Selasa, 08 November 2016

DUA BAYANGAN



“Apa kau ingin membelah tubuhmu, dan tubuh kita akan jadi puing-puing?” Saat kau tak sadar, bahwa dalam kemarahanmu ada rindu yang terus subur, tapi kau khianati terus-terus, tanpa henti-henti, kau menolak setiap cahaya, setiap sesuatu yang indah yang muncul dari setiap pori-porimu, kau juga menolak kesadaranmu, membenci dirimu sendiri, lalu melemparkan bara pada bayanganmu yang lain. Bayangan yang lain adalah bayangan yang selalu kau anggap ingatan, kau anggap kenangan, tapi kini kau menolak semuanya, semuanya kau anggap sebagai hasutan, dan pikiranmu dengan sadar menolak kesadaran dari segenap kebutuhan tubuhmu.

“Aku ingin menghadiahkanmu bunga kaktus ini!” Kata bayangan yang lain, sebelum senja benar-benar kau usir dari dari ranjangmu, meloncati pagar terali, melempar semua yang muncul dalam dirimu. Kau meyakini, kau tak butuh apa-apa. Kau tak mempercayai cinta, dan kau menghardik semua kerinduan yang tiba-tiba muncul dari setiap bunyi lonceng di dinding berbunyi, serupa jantungmu yang memanggil-manggil nama sesuatu. Nama itu, kau pasti ingat, adalah bulan Oktober setiap taman kau anggap rindang, setiap cahaya kau anggap indah, setiap pertemuan mata kau anggap keberuntungan. Itu dulu, sebelum kau tak percaya pada jiwamu, pada kebutuhanmu, pada denyut-denyut yang kau sebut adalah energi.

“Bila hujan, aku suka berdiri di depan kaca jendela.” Katamu. Waktu itu, aku menyukai setiap sapamu, setiap kelembutanmu, setiap doa-doa yang kau lantunkan seperti nyanyian ketika tiap malam hanya memberiku kegelisahan. Tapi, itu semua kau tolak, kini hanya sebuah bentakan, kemarahan yang kerap muncul karena penolaka-penolakan. Di dalam tubuhmu, sebenarnya masih tersimpan ribuan benih yang siap lahir bersama senyummu. Tapi, kau lupa menaburinya. Kau menjadikan bayangan lain sebagai penghalan, dan kau tak percaya lagi pada cahayamu, pada sinar yang kau anggap sebagai kekuatan. Kau, berlari kian jauh, kian menjadi asing. Kau sebut itu sebagai pancaroba, sebagai sesuatu yang beralih fungsi dari senyum ke luka, dari bahagia ke membenci. Dan. Kau pun tak mempercayai poros waktu berulang dan terus akan sama, hari-hari kembali lahir, tapi kita lupa untuk melahirkan kebahagiaan kembali.

“Aku marah padamu, karena aku tak tahu lagi menyampaikan segala sesuatu.” Ya, semuanya telah berlalu. Semuanya telah direstui dengan segenap ingin dan seperti yang kau pikirkan, melelahkan, tidak nyaman, dan lagi-lagi seolah tiada kehendak untuk duduk diam, tenang, menikmati secangkir kopi dan akhirnya, aku juga mengerti, di sini aku tak diberkati, di sini aku dianggap mati dan di sini aku hanya berharap sendiri.

2016





Minggu, 06 November 2016

B A H A G I A



Seperti bunga, layu menunggu gerimis sembari menikmati 
gemeretak kemarau di ranting-ranting yang tulus menemani waktu: 
mengerti rukun hidup--kematian, sedang matahari lelah 
meminta hujan pada embun yang pelan-pelan naik ke puncak awan;

Seperti ilalang, sempat menarikan gelisah akar-akar 
jagung juga tembakau sembari meletakkan teduh di lembah, 
di ngarai yang membelah tanah-tanah kerontang menjadi humus; 
angin mencari istana bakau yang hilang ditelan pantai dan gelombang;

Seperti itu, aku menulisnya dalam kampung sajak; sunyi 
hampir ditelan sempurna oleh segenap gema; di lorong-lorong itu,
tersisa jejak semi dan kering yang kian mengharukan birunya luka:

"Serupa nostalgia pohon kelengkeng dan sebaris puisi 
di mata seorang ibu yang meneteki nasib anaknya; 
lalu ada kidung tra lala--tri lili sampai mata tertidur 
pulas digendong kehidupan."

