rata penjelajahan Fendi Kachonk purna dengan kuncian sajak: aku tercekik oleh kata-kata sepi. Tak pelak daftar panjang penyair Nusantara akan makin menggelora seganas gulungan ombak samudera Indonesia.

Bogor, Pebruari 2016
Cunong N. Suraja (penyuka literasi khususnya puisi, Dosen di Ibnu Chuldun, Bogor)

(Catatan: Tulisan ini saya ambil dari postingan Abah Cunonk di sebuah group. )

Minggu, 14 Februari 2016

BAKAHEUNI



                                                            "Baiklah, aku akan mengulang kisahnya
                                                                     Pada ribuan meter, jarak tempuh
                                                              Mengembang dua selat, dua gelombang"

Kapal-kapal selalu membawa rindu
Pada bibir pantai, di suatu senja
Daun cemara menuliskan risalahnya

Wajah asing, disingsing keemasan
Di  rumah kerang ada istana air mata
Tempat sunyi diam dan ditinggal

Ada yang sengaja singggah di sini
Ikan-ikan di Bakaheuni menepi
Burung memilih sarang di cemara

Karang tak lagi meninggalkan kesan
Matanya mengantuk di kabin, dibawa ilusi
Seseduh sepi penyambut matahari pagi.


                                                                     "Baiklah, ini perkara gampang
                                                                   Gerimis hujan menyertai puisi-puisi
                                                            Pulang ke tubuh Haiku yang dituliskan senja"

