Jumat, 04 Maret 2016

MENUJU WORKSHOP MENULIS PUISI/KELAS PUISI ALA FORUM BELAJAR SASTRA FBS



Saya, ingin mencatat ini sebagai sesuatu yang penting dalam perjalanan proses Forum Belajar Sastra yang tadi, Jumat, 04032016 sebagai pertemuan ke enam. Sedang untuk pertemuan yang kemarin saya tak punya sempat untuk menuliskan sesuatu. Maka saya ingin mencoba menuliskan dua pertemuan dalam satu catatan ini.
Jam, 6.30 WIB, sendirian saja saya bernyanyi kecil ke arah timur, ke tempat biasanya, Pujuk Pongkeng di Desa Aeng Baja Raja, sebagai tempat kami berdiskusi, baca puisi, bahkan sekadar bersama sebagai mula dari aktifitas rutin kami. Sebelumnya saya sempat menelpon Ramsi meski saya sengaja tak menanyakan apa dia akan berangkat bersamaku, atau berangkat sendiria. Karena tumben saya ingin lebih dulu sampai ke Pongkeng, saya ingin merasai sendiri di sana, merasakan desir anginnya yang dingin, ingin memandang pemandangan yang bisa terjangkau, seperti laut di selatan, dan dereta rumah-rumah yang seperti titik kecil di bagian utara.
Sampai di Pongkeng saya tak melirik jam sudah pukul berapa. Seperti biasanya saya akan berdiri mematung di depan Asta. Sebuah makam penggerak bahkan mungkin pahlawan yang sudah pasti beliau adalah pejuang walau entah saya tak begitu paham silsilah dan ceritanya. Memang sedikit aneh, sebab makam ini hanya ada satu keluar dari kelaziman yang ada. Biasanya minimal sekali akan ada makam-makam yang lain seperti biasanya makam-makam di Asta Tinggi, Asta Moncek. Tapi, yang ini tidak. Kemana yang lain? Semisal anak dan keluarga serta kerabatnya? Tiba-tiba saya merasakan sedikit energi, ah ini bukan perkara mistik atau metos, sebab itu semua lahir dari pertanyaan kecil yang dijabar-jabarkan sendiri oleh saya. Misal, betapa hebat kalau dalam berjuang, atau jalan sunyi dalam sebuah ide dan gagasan bertahan meski hanya sendiri. Saya lalu menariknya kepada saya sendiri. Lebih semangat, karena saya tak sendiri.
Sehabis mematung saja, dan melihat-lihat sekeliling dari makam itu meski hanya dengan gerakan mata, saya berpindah tempat ke aula, sendirian saja, saja memejamkan mata, saya membiarkan energi yang bersih oleh segarnya udara pagi tadi membuat saya merasa nyaman. Oh iya padahal ketika saya sampai ada dua anak muda, duduk di aula itu, Cuma ketika saya memilih diam dan tak sekadar saja menyapa mereka memilih meninggalkan aula tersebut. Bathinku anak-anak ini pasti kawan baru yang mau gabung dengan diskusi sastra.
Setelah cukup merasai hening. Saya, melihat HP saya, kutemukan di sana ada inbok Yuli Nugrahani Kawan jaringan Kampoeng Jerami yang baru saja membalas pesan saya tadi malam. Saya biasa memanggilnya kakak, pagi katanya, saya lalu ngobrol sejenak di inbok, meski tak panjang seperti biasa ia akan sibuk dengan aktifitasnya dan memang saya sudah ada teman yaitu Juru Kuncinya tempat ini. Juru Kunci saya tawarin rokok saya dan kami saling merayakan dingin berdua. “ajaklah kawan-kawanmu anak muda, saya suka kalau tempat ini tak hanya jadi tempat gitar-gitaran saja, tempat pacar-pacaran” di hening yang kesekian waktu kami sedang sibuk dengan alam pikiran sendiri-sendiri. Saya, hanya tersenyum, dan beliau memang menyuport kegiatan kami. Meski kami terus mencoba mempertahankan kepercayaan itu semisal: habis diskusi kami biasa membersihkan tempat kami ngobrol bersama-sama.