Moncek, 2016

TAMU TENGAH MALAM


di dalam dirimu, aku melihat diriku
mengecil di pojok ruangmu, tempat bacamu
dan kau melihat dunia dari lubang jendela;
aku mengutus angin, membelai rambutmu
sambil mungkin aku berujar, aku datang
dari derit pohon bambu atau dari ilalang
sekitar kau akan menuliskan lagi, puisi
tentang hidup, keindahan; hutan-hutan

sementara aku, menepi jadi aksara-aksara
memasuki ruang pikiranmu lalu menjelma
sebentang kenangan, di suatu taman tua
kala itu hujan datang, dan dirimu juga ada
di sampingku membetulkan lagi jaketku
sambil terus berlarian ke pinggir jalan
mencari angkutan untuk membawa tubuh

sekarang apa yang kau ingin tuliskan?
sebentuk prosa yang lerai di tengah gulita
atau semacam luka yang tak nemu obatnya
ah, sudahlah, aku melihatmu, di mataku
dan mataku telah menjelma pantai; lautan
tentangmu yang buru-buru menutup pintu.

061116


Sabtu, 05 November 2016

MUSIM SUNYI

Berulang kali aku menuliskan puisi, sunyi!
seperti nyala lilin yang sungguh amat kecil
tak ada yang mampu memberi hangat, di sini
ingatanku seperti beranjak makin tua, renta
di balik semua keinginan akan perjumpaan

Ini semi telah dilalui kemarau, dan ini sepi!
aku menulis lagi namamu, di secarik kertas
yang rindu pijar mentari di pelupuk matamu
tapi, aku tak paham, kau enggan jadi angsa
yang selalu ingin berjalan memecah sungai

Sementara teratai menjulurkan akar-akar
ke dalam jantungku ada sebuah risalahmu
terdengar begitu dekat, begitu menyayat
memanggil namamu, mengetuk pintumu
sungguh aku tak mau, aku tak jadi malu

Sepi, musim semi seperti rindu yang gugur
di ladang puisi itu aku terus memanggilmu
meski aku tahu, malam hening, ini sunyi
menjadi puisi yang sungguh memilukan

: kini


Moncek, 2016

Senin, 31 Oktober 2016

SEMACAM KENGAWURAN.

Pagi ini, aku ingin menulis sesuatu, sesuatu yang selama ini aku pikirkan. Misalnya pertemanan, relasi dan hubungan persaudaraan dengan dalih apapun orang lain akan menghormati sekecil apapun komunikasi yang sedang dijalani atau direkayasa untuk menghindar dari perasaan yang sesungguhnya terjadi. Tidak menutup kemungkinan sesuatu yang kita alami melahirkan sebuah kekecewaan, sebuah kenyataan yang tak datang dari awal tapi muncul di belakang hari.

Tentu saja, aku masih mengalir kemana-mana, alias ngawur dulu, mau kemana dan apa yang ingin sebenarnya aku tuliskan. Yah! aku sudah memiliki 3 buku, beberapa karya bersama juga, pernah dimuat di beberapa media lokal atau yang nasional. Sejatinya, aku mesti melihat ini sebagai evaluasiku sendiri. Aku tak memiliki teman yang sangat pahampun kepada diriku. Mereka adalah orang yang lain yang sama denganku dan selalu membutuhkan sebuah kepahaman dari orang lain. Tapi, teman tetaplah penting. Aku tak menafikan hal itu, begitupun di sastra Indonesia, pertemanan itu sangat kuat. Seperti tali yang paralel dan tak ada putusnya. Semua membentuk jaringannya dan berlomba-lomba untuk semacam adu panco. Iya, dulu aku memiliki berapa teman yang kupikir tulus, tapi sekarang, makin kesini, mereka hampir sama meski tak sebetul-betulnya sama dengan orang-orang lain.