Sabtu, 13 Februari 2016

HITAM-PUTIH TUBUH CINTA


: Fendi Kachonk

Begini, saatnya aku melihat ini sebagai bentuk renungan dari perjalanan yang amat singkat tapi meninggalkan jejak perjalanan yang begitu dalam pada hidupku dan mungkin pada bagian yang lain aku juga semakin dapat pelajaran tentang cinta. Kenapa cinta? Karena ini momentum yang tepat bagi sebuah kata “cinta” untuk direnungin. Bagi penyair ini seperti candu, atau bius yang bisa membuat lena bermimpi, atau bagi semua pemusik, cinta akan seperti lagu, serenada, seriosa, atau tembang dll.
Valentine Day, sebuah waktu yang bagi sepasang kasih adalah gerimis yang akan membuat mereka berteduh lalu moment romantik itu akan jadi kisah indah, meski suatu saat akan jadi moment dan mimpi yang lebih kejam dari apapun, dan kenangan akan jadi bulan-bulanan penyesalan, sebab apakah? Nah, pada konteks itulah, saya ingin ngelantur kesana dan kemari, menjadi suatu organ dalam bentuk rasa yang abstrak, dan mempertanyakannya dalam bentuk kata. Komitmen? Nah, ini juga yang menyebabkan kelahiran dari sebuah rasa bernama cinta butuh tempat yang teduh, agar semua lebih ngendap lalu sublim jadi sesuatu yang dicari yaitu “keindahan dan kebahagiaan.”
Barangkali, moment hari kasih sayang ini jadi tempat saya untuk kembali “me-napak tilas-i” semua demi sesuatu yang lebih besar dan mencoba menyimpulkan dari laku dan kata, dari keadaan dan kenyataan, dari kelukaan dan keceriaan. Pandangan saya, masih sama, meski sama juga mungkin bagi setiap pengalaman semua orang kalau sebenarnya cinta itu menghidupkan dan mematikan, dan kalau diliat dari sini, apakah saya akan sepakat, kalau kekuatan terdahsyat itu adalah cinta? Karena setelah menghidupkan, cinta juga mematikan. Saya ingin menyeret satu misal, seseorang yang anggun akan  jadi sungguh menyeramkan hanya karena cinta, atau sebaliknya, seseorang menyeramkan akan jadi sangat indah di pandang cinta. Dan, itu semua hasil dari rekayasa cinta atau rekayasa pikiran yang tak sanggup melihat perubahan.
Dan, ini lagi, apa yang dulu baik akan jadi jahat, jadi cuek, jadi songong, dan apakah itu cinta, dan apakah itu bentuk dari sesungguhnya roh bagi cinta. Misal, suatu hari ada yang datang lalu berkata. “Andai kau pohon yang ranggas, atau pinus yang gersang, bahkan bila kau adalah hewan yang tak berkelamin, sayang dan cinta ini tak peduli, dan semuanya masih tetap dalam payung cinta yang menghindarkan dari terik matahari dan dinginnya hujan”
Pada saat itu, segenap kepercayaanmu, karena ucapan itu diperkuat dengan semisal. “ Cinta itu adalah kata kerja, dan lalu menjadi satu tubuh dalam penyatuan, bukan pada sekadar dhahirnya saja, tapi semua visi dan logika” pasti, semua berdampak, dan bisa jadi itulah cara cinta dalam ucapan bergerak menambang lapisan kekuatan dalam tubuh manusia, dampaknya, semua hari jadi indah, kemana-mana kita akan bernyanyi riang, dan semua cerita akan lancar, komunikasi hanya membedakan dua warna suara, dalam bentuk yang berbeda, antara kasih dan sayang.
Seperti bunga yang rindu sentuhan kumbang, atau seperti kuncup yang ketika pagi selalu ingin menyambut sinar matahari untuk berubah bentuk menjadi mekar, itulah kekuatan cinta. Namun, tak sejati di jalan yang masih dihuni oleh kekuatan akal dan kepentingan, kebutuhan dan keegoisan, dan yang kanak-kanak akan menjadi sosok yang dewasa, tapi anehnya kerap yang dewasa lebih dari kanak-kanak biasa dalam melihat dan memandang segenap dinamikanya.
Saya sendiri, adalah orang yang selalu gagal memberi label apa, dan seperti apa bentuknya cinta, bahkan untuk mendefinisikan cinta saya tak pandai, maklumlah, mungkin ini didorongnya oleh pengetahuan dan pengalaman, atau apa ini semua akibat kemunduran dari cara berpikir yang kolot dan ndeso. Saya, menegaskan tak ada perayaan hanya untuk sehari dan tak ada tenggang waktu bagi saya dalam mengenali cinta. Lebih luas lagi, cinta adalah kehidupan, cinta pada siapapun dalam bentuk yang sama atau berbeda, dan apa juga seperti itu cinta mepekerjakan kekuatan nurani kita selama ini. Benarkah cinta itu bukan hanya kata-kata? Apakah kalau bukan hanya kata-kata, diam juga adalah cinta, dan menjadi orang yang sangat dingin juga cinta?
Saya ingin melek cinta, melek dari hanya kata itu, mungkin bagi orang ini jalan yang menelikung jalan yang ramai, lalu berhenti di depan gang buntu, hitam dan menyeramkan, sunyi dan sendiri, dan hanya ada bayangan kita, dalam gelap, dalam kelukaan yang purna, sebab cinta itu dalam sejatinya ruang hanya ada satu ruang yang diisi penuh lalu ditumpahkan dalam bentuk perpisahan, atau sama-sama menyadarinya, yang kemarin bukan cinta, dan yang kita katakan soal cinta dan keindahan waktu bersama hanya kata siluman dan syetan?
Benarkah dalam cinta tak ada tuntutan? Atau komitmen itu dapat kita bahasakan dalam bentuk pengorbanan yang senyap, pengorbanan yang luntang lantung dan berakhir luka sepanjang sejarah kehidupan kita? Saya ingin melihatnya lebih dekat, kalau cinta adalah komitmen, kebersamaan, dan kebersamaan itu sendiri tak saya bahasakan dalam setiap pertemuan ujud, tapi ruang-ruang yang dilipat atas kesamaan, atas berapa penyatuan, Berarti cinta juga punya cara menuntut ditunaikan sebagai bayi-bayi yang suka permainan, barang mainan, atau tempat untuk main-main.
Rupanya saya tak cukup kuat menelaah cinta dalam hidupku sendiri.  Saya akhirnya melihat sebagai bentuk universal. Misalnya cinta, adalah bentuk perhatian dan kepeduliaan pada semua yang ada di sekeliling kita. Kita bisa mencintai kucing kita. Kita bisa mencintai wajah kita, kita bisa mencintai keegoisan kita, atau kita bisa mencintai berapa umur dan berapa pengalaman kita dalam hidup. Tapi, apa dengan cara seperti itu, kita sudah benar-benar sepakat kalau bilang cinta itu membosankan, munafik dan sangat egois?
Sementara di sisi yang lain, cinta tak mau tumbuh sendiri, dia adalah bagian yang tak terpisahkan dari komunitasnya, pohon, air, gunung, batu dan hewan, tanah, dan semesta alam yang menjadi saksi atas kelahirannya. Haduh, bagaimana mungkin, bagaimana mungkin? Kita bisa berbincang dengan nyaman dengan seseorang yang ingin menembak kepala kita, dan membiarkan semuanya dirampas lalu sampahnya dibiarkan di jalanan, sedang sampahnya adalah kenangan yang dilahirkan dari kata cinta yang indah, cinta penyatuan, komitmen dan logika-logika yang melahirkannya dalam bentuk kata-kata.