Di Group BBM, saya sempat membaca beberapa kata ijin dari beberapa kawan-kawan FBS, “ maaf kak, sekarang kami sedang UAM, atau semodel ini, Maaf kak, Saya sedang mengawasi UAM”
Ada rasa ragu, ada rasa cemas, tapi kata temanku yang selalu kuingat pesannya, “cemas tak akan mengubah apapun, lalu mengalirlah, terimalah apa yang sudah ada.” Tarikan napaspun pelan-pelan kulepas.
Tapi, di luar dugaan semuanya tak terjadi, kecemasan itu hanya semata-mata kecemasan, pean-pelan dengan jumlah kawan yang datang, sekitaran 10 orang saya membuka diskusi dengan beberapa hal obrolan yang fokus tapi santai. Dan, ternyata benar-benar memuaskan hasilnya, sampai jumlah yang hadir 35 orang, meski untuk peserta perempuan yang biasanya lebih banyak hanya sekitaran 6 orang yang datang. Tak mengapa, ini proses naik dan turunnya, di samping UAM dll hal. 
Sebagaimana, pada pertemuan sebelumnya, yang kata saya tak ada sempat untuk saya tuliskan, semangat mereka belajar terlihat dari matanya, dari keguyuban ketika tertawa dan ketika sharing soal dunia tulis menulis yang sama-sama ingin kami mulai dengan cara belajar bersama. Pada, pertemuan kali ini, ada proses pelaporan KAS FBS yang sudah mencapai 14.500 rupiah dan sudah punya tabungan resmi dari BMT. Kamipun tertawa karena kita cara menghitungnya adalah 14 juta 500 ribu rupiah. Mengalir sampai pada pembahasan, kapan work shop kepenulisan dimulai. Lalu, satu-satu mengeluarkan pendapat dengan melakukan pemetaan awal, lebih dulu mana, kelas cerpen atau kelas puisi dan ternyata memang secara demokratis banyak memilih kelas puisi dulu. Diskusipun egitu cepat dengan seperti yang saya akan tuliskan di bawah ini:

1.   Workshop menulis puisi/ kelas puisi akan dilaksanakan pada tanggal, 18-19 Maret 2016 bertempat di Sanggar Bunyamin Gilang dengan ketentuan ijin dari pihak pengasuh. Dan pada catatan ini ternyata saya sudah dapat kabar kalau Pengasuh lembaganya telah memberikan ijin kepada FBS.

2.  Peserta adalah anggota FBS dan beberapa lembaga yang sengaja akan FBS mintai delegasinya minimal 2-3 orang peserta.

3.     Pendanaansementara ini karena Kas sampai pertemuan ini selesai baru berjumlah sekitar 40, 000,- maka peserta secara mandiri melepaskan pendanaan, dengan cara setiap peserta membawa makan siang-siang sendiri, alias bekal sendiri =-sendiri dan akan dilaksankan makan bersama sesuai bekal masing-masing (ini akan jadi tradisi menarik bila kami bisa pertahankan. hehe)

4.     Cetak Banner dan transportasi Pembicara sementara ini akan ditanggung oleh Kampoeng Jerami sebagai pendiri dan penggagas Forum Belajar Sastra.

5.  Pembicara Hari Sabtu, tanggal 19-03-2016 dari jam 8. 00 WIB-selesai (sehari) akan menghadirkan pembicara, K. Muhamad Zammiel Muttaqien Pengasuh Bengkel Puisi Guluk-guluk. (petugas komunikasi ke Pembicara, Fendi Kachonk)

Sungguh, inilah kebahagian saya pada hari ini, di samping kegembiraan yang Yuli Nugrahani sampaikan secara singkat, “ Fendi, catat semua proses forum belajar sastra itu, nanti takutnya kita kehilangan masa untuk menuliskan sejarah versi kita, Kampoeng Jerami, dan seluruh kawan-kawan FBS, itu penting, penting dan mohon doanya sehabis sholat Jum’at saya pembukaan warung kami, WARUNG BAKSO DAN AYAM MIE DENMAS,” katanya.



Saya mengucapkan selamat ke kak Yuli Nugrahani dan dapat inbok dari Umirah Ramata, “Say welcome to the world untuk ponakanmu ini” foto anak yang baru lahir, perempuan telah lahir dari rahim Umirah Ramata, saya girang, Umirah Ramata adalah adik dan perempuan hebat yang selama ini membantu Kampoeng Jerami dalam proses pengarsipan, lay out dan mengurus ISBN. Selamat untuk kami semua, Forum Belajar Sastra dengan persiapan Workshopnya, Yuli Nugrahani dengan warung barunya, Umirah dengan anak perempuannya. Terima kasih ya Allah, terima kasih.  Dan, pertemuan kami ini ditutup dengan baca puisi, monolog, senyuman dan tawa, semoga semangat ini selalu menyala. Amin.