Jelasnya, makin kesini, aku makin sadar diri untuk diam pada tempatku menelan beberapa pengalaman semacam kekecewaan kronis mungkin begitu, atau mungkin akan ada yang lebih kronis ketika aku harus tetap melangkah. Dulu, aku mempercayai sesuatu, sekarang hampir saja semuanya menjadi luruh dan rasanya aku akan mengambil semacam jeda sementara, semacam waktu aku melihat diriku lagi, sampai aku punya alasan untuk kembali dan kembali menatap dunia. Tapi, pilihan ini semacam pilihan yang belum final. Biasalah, aku jadi ingat kalau ada teman mengatakan ini padaku : sebenarnya yang marah dirimu atas beberapa pilihanku.

Cukup, sepertinya aku banyak pengalaman, mungkin bagi mereka, aku memang tak sebegitu penting, suatu jalan yang hanya diumpan ibarat umpan dikail yang dilempar untuk memancing. Aku tak sebegitu paham, tak sebegitu mengerti dengan setia, cinta, apalagi hal-hal yang dianggap kesadaran. Ternyata dari ujung ini, aku mesti melihat kemampuanku yang kampungan, yang selalu berpikir pada satu kesetiaan, pada satu tujuan. Tapi, kayaknya ini tak bakalan ada. Bila ada posisi menguntungkan, atau posisi lebih utama, bersiaplah untuk kehilangan teman-temanmu atau kehilangan visi yang dibuat secara bersama.

Di kolong ini, aku meminta maaf, kepada semesta, meski berapa orang tak akan tahu bahwa aku minta maaf, tapi biarlah semesta yang menyampaikan maafku dalam bentuk lain, kedamaian, doa kepada seluruh kawan-kawanku, seluruh orang yang pernah kecewa, saudara dan guru semuanya. Tidak ada gading yang tak retak, seolah ini jadi penyemangat baru, bahwa selalu dan pasti semua orang memiliki masa lalu dan catatan kesalahan. Tapi, pepatah itu, seolah memastikan ada maaf, ada sesuatu hal yang bisa diperbaiki. Nah, sementara ini, aku belum menemukannya, seolah benda yang tak bergerak, batu yang besar yang juga siap diarahkan kepada kepalaku.

Ada, beberapa tugasku yang belum selesai, buku akar rumput, buku amin, buku yuanda dan lagi buku Arsita. Tapi, aku hanya memokuskan untuk dua buku, buku amin dan buku "akar rumput" sedangkan untuk buku Arsita, awalnya telah kami kerjakan dengan baik. Namun, karena belum ada kepastian soal ongkos cetak dengannya dulu maka aku hentikan. Sedang buku Yuanda, aku akan mencari uang dulu untuk "mengembalikan" simpanan untuk buku selanjutnya. Hehe, sedang uangnya telah habis di tanganku. Iya, ini harus aku katakan dengan jujur, karena aku tak akan lari dari tanggung jawab ini. Apa yang akan aku kerjakan ke depan?

Adalah, menjadi seseorang yang biasa dan melepas diri dari semua hiruk pikuknya. Yah, mungkin aku akan mencintai sastra, itu pasti! aku akan merawat beberapa yang telah aku lakukan, sekali-kali berkumpul dengan kawan-kawan. Nah, ini bayanganku. "ah, kau tak pernah berkomitmen pada apa yang kau katakan" jerit seorang kawan padaku. Memang, ini hanya semacam catatan biasa, benar juga aku tak pernah berkomitmen, kalau besok aku dipanggil "Presiden JOKOWI" untuk baca puisi di Istana akan hilang semuanya. Bukankah semuanya begitu? Apa ada yang benar-benar berkomitmen? Nothing.

Sementara waktu, aku akan membiarkan beberapa alat komunikasiku aktif, berharap dari sana kejenuhan dan keletihan jadi kurang terasa dan aku benar-benar tak jadi memilih pilihan yang di atas yang aku anggap sebagai pilihan tanpa pilihan. Jelas! aku masih ingin mengirimkan beberapa buku "surat dari timur" ada beberapa orang yang belum bayar dan beberapa orang ingin menuliskan esai pada sebagian puisi yang mereka sukai. Masih ada celah bertahan sementara waktu. Tapi, setelah ini bila udah benar-benar jumud, aku, kampung jerami dan semua kawan telah tak aku anggap ada.