Seperti air yang mengalir di ceruk-ceruk tebing. Saya juga pernah ada dalam situasi tersebut, dari muara yang bening, lalu dilempar pada tebing-tebing curam, ini akibat cinta, dan cinta ini mungkin juga bukan cinta, tapi ini pernah dikatakan sebagai cinta, sebagai keindahan yang hidup dan kini makin hidup dalam bentuk dendam yang diam.


PERGANTIAN TAHUN



Ada yang datang membawa dirinya
Mengendarai kabut dan awan
Lalu diam di antara jantung

Sepanjang jalan, ada yang tinggal
Dalam bentuk yang lain
Ia menyebutnya, bunga dari kenangan

Bentang jarak, tempuhan sajakku
Akhirnya diam, di sini, antara cerita
Seseorang menyerahkan dirinya

Pada perjamuan makan tahun ini
Tak ada pesta, bagi seluruh kehidupan
Hanya kembang yang menyisakan api
Di kabut tipis, tubuhnya jadi bayangan

Ada yang datang menyerahkan lagi
Sebentuk catatan kekasih, bagi selat panjang
Dibuai lirih angin, ditidurkan deru buih

Dan sajak ini, hanya menuliskan dirinya
Bagi yang ia sebut sebagai, bunga dan kenangan.


Moncek,  13 Feb 2016

Jumat, 05 Februari 2016

FORUM BELAJAR SASTRA PERKAWINAN SALING SILANG ANTAR ETNIS



: FENDI KACHONK
Forum Belajar Sastra Pertemuan ke III di Pujuk Pongkeng


Bahwa suatu ini hanya menjadi kenangan itulah keniscayaan. Tapi, tetap saja saya ingin menghormati sebagai sebuah kekayaan dari proses saya secara pribadi mungkin juga kekayaan dari semua proses kami semua yang terlibat dan memilih untuk bersama. 

Kemarin, saya sempat kaget, hampir meloncat dari ranjangku. Jam menunjukkan angka 7.48 WIB. saya segera buru-buru mencuci muka lalu sarapan walau saya rasakan ada malas yang luar biasa karena di luar sana saya sempat melihat gerimis, Bagaimana saya akan berangkat ke pertemuan Forum Belajar Bersama (Forum ini adalah hasil pernikahan berbagai etnis komunitas atau semacam kawin saling silang tapi ide dan gagasannya dibuat dari Komunitas Kampoeng Jerami). Meski dengan kecemasan oleh berapa kali saya memahami tubuh yang rentan dan mending hujan sekalian.