Senin, 22 Februari 2016

“Ketika Sekumpulan Puisi Bercerita"


(essay terhadap antologi "Tanah Silam" karya Fendi Kachonk)
Oleh : Nugraha, AT Malaysia



Beragam cara pandang, penilaian dan pengungkapan terhadap bangunan puisi telah banyak kita temukan saat ini. Secara umum, bangunan puisi dinilai secara hermeneutik atau dari sudut pandang pembaca dalam menangkap makna dan imajinasi yang mereka tangkap dari baris, bait dan seluruh tubuh bangunan puisi yang ditulis penyair. Secara khusus, bangunan puisi lebih jauh dikaji dan telaah dengan stilistika oleh sebagian kalangan akademisi dan penggiat sastra. Pandangan penilaian stilistika jauh mempertimbangkan struktur puisi yang meliputi diksi, majas, pemilihan kata, citraan, pola rima, tema, tipografi, dan bahkan ada istilah “mantra” dalam bangunan puisi. Namun dalam kajian ini saya lebih umum mengungkap dari sudut pandang penafsiran teks yang saya tangkap dan cerna dari penghayatan terhadap satu-persatu bangunan puisi dalam antologi “Tanah Silam” karya Fendi Kachonk. Saya mencoba menafsirkan dan menguraikan pandangan saya terhadap sekumpulan bangunan puisi yang cukup menyita waktu saya untuk menimbang dari sudut dan subjek mana saya harus berikan pendapat dan penilaian saya.
Puisi adalah jembatan penyampaian komunikasi pikiran dan perasaan dari penyair kepada pembaca. Bagi saya, puisi bukan saja bermain dalam kata-kata, namun juga harus mampu masuk dalam pikiran dan perasaan pembaca. Puisi ibarat wadah kegelisahan dan imajinasi penyair yang disampaikannya dengan susunan kata-kata yang tepat, sehingga bukan saja menampilkan keindahan rima, nada dan padanan frasa yang kuat. Namun juga mampu menghipnotis pembaca dalam dimensi yang berbeda dan tidak biasa. Beberapa karya puisi Fendi Kachonk seperti “Perempuan Kecil”, “Disebutlah Kenangan Itu”, “Sabda Musim” dan “”Nong Pegga” merupakan sebagian dari bangunan puisi yang saya nilai mampu menyita imajinasi saya. Susunan bait-bait bangunan puisi tersebut seolah memberi ruang untuk saya masuki dan ikuti arah perginya. Menurut saya, Fendi Kachonk telah berhasil meramu bangunan puisi yang terbebas dari stigma bahwa puisi adalah permainan kata-kata yang indah saja. Fendi telah jauh melampui batasan itu, bahkan telah mampu membawa pembaca awam sekalipun untuk masuk dalam ruang imajinasinya.
Bangunan fisik puisi tak lepas dari penggunaan diksi sebagai alat atau ornamen yang memperkuat gaya bahasa dan pengimajinasian puisi. Pada beberapa bagian bangunan puisi dalam antalogi “Tanah Silam” saya banyak temukan beragam bentuk diksi, baik diksi konotatif, diksi imajinatif dan diksi konkret. Saya tidak dapat menyebutkan contohnya satu-persatu, namun secara keseluruhan kumpulan puisi milik Fendi Kachonk telah memenuhi syarat dari sudut penggunaan dan penempatan diksi-diksi yang tepat pada baris, bait maupun frasa dalam bangunan puisi. Hal ini tidak sederhana, karena tidak semua penyair mampu menyusun dan menempatkan diksi-diksi yang khas serta sesuai kebutuhan dari tubuh bangunan puisi, bahkan seorang penyair matang pun sangat butuh kepekaan dan kejelian untuk mampu menempatkan diksi-diksi pilihan dalam bangunan-bangunan puisi yang tentunya dibanguan dengan beragam tema dan tujuan. Fendi Kachonk secara sistematik berhasil menghubungkan kata-kata yang tepat untuk digunakan sebagi media penyampaian makna serta gambaran imajinasi yang ingin ia sampaikan pada awam (pembaca).
Puisi sebagai dongeng penyair tentang dunianya, bahkan puisi dianggap simbol pandangan penyair terhadap dirinya sendiri dan lingkungan tempat ia berada. Puisi dapat bicara tentang keadaan dan waktu, bahkan bercerita banyak tentang realita kehidupan nyata. Beberapa puisi karya Fendi seperti “Sepasang Dadali”, “Kosong”, “Suatu Siang”, “Layang-Layang Kertas” dan “Senja” adalah sebagian dari beberapa bangunan puisi yang bicara secara kontekstual menggambarkan suasana dan sesuatu yang direnungi oleh Fendi Kachonk. Puisi-puisi tersebut ibarat rekaman jejak tentang apa yang ditangkap dan dibaca oleh Fendi Kachonk dalam realita yang ia simpan dalam ingatan lalu kemudian ia tumpahkan dalam bentuk sebuah karya, yang bukan hanya bercerita namun juga mampu ikut mengajak pembaca ikut merasakan suasana yang ia tangkap dari kenangan itu. Ada komunikasi yang segar dan efektif serta estetis (bertujuan) yang disampaikan oleh Fendi Kachonk dalam hampir seluruh bangunan puisi karyanya. Sebagian diantaranya bahkan dapat dimainkan dengan fungsi bunyi, grafologi dan visual apabila dibaca dengan penghayatan yang tepat.
Pada sudut pandang lebih dalam saya mengaitkan puisi-puisi karya Fendi Kachonk dalam wilayah sosiolingustik, pragmatik, budaya, hingga batin puisi. Dalam keberagaman bangunan puisi yang saya baca, ada sebagian bangunan puisi karya Fendi Kachonk yang lebih luas bertujuan menyampaikan pesan sosial secara figuratif yang ikut menyertakan keindahan ritme atau rima, pada bagian lain ada juga bangunan puisi yang mengungkapkan pengalaman indrawi dari penyair (penglihatan, pendengaran, dll), serta ada juga bangunan puisi yang disampaikan dengan cara khas memadukan keindahan kata-kata dan gambaran imajinatif. Beragam pandangan dengan berbagai sudut padang dapat saya ungkap dari setiap bangunan puisi karya Fendi Kachonk, namun hal yang paling kuat saya tangkap dari antologi kumpulan puisi milik Fendi Kachonk adalah gaya bahasa khas yang ia sampaikan lewat karya-karya puisinya, karena setiap penyair sudah seharusnya memiliki ciri khas yang sedikit berbeda dengan penyair lainnya. Seperti gaya bahasa cara memadukan kata-kata secara imajinatif, dan bagaimana ia memainkan unsur pembangunan puisi (diksi, majas, rima, dll) sebagai alat bantu dalam penyampain pikiran dan rasa pada awam (pembaca).
Sebagai penutup, saya simpulkan bahwa antologi kumpulan puisi “Tanah Silam” karya Fendi Kachonk memiliki ciri khas tersendiri dari beragam antalogi puisi yang saya baca sebelumnya. Ada pembeda yang Fendi Kachonk bangun untuk membedakan karyanya dengan penyair lainnya. Ia dengan perenungan panjang telah membangun puisi-puisi yang tidak berjarak dengan pembaca, sehingga puisi-puisi karyanya lebih luas dapat dicerna oleh pembaca awam. Hal ini penting karena sebuah puisi adalah media komunikasi penyampaian pikiran dan rasa lewat bahasa yang bukan saja indah, namun khas, imajinatif dan mudah dipahami pembaca. Ciri khas penggunaan diksi-diksi sederhana namun mampu diramu dalam susunan tepat adalah bagian yang sangat lekat dalam puisi-puisi karya Fendi Kachonk.