Nah, ada buku Cerpenis Lampung Yuli Nugrahani yang mempercayakannya untukku jadi tempat pemesanan, Ah, iya, aku juga punya tanggung jawab. Sebenarnya secara tanggung jawab aku telah melakukannya meski mungkin tak begitu baik. Aku membawa buku itu kemana-mana, menawarkannya, dan mempromosikannya. Iyah, aku menggunakan tanggung jawab sebagai "penerbit" dan "adik" aku bangga pada buku itu, mungkin, aku benar-benar mengurusnya dari awal, dari proses nol sampai selesai bahkan sampai hari ini. Tapi, mungkin aku mengecewakan dari sisi menejemen. Tapi, aku punya dua 3 bulan untuk memenuhi tanggung jawabku.

Umirah Ramata, adik yang satu ini selalu paham diriku. Aku minta maaf sebesar-besarnya kawan-kawan.






Sabtu, 08 Oktober 2016

AKU CERITAKAN PADAMU

Seorang yang pernah meletakkan bahasa pada tubuhnya, meyakini pergumulan yang panjang sebagai sebuah arus yang juga deras adalah sendi-sendi yang bertautan, tak dipisah dan memiliki sebuah keajaiban, ia meyakini, kalau jalan bahasa adalah tubuh, tubuh yang selalu saja mengeluarkan sesuatu yang mustahil, kadang tak mampu ia kaitkan ini sebagai logika, ia juga kadang menolak sebuah gagasan yang terlalu sadar atas hadirnya dimensi ruang dan jarak yang menciptakan sebuah jerit atau gema yang berulang-ulang. Lalu, orang-orang di pasar itu menyebutnya sebuah kenangan.
Aku ceritakan padamu lagi, seorang yang terus mencintai tubuhnya dengan kadang lupa merawatnya dengan sabun, minyak wangi tapi dengan terus membumbui setiap pori dengan luka dengan terus mengenangnya sebagai sebuah kekuatan, ia memang agak gila, agak memilih tubuh sebagai keyakinan berbahasa, keyakinan itu ia tempuh sendiri dengan terus mempertanyakan fakta-fakta yang kadang ia tak anggap sebuah kejadian yang di luar tubuhnya sebagai sebuah kelaziman, ia yang selalu suka memiliki tubuhnya dengan perihnya, dengan senyumnya dengan semua yang dianggap oleh orang-orang di pasar tadi sebagai sebuah rumus yang mesti dipahami sebagai kesadaran yang sempurna, sedang baginya kesempurnaan adalah yang terus berkembang sesuai dengan dimensi dengan ruang yang tiba-tiba tak disadari sebagai kenyataan, kenyataan yang baginya juga memberinya sebuah jalan menuju sepi, menuju tubuhnya sendiri, menjadi bahasanya sendiri.
Seorang yang tak menolak kehadiran sebuah kekosongan, ketika ilmu logika menganggap sebagai rumus terendah bagi kesadaran, tapi tidak baginya, jalan itu, adalah kosong, tempat adalah sepi, dan bahasa itu adalah hening yang keluar dari setiap medan tubuhnya sebagai alat kecil penyambut, langit dan bumi, tubuhnya hanya pelantaran bagi sebuah kekuatan yang besar yang tak bisa diukur oleh timbangan kesadaran.
Ia yang hari ini sedang menikmati hikmatnya kematian bagi tubuhnya, bagi bahasanya, bagi semua luka yang tak lagi mampu memberinya kekuatan, ia yang masih sibuk mencari dirinya sendiri, lepas dari panggung-panggung lalu menjebak dirinya sendiri ke dalam hampa, ke dalam sunyi untuk mampu bertemu hening kembali. Dan, baginya tubuhnya adalah kejadian-kejadian, adalah luka-luka yang mampu meneriakkan semua yang pergi, semua yang tinggal tapi berarti, semua yang dimaksudkan adalah jalan pengecut baginya, seseorang yang ingin matanya terpejam, dan tak memberikan warna apapun pada tiap yang keluar dari bias-bias. Aku jadi ingat puisi di bawah ini:

LAYANG-LAYANG KERTAS

Lalu, pagi membawaku ke sini seperti layang-layang kertas
merasakan sisa hujan bersembunyi dari kejaran dingin. Dan
ternyata tak ada yang berubah. Pintu keluar dan bercak kenangan
yang juga belum semuanya dihisap waktu, masih ada.