Selesai sarapan, saya menekatkan diri, setelah berapa kali mengangkat telpon yang isinya keragu-raguan dari berapa kawan. Maklum kemarin itu, kami semua bersepakat membangun fondasi dari rumah kami bersama, meski sebenarnya proses ini sudah berjalan ke-tiga kalinya yang diawali dari pertemuan sekitar 5 orang di Taman Baca yang kelola, lalu pertemuan kedua di kediaman Suaidi dan di tempat inilah saya juga mengalami semacam kegembiraan yang tak terduga. Karena yang datang banyak dalam artian saya tak mengira akan seperti itu. 


Sekitar 30 orang lebih berkumpul dan bersepakat ingin belajar menulis sastra, entah itu dalam bentuk prosa, cerpen atau puisi dll. 

Pertemuan Kedua FBS 


"Kami ini belum bisa menulis kak! Kami ini masih ingin memulainya kak! Sambutan semangat mereka membuat saya juga memilik semangat, atau saya akan merasa tertodong dengan pertanyaan begini. Bagaimana cara menulis puisi kak? atau seperti ini, menulis cerpen itu bagaimana kak? Saya dengan tegas bilang begini. 

Saya juga tak tahu menulis cerpen, menulis puisi dan yang saya bisa sekarang adalah menawarkan konsep belajar bersama dengan model per satu semester dengan membuat workshop yang mandiri dan berguna untuk kita semua, dan dalam satu semester kita akan mengevaluasi se berapa jauh out put dari input selama kita belajar. Tentu, cara menilai dan mengevaluasinya yaitu ketika kawan-kawan semua sudah mengaplikasikannya dalam bentuk tulisan. Itu sanggahanku. Karena jujur, saya masih dalam proses yang sama. Sama dengan kalian, sama ingin belajar sastra bersama-sama. Maka inilah guna Forum Belajar Sastra."

Kemarin, sekitar jam 8 an, agak molor dari agenda yang ditentukan, dengan berdendang kecil, saya mengendarai motor, dan berapa meter dari rumah ada barisan pejalan kaki. Saya melihat 4 orang remaja perempuan sedang menunggu angkutan umum. Saya mendengar sedikit suara mereka. Itu Kak Fendi udah berangkat! Sempat saya berhenti dan melihat mereka. Lalu, saya ingin membonceng sebagian dari mereka cuma tak mungkin bila motorku dinaiki 5 orang tak bakal muat. Ah, dalam hati saya berkata, maafkan saya, nanti saat saya punya truck saya ajak kalian semua.

Sampailah saya di puncak Pujuk Pongkeng, keindahan alam, dingin dan sambutan ruang yang aneh, sambutan yang saya rasakan dari alam yang pernah hanya dua kali saya kunjungi, berada di Kecamatan Bluto dan dari ketinggian semua alam yang begitu indah bisa dipandang. Ini sangat menyehatkan mata, kata saya pada dua orang yang sudah menunggu kami untuk belajar. 

5 orang berkumpul. Saya membantu proses belajar dan berdiskusi dan merumuskan beberapa hal, struktur, menejemen, kas dan alur komunikasi serta keterlibatan aktif dalam forum ini, intinya kami sepakat, bahwa ada yang bertanggung untuk mengerjakan berapa hal dan bertanggung jawab pada kenyamanan forum, hp silent, kas yang berdasarkan kesadaran dll.

Hampir Sholat Jumat, di sela keterbatasan waktu itu, kami sempat tertawa bersama, menjaga kebersihan Pujuk dan memaripurnai kegiatan dengan foto-foto bersama. Semua orang adalah guru, dan semua orang yang hadir turut berdoa. Semoga ini mengembirakan dalam semua dinamikanya.