SENJA

             Senja selalu menghadang langkahnya. Bau tanah,
hujan yang singgah, aroma masakan dari dapur. Ibunya
memasak air mata pada kuali dan tumpah keringat
di ujung-ujung ruang meresap sampai ke semua sisi jiwanya.

            Senja masih menghadang bayangannya saat malam 
kembali datang dengan jubah hitam putih membawa kain
kafan kenangan. Tentang berapa janji, tentang berapa coretan
yang ditulis di dinding kamar, di bawah foto perempuan
yang digantung di paku karatan.

            Senja belum juga berdamai memberi kebahagiaan
pada tiap pijak kakinya. Ada nanah dari ujung jari-jari menyusuri
sungai-sungai sampai mata ikan menangkap bau masakan
dan ia tak sadar. Kalau ia telah jauh merenungi waktu.

            Tentang hari dan masa depan yang ia akan tuliskan nanti,
menjadi puisi paling sunyi.

            Moncek, 271114



SEPASANG DADALI

            Kita menjelma sepasang itu
menunggu kabar tentang kita
berdua dililit ketakutan
entah kapan ada jumpa?
sekali waktu aku berkunjung
pada pantai dan pada cemara udang

            Hanya musim bercanda denganku
dirimu, berkata lain soal berita
soal hari yang leleh di lutut
seperti lilin kau diam
membiarkan dirimu mengecil
jadi tiga potong haiku di pasir.