Sejenak, aku diam diguncang bimbang dan kecemasan
belum lepas dari kantung mata. Tak ada jemputan serta
kalungan bunga. Tapi, tiap kejadian masih nakal
menahan langkahku.

Di satu sudut pendengaran, lagu Ska mengalun riang,
mengajakku untuk tersenyum. Dan, tiba-tiba kumiliki
energi kecil untuk kembali, terbang dari kota ke kota.

"Puluhan orang berbanjar menyiapkan foto kenangannya
untuk dipajang di dinding sebagai sisa perjalanan. Aku juga.
Sebelum nanti taliku putus, melayang lalu hilang."

Stasiun Kota, 21 Maret 2015

"dimuat di antologi Tanah Silam dan Majalah Horison"


Jumat, 07 Oktober 2016

MARI TERUS SEMANGAT KAWAN-KAWAN FORUM BELAJAR SASTRA (FBS)


Aku senang, karena Riika Puspita Dewi telah juga mulai belajar menulis puisi. Mulai pertemuan kemarin dia sudah menulis. Maka ini akan terus bergelombang disambut kawan-kawan yang lain. Bukan perkara bagus dan tidaknya dulu. Tapi memulai itu sudah bagian yang luar biasa. Aku jadi ingat dengan perkataanku, "Menulis puisi itu mudah, yang sulit adalah mau memulai dan menguatkan tekad untuk terus belajar"
Forum Belajar Sastra dalam catatanku sudah ada sekian kawan yang mulai menulis sekali lagi bukan dan bagusnya dulu bukan begitu Soeaidi KandjenkWan Di MegaremengMuhammad RamsiSusilawatiChoirur RahmanRifqi PikacuSufryadi BunyaminIlalang KirmiziTiEn Tha Q,AKslin Ainur. Mungkin ini terlepas dari rasa lelah, rasa tak percaya dan sekaligus rasa bahagia, kami yang hanya memiliki semangat belajar pelan-pelan saling mengalirkan semangat. Tak ada orang terkenal di sini, tak ada yang istimewa, setiap kawan-kawan mau belajar hanya dengan menyanyi, saling tersenyum.
Kegiatan kami tak bermodul, dan tak dikelola dengan menejemen yang bagus, kami mengalir, kadang kami liar, kami gunakan alam raya, kami mengubah kelas jadi sesuatu yang lebih akrab, memang akan ada yang memandu diskusi, tapi hanya sebatas bertukar proses dan pengalaman, bukan guru, karena kalau ada guru mesti selalu ada gaji, dan kawan-kawan semua bisa mengajak siapapun, kami kadang juga melaksanakan workshop dengan pihak dan teman dari luar, kami melaksanakan workshop dengan menggunakan kebersamaan: bawa makan dan minum sendiri, lalu menjaga kebersihan setiap tempat yang kita jadikan seolah kelas, kelas yang menurut kami sebagai tempat yang mulya.
Mungkin, ini hanya sebatas igauan, sebatas harapan ke depan, sebatas semangat kami, kalau ke depannya, kami akan selalu begini, perlahan-lahan turun ke basis-basis, menggunakan sekolag-sekolah, menggunakan balai-balai desa tapi tetap kami memiliki tempat yang indah sebagai gerbong nafas kami yaitu : Pujuk Pongkeng.
Lama juga aku tak menuliskan kegiatan Forum Bahasa Sastra, setelah agak letih dengan semua hal-hal yang menyeretku dalam kesibukan, tapi hari ini, tepatnya sejak kemarin, salah satu dari anggota FBS memanggilku dalam postingannya, "Kak, aku belajar menulis puisi juga" katanya. Lalu, aku membaca tulisannya, memang masih butuh waktu, dari cara penulisannya, dll. Tapi sebagai proses aku menghormati upaya itu. Aku pun menolak ungkapan kata "guru" karena aku menguatkan diriku untuk tidak menggurui mereka dalam persoalan "kreatifitas" aku hanya akan jadi teman, kalau pun ada aku di depan, itu tak lebih sebagai pemandu saja.
Aku mencintai kalian semua dan mencinta setiap proses yang telah atau akan jadi simpul dari cara kawan-kawan FBS dalam berproses.
Semangat!!!
(Merasa tak buang waktu, seolah begitu yang aku rasa hari ini. )