" Mengendarai gerimis dan doa, melihat keindahan alam lalu belajar bersama, semoga semua bahagia memilih jalan bersama dan sastra"


Sabtu, 30 Januari 2016

DIA YANG MENOLAK SADAR DIRI

Bedah Buku Sastra " Tanah Silam" Karya FENDI KACHONK di Perpusda Mojo Kerto
Pembicara Dadang Ari Murtono, Moderato Akhmad Fatoni


Sebuah kuasa lain datang ketika saya sedang, membaca antologi puisi Tanah Silam, karya Fendi Kachonk. Ke dalam kepala saya, kuasa yang tidak bisa saya jelaskan itu menyusupkan sebuah paragrap yang berasal dari ceramah Jorge Luis Borges di Harvard University berjudul Kredo Seorang Penyair. Berikut saya satin susupan tersebut:
Saya kira salah satu dosa sastra modern adalah bahwa ia terlalu sadar-­diri. Misalkan, saya menganggap sastra Prancis merupakan salah satu dari sastra besar di dunia (saya kira tak ada seorang pun yang akan membantahnya). Namun saya merasa bahwa para penulis Prancis pada umumnya terlalu sadar-diri. Penulis Prancis mulai dengan mendefinisikan dirinya sebelum dia cukup mengetahui apa yang akan dia tulis. Dia berkata: Apa yang seharusnya ditulis oleh (misalnya) seorang Katolik yang lahir di daerah tertentu, dan mejadi seorang sosialis? Atau: Bagaimana kita mesti menulis setelah Perang Dunia Pertama? Saya menduga banyak sekali orang di dunia ini yang bergulat dengan persoalan-persoalan yang menyesatkan itu.
Saya tidak tahu apakah saya setuju atau tidak dengan apa yang disampaikan Jorge Luis Borges tersebut. Saya tidak tahu apa buruknya orang yang menulis dengan terlebih dahulu membuat dirinya sadar-diri sehingga layak disebut sebagai dosa. Tapi saya sadar satu hal, bahwa susupan dari kuasa lain itu tidak tiba-tiba ada tanpa tujuan tertentu. Dan saya memerlukan waktu hingga tiga puluh detik untuk menyadari bahwa kutipan tersebut bisa saya gunakan untuk memasuki puisi-puisi yang terhimpun dalam antologi Tanah Silam itu. Tentu saja, sebagai sebuah cara atau pintu masuk, kutipan tersebut adalah satu dari banyak cara lainnya, satu pintu dari bejibun pintu lainnya. Dan saya yakin, kita tidak akan berdosa seandainya tidak menggunakan pintu yang ini dan memilih pintu yang lain. Tambahan lagi sifat karya sastra, yang multi tafsir menjadikan hal ini teramat legal. Ingat pula apa yang pernah            diucapkan Sapardi Djoko Damono bahwa karya yang baik mengundang tafsir yang banyak. Saya lupa seperti apa persisnya, tapi saya rasa begitulah kira-kira.
Ketika saya membaca judul kumpulan ini, saya mengira di dalamnya saya akan menyaksikan panorama Madura (pulau di mana penyair kita ini lahir dan tumbuh) masa lampau, lepas dari definisi sejauh apa "Lampau" itu sendiri. Dalam benak saya, terbayang puisi-puisi dari beberapa penyair Madura yang pernah saya baca karyanya, semisal Shohifur Ridho atau Mahwi Air Tawar atau Achmad Mukhlis Amrin, atau Khalil Tirta Anggara yang teramat kental warna Maduranya. Tapi saya keliru. Memang ada sejumlah puisi yang berbicara tentang pulau yang selain terkenal dengan garam dan celuritnya juga lazim diketahui sebagai penghasil sastrawan tersebut, namun jumlahnya begitu kecil, nyaris tenggelam di antara lautan puisi lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan Madura.
Dewasa ini, sastra Indonesia dibanjiri dengan karya-karya yang mengusung tema-tema kelokalan. Saya menduga hal tersebut berkaitan erat dengan Bahasa Indonesia sebagai material penciptaan karya. Bahasa Indonesia, bagi banyak penulis, adalah bahasa asing yang dengan susah payah harus mereka terima sebagai konsekuensi karena kita telah menyatakan diri sebagai satu bangsa yang memerlukan satu bahasa persatuan. Dan itu bukan perkara mudah lantaran dalam kesehariannya, mereka berbicara dengan bahasa ibu mereka. Mereka yang berlatar Jawa berbicara dengan bahasa Jawa, mereka yang berlatar Sunda bicara dengan bahasa Sunda, dan mereka yang berlatar Madura juga berbicara dengan bahasa Madura. Pada momen itulah, Bahasa Indonesia menjelmakan dirinya menjadi penjajah dan para penulis mesti tunduk kepadanya. Tapi tunduk bukan berarti tidak memiliki keinginan untuk melawan. Dalam keadaan terpepet, para sastrawan itu mengembangkan gaya perlawanan terhadap hegemoni Bahasa Indonesia, dan melalui nilai-nilai kelokalan, mereka mendapatkan celahnya.