            Padahal aku masih menyimpan
ritualmu yang menghadap timur
menunggu bintang kartika muncul
mengecup daun flamboyan
lalu menuliskan prosa hujan.

            Kau menolak gelombang
tapi kau hianati semi tadi pagi
di sini, aku bertanya pada buih
melempar pandangan pada laut
dan menceburkan luka pada garam.

            Moncek, 190615

: essay ulasan ini juga telah dipublikasikan di beberapa group puisi dan blog penulis.

Minggu, 21 Februari 2016

TERSUDUT KE SUDUT YANG PALING SUDUT


Tak seperti malam ini. Dulu, pernah dan kerap bahkan nyaris datangnya begitu cepat dan amat sering saya rasakan. Tiba-tiba kosong seolah ada di ruang dan tempat yang sangat beda. Meski saya selalu sigap melihat dan memerhatikan sekeliling saya. Berusaha sedemikian cepat untuk tak ada di tempat yang seperti ini. Sungguh mejemukan, seperti ingin pergi ke tempat yang lain, tempat yang begitu indah. Di sana aku harapkan tak ada kekacauan, tak kegelisahan, tak ada keinginan, tak ada harapan juga tak ada perasaan yang tak jelas seperti ini.

Mungkin, ini yang namanya ruang kosong atau hampa, entah karena apa, atau bisa jadi karena tubuh sedang lelah, sedang pikiran terus dirajam berbagai hal. Sempat ingin mengatakan “brengsek” pada siapa? Pada apa? Pada berapa hal yang silih berganti dicuri kenangan dan dikembalikan kembali setelah saya dan organ yang lainnya tak memiliki kesiapan. Sepertinya saya harus mengentaskan semua ini, memangkas jalan pikiran, atau benar-benar pergi ketempat yang baru, ke hal-hal yang baru, membuat kenakalan-kenakalan imajinatif, membuat diskusi yang lebih segar dan tak lagi melulu bertumpu pada selembar surat kehidupan yang tak tuntas aku terjemahkan.

“Hai, Bung! Sedang apa kau sekarang? Sedang tak ada yang kau pikirkan lalu kau tersudut sendiri, memikirkan hal-hal yang tak terjangkau dan hanya pada satu ruangmu inilah kau berpikir sendiri. Sedang, sedangkan di luar sana, orang-orang menemui mimpinya, tak peduli kau tak bisa tidur, kau tak membuat matamu lena. Lihat, renungkan, semuanya memilih jalan sendiri, semuanya tak lagi peduli dengan hal-hal kecil. Sepertinya aku yang setia padamu,” kata malam yang keluar lepas dari sisi pikiranku.

“Jangan terlalu menghamba pada kata-kata, pada bujukan, dan seolah-olah keindahan, seolah-olah jamu, seolah-olah kesejukan. Tidak bung, Tidak! Tidak sama sekali, berapa kali kau terkecoh dengan semata wadah, berapa kali kau terluka hanya pada kata-kata, gerak-gerik, nama-nama, tanda-tanda dan alamat-alamat. Di sini, sudah hampir dini, tak ada suara selain aku, meski aku juga akan mengecoh segala kegembiraanmu jadi kesenyapan dan kuberikan kau hidangan yang bernama rindu pada bentuk, pada simbol-simbol, pada kenangan, sedang kau tak sadar, hanya kau yang tersiksa, dan hanya kau yang membutuhkannya semata.”

Malam terus mengoceh dan benar sekali ia semakin mengecohku, ia mematahkan kebodohan-kebodohan, ia mengingatkan daun-daun, mengingatkan lembar-lembar buku dan jemariku semakin lelah. Saya sudah benar-benar lelah, dan lelah ini akan membuat saya jadi orang asing kepada diri sendiri, lalu rupanya ia butuh melupakan sesuatu, sesuatu itu mungkin dalam bentuk simbol-simbol, bentuk-bentuk, kalimat-kalimat, perkata-kataan, Lalu: Diam
 Moncek, 220216

x

SKETSA YANG GAGAL



                                Daun-daun di halaman rumah, tak lagi bergerak
                      Derik rimbun pohon berburu telinga ruang-ruang
            Seperti kenangan yang memanggang kecemasan
     Dalam risau angin, pelan mendekap kesunyian.

    Pintu kamar, lubang jendela dan sketsa wajah
    Di kertas, pulpen tergeletak,  garis-garis kecil
    Di balutan kafan, lekuk wajah dan kenangan.