Karena itu, paling tidak berdasarkan pengalaman saya pribadi yang kebetulan juga menulis sedikit puisi dan prosa, sebelum menulis, para sastrawan mutakhir ini merumuskan dirinya sendiri, menjadikan dirinya sadar-diri dalam terminologi Borges. Sebagai orang Mojokerto, seperti apa saya harus menulis. Sebagai orang Padang, bagaimana saya mesti menulis. Sebagai orang Madura, bagaimana saya mesti menulis.
Dalam kondisi semacam ini, Fendi Kachonk adalah sebuah anomali. Saya tidak tahu apakah dia membaca Borges atau tidak. Tapi apa yang telah dilakukannya dalam buku ini adalah (bagi saya) fase praktis dari apa yang didengungkan Borges puluhan tahun sebelum hari ini. Sebagian besar puisinya adalah puisi-puisi yang tidak mewakili "sebuah" Madura. Dia melepaskan diri dari identitas Maduranya, dia menjadi tidak sadar-diri. Artinya, puisi-puisi itu bisa juga ditulis orang yang berlatar suku bangsa-suku bangsa lain di seluruh dunia. Dia mengamini Borges. Dan di masa yang seperti sekarang ini, hal ini sangatlah menarik. Sebuah tawaran yang menantang untuk dibicarakan dan diteliti.
Upaya Fendi untuk menjauh dari sadar-diri ala Borges ini memang tidak mudah. Meski sedikit, ia juga menulis puisi-puisi tentang Madura. Dari yang sedikit itu, puisi berjudul Menatap Jembatan bagi saya adalah puisi Madura yang paling berhasil, Itu bila kita melihatnya dari kacamata yang lain.
Dalam konteks menghilangkan sadar-diri, Fendi bergerak semakin jauh dengan mengabaikan dirinya sebagai penyair. Seorang penyair adalah seorang yang individual. Ia bekerja sendiri. Bahkan sekali pun ia terlibat dalam sebuah komunitas, proses kreatifnya adalah miliknya sendiri. Dalam beberapa puisinya, Fendy malah menolak ke-individuan seorang penyair. Beberapa kata ganti jamak semisal "kita" atau "kami" seperti memberitahu kepada kita bahwa Fendi sebagai individu telah tidak ada. Ia ada bersama beberapa orang lain, dan ia menyuarakan apa yang orang-orang lain itu ingin suarakan. Puncaknya terdapat pada puisi berjudul Layang-layang Kertas. Pada paragrap terakhirnya, ia menulis: puluhan orang berbanjar menyiapkan foto kenangannya/ untuk dipajang di dinding sebagai sisa perjalanan. Aku/ juga. Sebelum nanti taliku putus, melayang lalu hilang.
Ia dengan Santai dan terang-terangan memaklumatkan dirinya sebagai bagian dari puluhan orang yang berjajar. Dia adalah apa yang pernah disebut Afrizal Malna dalam salah satu puisinya sebagai Masyarakat Rosa. Apa yang menyebabkannya menempuh pilihan semacam itu? Media social? Atau apa?
Puisi lain yang tak mungkin kita lewatkan dalam pembicaraan perihal Fendi dan Borges adalah puisi berjudul Perempuan Pasar Tradisional. Ia bercerita tentang pasar Settoan sembari mengilangkan sadar-diri-nya sebagai orang Madura. Maka jadinya. kata ganti “settoan" hanya muncul sekali dan kemudian dilindas dengan kata ganti "pasar tradisional". Madura dalam puisi itu ada untuk sekadar menjadi tidak­ ada. Madura muncul untuk digantikan kosmis yang jauh lebih luas.
Jaman semakin bergerak ke depan, sesuai sunnahnya. Pada akhirnya, mungkin, kita yang berbahasa ibu selain Bahasa Indonesia akan menerima bahasa asing itu sebagai bahasa yang tidak menjajah. Dan kita akan berbicara seperti bangsa Indonesia berbicara, dan bukan sebagai orang daerah yang berbicara dengan bahasa Indonesia. Dari puisi-puisi Fendi Kachonk, barang kali kita bisa mendapat wacana untuk memulainya.