    Tempat muara hening meminjam irama dawai
    Menerjemahkan nada-nada dalam gelas suara
    Rindu mengajak kembali menoleh ke belakang
    Merasakan ayunan air mengalir dari jiwanya.

   Di wajah yang tak rampung di ujung kuasnya
         Berebut tempat untuk lebih dahulu dinisankan
                  Tangannya kaku melihat selembar daun  jatuh
                                  Menuju senyapnya akar-akar mengerat air mata



Moncek, 220216

Selasa, 16 Februari 2016

RINDU YANG TAK TUNAI

Maukah kau kembali padaku? Bertanya sekuntum senyum yang layu pada suatu pagi, aku menunggu kabar darimu, kau masih bisu dan tak mau menyapaku? sedang aku ngilu itu adalah kata lain dari rindu.

Mungkin, kau tak pernah tersiksa atau barangkali kau berpura-pura bila jiwaku dan jiwamu saling meraung, memanggil namaku, namamu. Sedang kau masih tak peduli. Apa kau pernah mengenaliku lagi? seperti saat hujan menetes, kau menungguku di teras rumah gelisah dengan payung hitam.,takut aku kehujanan, berlari menyambutku, seperti itulah kira-kira rindumu, dulu?

Kemarilah, lihatlah kembali pada suatu catatan kita, berdua melalui hari-hari dalam puisi, menuliskan rindu, membentangkan doa, lalu memuja bintang dan rembulan saat malam memisahkan dua tubuh kita. Tapi tak ada kesepian waktu itu, kau tak pernah kehilangan apa-apa, tak pernah jauh dari setiap yang aku punya.

Benarkah, aku telah berubah, atau rindu ini telah mengelabuiku? Jadi sesosok yang tak lagi indah di matamu, jadi seseorang yang asing, tapi ingatkah kau? Bunga-bunga yang mekar juga pernah terjebak di tengah musim kemarau, layu dan gugur. Mungkin aku juga begitu, sebab rindu dan kebencian tak mampu menjangkau lengangmu, tak mampu, mampu.

Hari-hari berlalu dengan sepi, tak seperti biasanya. Senyum tak lagi ramah, senyum tak lagi manis, dan kerap siang menarik percakapan kita menjadi bara dalam sekam. Lalu api itu muncul membakar taman yang sejuk sedang taman itu tempat kita berjanji menghabiskan pagi yang selalu indah.

Baiklah, aku sekarang telah renta. Kumohon sekali saja atau mariklah kau ambil bahuku, gerakkan jemariku, buatkan aku metafora lain dari rindu. Sebab aku masih ingin mengayuh sampan, berenang denganmu, menikmati sarapan pagi, lalu menyatu dengan detak nadimu. 

Lenganku tak mampu menjangkaumu, doaku hanya sekerlip cahaya lilin, aku ingin kau membukakan pintu bagi tamu yang tak tahu membawa segenap kecemasan rindu ini.

Moncek, 160216

MENEROBOS JEJAK SAJAK-SAJAK “TANAH SILAM” FENDI KACHONK



Membaca puisi membaca jejak imaji dalam lorong labirin - ‘sebuah sistem jalur yang rumit, berliku-liku, serta memiliki banyak jalan buntu. Labirin bisa menjadi permainan di atas kertas, namun dapat juga dibuat dengan sekala besar dengan menggunakan tanaman yang cukup besar untuk dilewati dapat juga dengan tembok atau pun pintu-pintu’ (https://id.wikipedia.org/wiki/Labirin). Sedang Fendi Kachonk dalam hantaran antologi puisinya menengarai dengan ‘jalan panjang dari sebuah proses pencarian dan pintu masuk untuk belajar mengenali semua yang ada dalam diri. Lebih-lebih mengenali alam sekitar yang semuanya dibungkus oleh kesatuan harmonika dan dinamika semesta yang tak mungkin dipisah satu sama lainnya.
Sepanjang perjalanan itu, puisi seolah mengecil terkadang meluas, atau sempit bahkan menjadi tak beraturan jauh panggang dari teori-teori yang dibaca di kelas dan bangku sekolah’(halaman v). Maka tak heran tamasya kali ini menelusuri jejak sajak dapat menemu hambatan yang cukup merepotkan.

SELAMAT PAGI FENDI
Ada bahasa daun cemara 
di tepian pantai 
saat hujan singgah 
kering sudah berlalu.
Ada yang terekam di sini 
dalam pikiran 
yang tak lekang 
oleh sapa angin ribut.
Aku menyapa padi-padi 
tempat aku lahir jadi benih 
dipatuk gagak hitam.
Kemarin aku bertahan 
kini kuucapkan kembali. 
Selamat pagi, Fendi.
Moncek, 2014

Pembukaan antologi dengan salam yang cukup sederhana untuk dicerna walau alur logikanya agak mengkhawatirkan menjebak dalam labirin makna menyempit terjepit teori linguistik pragmatik - pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni cara satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi. Morris (Rustono 1999:1) sebagai pencetus pertama bidang kajian ini mengungkapkan bahwa pragmatik adalah cabang semiotik yang mempelajari relasi tanda dan penafsirannya. (http://belajarindonesia24.blogspot.co.id/…/pragmatik-dalam-…).
Lihat bagaimana Fendi Kachonk membuka imaji bahasa daun cemara dan menutup dengan bahasa lain ’Kemarin aku bertahan/kini kuucapkan kembali’. Loncat kijang katak unggas di pagi waktu dalam empat bait empat baris per bait mengingatkan bentuk pantun atau syair lama ternyata telah berinkarnasi menjadi modern dengan loncatan bahasa semesta secara pragmatis sehingga burung gagak sudah tidak lagi melahap bangkai tetapi bulir padi yang bernas petani yang tak terjaga. Sajak ini seakan terbagi dalam tiga bait sampiran dan satu bait penutup sebagai isi seperti sudah ditengarai Nirwan Dewanto pada sajak Chairil Anwar - Kesetiaan Chairil Anwar terhadap bentuk-bentuk puisi lama sesungguhnya lebih besar daripada yang kita duga.
“Senja di Pelabuhan Kecil” juga memperluas konsep sampiran dan isi dalam pantun: bait pertama dan kedua adalah sampiran, dan bait ketiga adalah isi. Kedua bait sampiran tersebut adalah lanskap murni, yang seakan-akan dikatakan oleh orang ketiga. Tetapi sekonyong-konyong orang pertama, si aku, muncul pada bait ketiga, bukan untuk berseru, tapi bergumam lembut, menggarisbawahi apa yang dinyatakan kalimat pertama dalam sajak itu. Pola sampiran-isi ini muncul kembali dalam kuatrinnya yang lain “Derai-derai Cemara”: bait pertama merupakan sampiran murni, bait ketiga isi, dan bait kedua setengah-sampiran, atau kait yang memperantarai kedua bait. Sementara itu, sajak ini juga tampak lebih setia kepada bentuk syair: setiap baris adalah kalimat lengkap, dan setiap kalimat berusaha bertahan dengan jumlah maksimum enam kata. Variasi lain dari perluasan kuatrin-syair adalah sajak “Yang Terampas dan Yang Putus”:  Tetapi di situ Chairil memisahkan baris keempat dari setiap bait menjadi bait-sebaris tersendiri. (http://jalantelawi.com/2012/04/situasi-chairil-anwar/).
Kalau langsung meloncat pada sajak penutup antologi dapat terlihat bagaimana labirin yang membingungkan telah sirnah dan cukup jelas penyair mengolah kearifan budaya lokal lewat saja yang bercerita atau balada yang juga dilewati Rendra dalam menulis jejak sajaknya sebelum nantnya Rendra menjadi penulis pamphlet dalam bentuk puisi membicarakan pembanguan yang diunggah pada zaman era yang monopoitik. Rendra mengaku membrontak karena kecewa pada dirinya yang lemah seperti Catatan Editor ‘Puisi-puisi Cinta” (2015), Edi Haryono - ‘Penyakit saya sebenarnya ialah kesal dan marah. Objeknya ialah: keadaan. Saya tahu bahwa orang yang suka memberengsek terhadap keadaan ialah orang yang lemah semangat. Ia tidak bisa menguasai diri dan keadaan kelilingnya. Nyatanya memang demikianlah keadaanku waktu itu. kekesalan saya itu terutama karena saya kecewa terhadap diri saya sendiri. (halaman xiii: W. S. Rendra. 2015. Puisi-puisi Cinta. Yogyakarta: Penerbit Betang)
Simak puisi Fendi Kachonk berikut.

KEPADA ANAKKU
: Iman Dan Surga

Sini sayang mendekatlah 
kuingin ceritakan inti hati 
hatiku yang kuambil dari abah 
embahmu dulu suka mengajakku 
bercerita banyak hal.
Katanya, aku masih ingat selalu 
cintai orang yang dekat denganmu 
dekat dalam kebaikan 
dekat seperti aku dan kalian 
anak-anakku, bahasa ibumu 
bumi dan langit.
Meski kelak kalian terlunta 
tetaplah dalam gubuk sendiri 
gubuk yang sederhana 
gubuk yang mencatat tangis dan air mata 
seperti aku, emakmu, embahmu 
mengajarkannya pada kita. 