Dadang Ari Murtono, Penyair dan Cerpenis. Mojokerto


Selasa, 01 Desember 2015

CINTA TAK AKAN PERNAH PERGI

Malam ini, rupanya ada yang aku mesti tuntaskan. Hal yang mungkin belum tuntas dan tak ada kata tuntas di dalamnya, seperti semacam kesadaranku, di mana aku mesti terus bertahan dan belajar sendiri lagi. Meski aku paham aku mesti hati-hati untuk tidak masuk ke dalam arus yang sama dan gelombang yang sama. Seperti pada kenyataan selalu ada yang putar dan terulang kembali. Mungkin hal begitu juga yang dirasakan orang lain, atau orang-orang sekitarku. Hanya ingin mengatakan dan menyimpan ini sebagai satu bagian dari perjalanan satu tahun.

Di awal tahun itu aku memetik bunga begitu indah, begitu kunikmati setiap senyuman, dan keluasaan dekapannya. Meski yang terulang pada sisinya adalah kodrat dan kedalaman prinshipnya. Dan, Prinship itulah jurang pemisah bagi segenap aliran yang ada. Bagaimana tidak, ada ribuan pertanyaan di sana, misalnya benarkah kau mampu memberikan pelukan pada segenap orang? Jawabnya pasti iya.

Sedang bagi mata hinaku, memandang pernyataan itu adalah kemudahan semata, di mana semua orang adalah kumbang pagi putik sari yang selalu aku jaga, bagi bunga yang selalu kusiram, aku tak paham, di mana konteks peleburan, bila masih ada yang rahasia dan yang disembunyikan, bukan cinta itu adalah kepolosan bagi dua pasang merpati yang sama-sama menebar perdamaian. Seperti novel yang baru aku baca langsung dan aku seolah jadi aktor dalam sebuah film, di mana aku juga bukan sahrurh khan yang membuatnya terjaga sampai jam 01.00 Malam. Iya. Aku bukan aktor India itu. Aku bukan, hanya sekeping perjalanan yang sama yang terulang dan diulang dalam hidup dan mimpi.

Ngomong soal cinta, difinisi bagi sepasang kupu-kupu berbeda. Pasti!. Tapi apa dalam perbedaan itu menyarukan keyakinan debar hati dan denyut rindu yang tak tahu rimbanya.? Entahlah, hanya malam ini saja. Malam ini saja. Rindu seperti gundukan es dalam dadaku, atau mungkin dadaku telah jadi kulkas, sedingin inikah rindu? Aku mencatatnya dengan bahagia, memandanginya, mengingatnya dan tak satu detikpun untuk melupakan itu. Di mana awal segalanya terjadi, dan setiap keadaan yang merekatan, Cinta penyatuan?

Aku belajar mendengar ingin jiwaku, yang tak mau memadamkan lilin meski sekecil apapun apinya, atau sebesar apapun hembusan angin pada tubuhnya. Dengarlah, belajarlah mendengar jiwamu? Masihkah diam itu sebagai ujud dari kedewasaan. Aku mencatatnya dengan bahagia, aku mengenangnya dengan igauan Ra Madasa.

AKU BAHAGIA KARENA AKU BERSYUKUR DENGAN ADANYA CINTA.
AKU BAHAGIA KARENA AKU MENGENALNYA
AKU BAHAGIA KARENA AKU JUGA KARENA KAMU

Yo.

021215