Bila ada yang datang dengan ikhlas 
buka pintumu seluas mungkin 
teduhkan mereka dari panas dan hujan 
suguhkan tikar pandan biar bisa rebah 
jagalah mimpinya sampai bangun.

Bahkan sayang, kalau mereka dahaga 
ambillah ke sumur belakang rumah 
tapi bila kering berlarilah ke tebing 
atau ke ngarai, atau ke lembah 
bila juga tak kau dapatkan.

Menangislah seperti Ismail 
hadiahkan air matamu untuknya 
di situ aku akan bangga 
bukan karena kalian dapat sembilan 
di raport sekolahmu 
tapi hatimu telah penuh nilai-nilai.

Rumah Surga, 19 01 14

Kuncian sajak ini menunjukkan begitu tawaduknya penyair sehigga menyitir ayat yang didapatkan dalam kitab suci tentang nabi Ismail. Kekuyuban yang santun akan pencari asal muasal sejarah agama manusia yang diyakini kelurusannya.

Menangislah seperti Ismail 
hadiahkan air matamu untuknya

Muhammad Lefand yang juga berdarah Madura lanskap sajaknya selalu mencoba menolak jadi pemuisi atau penyajak. Ini tertuang dalam pembukaan kumpulan sajak “Jangan Panggil aku Penyair”:
Keteguhan penyair pada pemahaman akan alam yang keras di bumi Madura sangat membekas sebagai warna kearifan budaya yang akan melengkapi pelangi corak puisi Indonesia atau Nusantara. Dari bilangan timur Jawa memang tidak sendirian dia, masih ada pendahulunya yang di antaranya memegang kendali Majalah Sastra Horison: Jamal D. Rahman, termasuk Abul Hadi WM, maupun D. Zawawi Imron. Tak pelak puisi Lefand menjanjikan tongkat estafet kepenyairan berdarah Madura.
Simak sajak Fendi Kachonk berikut:

BUKAN LAGI PENYAIR

Telah aku putuskan malam ini
jadi penyair apa peramal?
berulangkali sajakku gagal
melukis senyumu yang biru
seperti pedagang yang lupa
daftar belanjaan.

Aku dihadang bayangannmu
tak mampu kurayu dengan prosa
bahkan ketika melati kubawa
kau membiarkan dingin di sini
hati penyair lebih lengkap katamu
tanpa keriuhan tapi penuh kecemasan.

Kuputuskan tak jadi penyair malam ini
kuambil tongkat bukan pensil
berjalan menyusuri jalan malam
menatap bintang serupa ahli nujum
kuramalkan diri sendiri di sini
aku tercekik oleh kata-kata sepi

Moncek, 2015

Bait terakhir memang sebagai petisi untuk menjerumuskan onggokkan kata-kata itu hanya ramalan dan di masa depan akan hadir yang bukan penyair tetapi penyair dengan P (huruf besar!). Hampir rata penjelajahan Fendi Kachonk purna dengan kuncian sajak: aku tercekik oleh kata-kata sepi. Tak pelak daftar panjang penyair Nusantara akan makin menggelora seganas gulungan ombak samudera Indonesia.

Bogor, Pebruari 2016
Cunong N. Suraja (penyuka literasi khususnya puisi, Dosen di Ibnu Chuldun, Bogor)

(Catatan: Tulisan ini saya ambil dari postingan Abah Cunonk di sebuah group. )

Minggu, 14 Februari 2016

BAKAHEUNI



                                                            "Baiklah, aku akan mengulang kisahnya
                                                                     Pada ribuan meter, jarak tempuh
                                                              Mengembang dua selat, dua gelombang"

Kapal-kapal selalu membawa rindu
Pada bibir pantai, di suatu senja
Daun cemara menuliskan risalahnya

Wajah asing, disingsing keemasan
Di  rumah kerang ada istana air mata
Tempat sunyi diam dan ditinggal

Ada yang sengaja singggah di sini
Ikan-ikan di Bakaheuni menepi
Burung memilih sarang di cemara

Karang tak lagi meninggalkan kesan
Matanya mengantuk di kabin, dibawa ilusi
Seseduh sepi penyambut matahari pagi.


                                                                     "Baiklah, ini perkara gampang
                                                                   Gerimis hujan menyertai puisi-puisi
                                                            Pulang ke tubuh Haiku yang dituliskan senja"